Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,844
Aisah
Romantis

 Tinta jingga mencelup pepucuk menara-menara masjid, menara-menara BTS, tiang-tiang kapal di dermaga, dan awan-awan yang berarak dari arah Gunung Mahameru.

Lantunan murattal ayat-ayat suci Al-Quran bergema di tiap penjuru kota kecilku, mengalir bersama angin hingga menelisik ke sela-sela telinga. Dedaunan bergerak karena embusan angin, berjatuhan seumpama jiwa-jiwa manusia yang dihempaskan oleh nasib dan tak takdir yang tidak beruntung.

Memasuki bulan Juni, kota kecilku sudah ditinggalkan oleh hujan yang entah berselingkuh dengan siapa, meninggalkan tanpa permisi kepada katak bangkong yang memanggil-manggilnya di rawa.

Dan seperti biasa, di sore menjelang petang ini aku duduk di bangku sebuah warung kopi bambu sambil menikmati secangkir kopi hitam yang telah berubah menjadi sedingin mayat sejak tadi. Kuseruput pelan hingga mengalir di kerongkongan. Kemeja putih dan celana hitam masih lekat di tubuhku. Belum kuganti.

Di pojok sana terdengar kelakar beberapa lelaki pengunjung kopi yang tampak asyik bermain catur. Sesekali kudengar gemertak butir catur di papan berukuran 25×25 cm.

Catur memang sudah menjadi kegemaran lelaki di kampungku. Apalagi kalau menjelang hari kemerdekaan negara Republik Indonesia. Papan-papan catur digelar di atas meja-meja sampai di luar warung kopi. Para kampiun catur saling duduk berhadapan untuk saling terjang. Siapa yang menguasai peperangan, dialah yang menang dan dialah yang berhak menjadi juara.

“Sekak!”

Lelaki paruh baya itu bersabda. Suara tawa terlempar-lempar di langit sore.

Namanya Pak Ilham, kampiun catur yang telah tiga kali berturut-turut memenangkan perlombaan catur di hari kemerdekaan. Dia adalah rekan kerjaku di SD di mana kami mengajar. Tidak hanya di warung kopi saja dia menantang duel lawan-lawannya melainkan pula di sekolah dia juga bermain catur dengan guru-guru lain.

Dia telah menguasai beberapa pembukaan dalam permainan catur seperti misalnya pembukaan Spanyol, Rusia, Ukraina, Amerika, atau entahlah apalagi. Biasanya dia akan bermain catur sampai tengah malam hingga menandaskan bergelas-gelas kopi. Aku sendiri tidak tahu dari siapa dia mempelajari catur hingga dengan mudah menghempaskan musuh-musuhnya.

“Zam, baru pulang?”

Sapa Bang Indra yang datang untuk memesan secangkir kopi pada Pak Kodir. Dia duduk di bangku di hadapan mejaku. Matanya melirik ke arah para lelaki yang bermain catur itu. Lalu dikeluarkannya sebungkus rokok dari saku kemejanya dan diletakkannya di meja. Dia mengeluarkan sebatang rokok lalu dibenamkan di mulutnya.

“Selama ini kamu mengajar bidang studi apa?” Dia menyulut ujung rokoknya dengan korek api gas Zippo-nya.

“Matematika, Bang,” jawabku kalem.

“Oh.” Bang Indra mengangguk sambil mengisap rokoknya. Asap mengepul membenamkan mukanya yang lonjong.

“Kamu merokok, Zam?”

Menyodorkan rokok dan korek api gas di hadapanku. Aku menggeleng, tersenyum.

“Sejak kapan kamu tidak merokok?”

“SD, Bang.”

“Bagus itu, Zam. Susah untuk berhenti merokok kalau sudah pecandu. Sehari tidak merokok mulut terasa masam. Tiap menit bawaannya ingin merokok terus. Kalau tidak kuat membeli sebatang rokok, tembakau pun jadi.” Ujarnya mengisap rokok kuat-kuat.

Aku mengangguk.

“Eh, umurnya berapa sekarang?”

“Tiga puluh dua, Bang.”

“Sudah punya calon?” 

Aku menggeleng. Bila sudah menyangkut perihal calon istri, ditanya siapa pun aku merasa malu. Sebab semua teman-temanku sudah pada menikah. Terkadang aku merasa kalau hidupku hampa meski dari segi pekerjaan aku boleh dikatakan mampu. Karierku sebagai guru matematika sudah dikatakan mumpuni walaupun tidak dilihat dari segi penghargaan sebagai guru matematika teladan. Tahun ini saja salah satu muridku menjadi siswa dengan nilai matematika tertinggi se-kota padahal dulunya dia menganggap matematika layaknya iblis yang ditakutinya.

Siapa sih yang tidak kepikiran untuk membina rumah tangga? Siapa sih yang terus-terusan ingin menyandang status bujang lapuk? Siapa sih yang tidak bercita-cita melaksanakan sunnah rasululillah?

“Rugi, Zam, kalau di usiamu yang sekarang belum menikah. Susahnya kalau masuk musim penghujan. Tidak ada yang bisa dipeluk. Tidak ada orang yang bisa dijadikan tempat membagi kebahagiaan dan kesusahan. Tidak ada yang bisa dijadikan tempat menghibur di kala hati sedang gundah,” tutur Bang Indra panjang lebar.

Apa yang dikatakan oleh lelaki eksentrik ini memang benar adanya. Siapa pun memang berpikir begitu tapi aku.

“Apakah kamu tidak pernah jatuh cinta? Pacar misalnya?”

Pak Kodir muncul dengan membawa kopi pesanan Bang Indra. Lelaki tua itu meletakkan kopi di meja.

Aku menggeleng sambil tersenyum. Rupanya pemilik warung kopi ini sedari tadi telah mendengar pembicaraan Bang Indra sehingga dia ikut andil seperti orang ikut arisan.

“Aku sudah menyarankan agar Zaman ini melamar putrinya Pak Komar, In.”

“Siapa, Pak?” Bang Indra membuka tutup gelasnya sehingga asap membubung di depan wajahnya.

“Aisah, siapa lagi?”

“Wah pas itu, Pak. Kenapa tidak dilamar saja, Zam? Kurang apalagi Aisah? Cantik, semlohai, pintar, glowwing, licin, kalis, putih. Rugi kamu, Zam, kalau tidak sampai bisa mendapatkan Aisah.”

“Aku sudah menyuruhnya agar mendekati Aisah sejak dulu, tapi Zaman tidak mau.” Pak Kodir menyalakan tipi dengan remote kontrol.

“Nek aku wis pasti ngelamar Aisah, Pak.”

“Ngenteni opo maneh?”

Bang Indra mengangguk setuju.

Aku menghela napas panjang. Bayang-bayang wajah Aisah menguasai kedua mataku. Siapa yang tidak tahu dengan gadis paling cantik di kampungku itu. Wajahnya yang bundar seumpama bulan purnama keempat belas, hidungnya yang mancung, lesung pipitnya yang memesona, dan cara jalannya yang bikin hati berdebar-debar. Tidak satu-dua orang yang terhipnotis akan kecantikan gadis berambut ikal panjang itu. Setiap kali aku berpapasan dengannya aku selalu salah tingkah karena aku salah satu dari mereka yang selama ini tidak dapat mendongakkan muka jika berhadap-hadapan dengan seorang gadis. Aku tidak bisa berkata apa-apa bila Aisah berdiri di hadapanku.

“Wis toh cubo lamaren Aisah mumpung durung didisik’e wong liyo.”

“Iyo, Zam. Langsung ae. To the point aja.”

Aku hanya bisa merespons ide kedua orang itu dengan mengulum senyum.

***

Di kursi malas pojok ruang keluarga yang juga berfungsi sebagai ruang makan, tampak ibu sedang terbatuk-batuk. Sudah dua tahun ibu menderita penyakit paru-paru. Beliau sedang menonton film Bollywood idolanya. Siapa lagi kalau bukan Tuan Amitabh Bachchan.

Dulu, waktu aku masih kecil, sering beliau bertutur kisah soal aktor idolanya yang membintangi sebuah film yang sudah ditontonnya di bioskop. Ibu memang pecinta film-film dari negeri Hindustan. Waktu muda, ibu seringweekend ke bioskop bersama saudara-saudara sepupunya.

Saat itu film bioskop tidaklah sebagus sekarang dan lagu-lagunya masih tradisional yang berbeda dengan zaman sekarang. Para aktrisnya sangat menjaga aurat dengan memakai kain sari yang tertutup rapat. Pun ketika mereka sedang bernyanyi dengan lawan mainnya, sangat jauh berbeda dibanding aktris India zaman kini yangna’uzubillah.

Para fans Tuan Amitabh Bachchan secara berjamaah akan pergi ke bioskop apabila film idolanya tayang. Tidak sedikit ibu masih hafal lagu-lagu Tuan Bachchan. Sayangnya kenangan menonton cinema jaman dulu sekarang cuma tinggal kenangan yang tak terlupakan, sebab bioskop lama yang dulu pernah berjaya kini telah menjelma gedung tua tak bertuan.

Doeloe, di pusat kota berdiri Plaza 21 Cinema, namun baru tiga bulan beroperasi, bioskop itu mengalami kebakaran dan gedung bioskop itu mangkrak. Di utara Plaza 21 Cinema juga ada Bioskop Guntur 21 yang tidak hanya menayangkan film-film Barat tapi juga mendistribusikan film-film India dan Indonesia. Kalau tidak salah, dulu aku pernah menonton film Saur Sepuh yang mengisahkan tentang kejayaan Kerajaan Majapahit dengan Brama Kumbara sebagai kesatrianya.

Selain dua gedung bioskop yang kini sudah ditelan bumi itu masih ada empat bioskop yang tak kalah ramainya, di antaranya Bioskop Garuda, Bioskop Ria, Bioskop Wijaya Kusuma, dan Bioskop Pusaka. Sayang seribu sayang, ketiga bioskop di antaranya kini telah gulung tikar. Pernah sih bertahan beberapa tahun tapi ya itu bioskop tersebut hanya menayangkan film-film Hongkong dan Indonesia murahan. Kawan pasti tahu maksud dari film murahan yang tidak etis jika disebut dalam cerpen ini.

***

Aku sudah sarapan. Aku pun duduk di salah satu kursi dekat ibu. Kulihat Tuan Bachchan masih terlihat nyentrik dengan tampilannya meski usianya sudah masuk kepala tujuh. Kurasa orang India yang memiliki tinggi di atas rata-rata tinggi orang Indonesia itu akan masih terlihat muda dalam beberapa tahun ke depan. Dia akan terus menari sambil bernyanyi meski usianya menginjak sembilan puluh tahun. Lihatlah saat ini pria yang juga ayah dari Abishek Bachchan itu berkostum ala anak muda dengan berkacamata.

Lalu…

“Dok! Dok! Dok!”

Terdengar suara orang menggedor pintu rumah dengan keras. Spontan aku dan ibu terkejut mendengar suara pintu yang digedor sebab selama ini tidak pernah seorang pun selama ini ada orang yang tak tahu adat dan tak beradab yang menggedor pintu tanpa permisi seperti itu.

“Siapa, Zam?” kata ibu.

“Entah, Bu. Coba Zaman lihat dulu ya.” Aku bangkit dan beranjak menuju ruang depan. Sementara orang itu masih menggedor pintu.

Aku memutar gagang pintu dan spontan aku kaget bukan buatan ketika di hadapanku berdiri seorang perempuan paro baya yang memasang muka merah padam.

“Kau bawa kabur ke mana anakku heh!?” Perempuan itu menyerangku sambil menunjuk mukaku. Aku yang tidak tahu-menahu soal duduk perkaranya kaget bukan buatan. “Kamu tidak usah ngaling sama saya. Katakan dibawa kabur ke mana anakku tempo hari?!”

“Maaf, Bulik! Saya tidak tahu maksud bulik siapa yang saya bawa kabur,” aku menyanggah dengan tenang karena selama ini aku tidak pernah membawa kabur anak orang manapun.

“Alah, kamu tidak usah banyak alasan. Kamu kan yang tempo hari membawa Aisah kabur dari rumah?”Perempuan yang tidak lain ibu Aisah itu terus menyerangku tanpa memberiku jeda untuk membela diri, dia tetap pada pendiriannya untuk terus menudingku yang bukan-bukan.

“Demi Allah saya tidak pernah membawa kabur anak siapa pun termasuk Aisah,” aku masih menjawab dengan kalem sementara lawan bicaraku tetap memojokkanku.

“Tidak usah sok suci kamu! Aku tahu kalau diam-diam selama ini kamu bermain api dengan anakku kan? Lalu tanpa seizinku kamu membawanya ke sebuah rumah kontrakan dan di sana kamu merobek-robek kesuciannya. Cepatlah mengaku kamu! Kalau kamu tidak mengaku akan saya laporkan ke polisi kamu!”

Aku merasa terpancing oleh kata-kata dan tudingan perempuan yang selama ini aku kenal baik itu. Memangnya kapan aku membawa kabur putrinya ke rumah kontrakan hanya untuk menggasak kesuciannya?

“Jangankan membawa kabur Aisah, menyapanya saja aku tidak pernah. Ataukah perempuan ini sudah sudah mabuk kecubung sehingga otaknya melantur?”

Lalu ibuku muncul sambil terbatuk-batuk.

“Siapa, Zam?”

“Mbak Yu, tolong anaknya ini diajari toto kromo biar tidak membawa kabur sembarangan anak orang ya!”dampratnya pada ibuku.

“Maksud sampean apa, Mbak Yu?”

“Ini lho, si Zaman tempo hari membawa kabur si Aisah ke rumah kontrakan yang ada di belakang pabrik Eratek, di sana pula si Zaman menggasak si Aisah.”

Ibunya Aisah berakting macam kambing nungging (yang tidak etis diperagakan dalam cerpen ini). Ibuku mengernyitkan kening dan langsung menangkap maksud perempuan itu. Dan pada akhirnya beliau langsung menginterogasiku.

“Benar kamu selama ini mengajak Aisah kabur dan berbuat gituan, Zam?”

“Demi Allah aku tidak pernah membawa Aisah kabur, Bu. Jangankan membawanya kabur dan merusak kesuciannya, menyapanya saja tidak pernah.” Aku membela diri mati-matian, tapi rupanya perempuan itu masih bernafsu memojokkanku.

“Mana ada maling mau mengaku.” Dia melengos.

“Coba Mbak Yu jelaskan, kapan si Zaman membawa Aisah kabur, pakai baju apa?”

“Tidak usah banyak tanya dan tidak usah mengalihkan pembicaraan karena bukti dan saksi sudah kuat kalau anaknya sampean terbukti membawa kabur Aisah. Saya cuma minta pertanggungjawaban atas kelakuan si Zaman, dan kalau tidak akan saya mejahijaukan Zaman,” kata perempuan itu tegas dengan nada mengancam lalu tanpa permisi dia pulang.

Aku sama sekali belum bisa menghilangkan kekagetanku dan memangnya semalam aku telah bermimpi apa? Ibu menatapku seakan ingin meminta penjelasan dariku.

“Ibu sama sekali tidak paham apa yang dituduhkan oleh ibunya Aisah itu.”

“Aku juga, Bu.”

“Tapi benar kamu suka sama Aisah?”

“Ibu tahu sendiri kan kalau aku tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun? Lalu mana mungkin aku bisa bawa kabur Aisah karena cinta pun tidak.”

“Tapi kayaknya ibunya Aisah tidak macam-macam dengan ancamannya.”

“Apakah kita harus takut dengan ancamannya, Bu, sedangkan bukti dan saksi saja tidak kuat. Bisa saja bukti dan saksinya dibuat mengada-ngada.”

Memangnya apa salahku sehingga ibunya Aisah menuduhku yang bukan-bukan. Menyapa saja jarang. Apalagi jarak rumah kami berjauhan. Beda lingkungan.

Sore ini aku duduk di Warung Kopi Kutunggu Jandamu milik Pak Kodir dan seperti biasanya gemeletuk bunyi pion terlempar-lempar dari pojok warung. Bang Indra datang lalu memesan secangkir kopi. Ia duduk di depanku sambil melinting tembakau.

“Eh, Zam, benar kamu pernah bawa kabur Aisah?”

Lha kok Bang Indra tahu? Pikirku. Aih, mungkin ini kelakuannya si mulut corong dan siapa lagi kalau bukan Maryati yang mukanya hitam macam wajan.

“Menurut abang sendiri, bagaimana?”

“Kalau aku sih tidak percaya. Tapi si mulut corong bilangnya begitu.”

“Ah, dasar si mulut corong kurang kerjaan.”

“Semua orang sudah dengar lho, Zam, dan dengan berbagai propaganda si mulut corong mencoba meyakinkan mereka.”

Ingin aku detik ini menghampiri si mulut corong untuk menggasak mulutnya yang bau macam ban sepeda itu. Tidak hanya aku saja yang menjadi bahan gosip si mulut corong sebab setiap orang yang dibencinya akan disebarluaskan ke khalayak seakan-akan memiliki aib. Padahal dia sendiri memiliki sejarah hidup yang ditulis dengan air comberan di masa mudanya.

Si mulut corong tidak pernah punya ijazah SD karena dia men-droup-kan dirinya sendiri ketika kelas 3 SD lalu malang melintang di warung-warung remang untuk menjual diri pada sopir-sopir truk. Tak berbilang berapa lembar dosanya sendiri dan betapa bejatnya dia. Bahkan ketika sudah menikah pun dia masih selingkuh dengan pria lain. Dan sekarang tinggal sisa-sisa kebusukannya yang masih belum terhapuskan.

Aku yakin si mulut corong akan menjadi juara dunia kalau ada perlombaan menggunjing orang. Tapi aku kembali berpikir sebelum melakukan tindakan konyol kalau aku melabrak si mulut corong apa bedanya aku sama dia yang kelakuannya macam setan itu, dan kalau aku membalasnya apa bedanya prilaku sama binatang itu? Hal ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah perangkap setan.

Berita burung soal aku dan Aisah itu makin menjadi-jadi.

“Ketimbang kamu diam saja mending beri pelajaran saja si mulut corong biar tahu rasa,” Pak Kodir memberi saran.

“Iya. Kalau dibiarkan saja malah kelakuan setannya makin menjadi-jadi,” timpal Bang Indra.

Aku yang sebelumnya membiarkan kejadian ini lama-lama mulai membenci si mulut corong yang tidak pandai menjaga mulut dowernya itu. Berita apa saja pasti disiarkannya. Entah itu berita mau makan, memasak lauk, membeli cincin, membeli beras, melayat, pekerjaan, bantuan dari pemerintah, sampai soal tetek bengek sekolah anak angkatnya, lengkap dengan nominal habis berapa. Dia sama sekali tak peduli dengan keadaan ekonomi keluarganya yang miskin makan tanah. Dan hal ini tidak terlepas dari sifat sombong ibunya. Pepatah buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya sangat pas buat si mulut corong.

***

Berita itu-berita yang menyudutkanku sebagai orang paling sok suci-kian menjadi-jadi macam angin ribut yang mulai membelai-belai bulan Juni. Aku sendiri hidup di sebuah kampung di mana orang-orangnya mengaku sebagai keturunan orang Madura yang menikah dengan orang Osing sehingga menghasilkan suku campuran. Masyarakatnya banyak bekerja sebagai nelayan di pesisir, juga banyak yang bekerja sebagai petani di wilayah selatan. Untuk ukuran wilayah kota kami hanyalah kota kecil yang menjadi langganan peraih Adipura. Motto kebersihan pangkal kesehatan benar-benar dipegang oleh kami.

Dulu, kota kami dikenal sebagai penghasil anggur yang sangat lezat tiada duanya. Dua gunung di selatan menjadikan kota kami terasa lebih sejuk sehingga tanahnya menjadi subur. Sayangnya, meski telah bergonta-ganti kepala daerah kota kami tetaplah kota kecil yang disesaki oleh pengangguran. Walaupun calon wakil rakyat berbusa-busa ketika masa kampanye kesejahteraan guru tidak pernah diperhatikan. Jangan harap orang jenius di sini bakal dihargai dan diberi tempat yang layak.

Sepandai apa pun kalau tidak punya ijazah sarjana, sudah tentu akan menganggur atau hanya bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak diisi oleh para bedebah. Tapi di balik itu semua kota kami tetap mendapatkan penghargaan sebagai kota paling indah sebab di mana-mana hijau bahkan gedung walikotanya juga hijau. Hebat bukan?

“Apa perlu aku harus meminta pengakuan dari Aisah agar masalah ini cepat selesai. Tapi kenapa selama ini gadis itu hanya diam saja membiarkan ibunya menuduhku seolah aku melakukan dosa besar?” bisikku dalam hati.

“Ataukah ini perangkap akal-akalan ibunya Aisah agar aku bersedia melamar putrinya yang sampai sekarang belum nikah-nikah juga? Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dan ini salah satunya. Sebab dengan begitu putrinya akan mempunyai suami dan merdeka dari gunjingan tetangga.”

“Bisa juga ini sudah diskenariokan sedemikian rupa ole ibunya Aisah yang telah berkongsi dengan si mulut corong yang bertujuan untuk meruntuhkan kondeiteku karena selama ini si mulut corong iri sama ibu yang telah berhasil menyekolahkan kami, aku dan abang-abangku sampai ke bangku kuliah sehingga kehidupan ibu berkecukupan sebab sudah pasti orang miskin yang sinis bahwa hudup ini tidak adil akan merasa iri terhadap mereka yang hidupnya tidak susah.”

“Tapi kalau aku nekat ngomong langsung sama Aisah, jangan-jangan aku bakal dibilang pedekate dan sejenisnya,” gumamku. “Maklumkan aku tidak pernah dekat sama dia.”

Aku berusaha untuk membuang semua prasangka baik terhadap ibunya Aisah maupun si mulut corong. Sebab seperti pepatah hanya karena setitik nila maka rusaklah susu sebelanga. Hati yang putih bening akan berubah keruh gara-gara setitik noda hitam. Biarlah si mulut corong sendiri yang makin gosong tapi aku tidak. Biarlah ditanggungnya sendiri dosanya.

“Hei, Pak Zaman, kenapa melamun sendiri?” Pak Ilham menegur sehingga aku tersadar dari lamunan.

“Katanya sampean habis membawa kabur Aisah? Sudah jangan dipikir yang penting sampean tidak pernah melakukannya. Coba sampean lihat kehidupan saya. Sudah berapa kali saya difitnah pernah bermain api sama si Putih, si Manis, si Cantik, si Janda, si Kesepian, tapi saya tidak pernah ambil pusing karena fokus saya hanya satu, hidup sekali, menikah sekali, dan mencintai sekali. Saya bukan tipe lelaki yang suka mengkhianati istri. Dulu saya juga tidak pernah pacaran. Seseorang yang berusaha menjatuhkan kita ke dalam jurang sebenarnya mereka sedang menjatuhkan diri sendiri.”

Aku terpana mendengar penuturan Pak Ilham. Dia melanjutkan, “Boleh jadi, mereka yang berusaha berbuat buruk terhadap kita karena mereka iri melihat kita. Entah dari sisi mana yang menyebabkan mereka menjadi dengki mungkin salah satunya dari profesi kita.”

Pak Ilham tersenyum. Aku termotivasi oleh kata-katanya yang bernas. Aku terinspirasi.

Aku dikagetkan oleh kedatangan abang tertua Aisah. Tujuan kedatangannya adalah hanya ingin meminta maaf kepadaku secara wabil khusus juga ibuku atas ketidaknyamanan yang dibuat oleh ibunya.

“Saya tidak melihat kamu seperti serigala berbulu domba atau bersikap kura-kura dalam perahu, kamu seperti kapas, bening seperti gelas. Aisah pun mengatakan kalau kamu tidak pernah membawanya kabur. Jangankan berniat untuk menodainya, menyapanya saja kamu tidak berani. Maafkan ibu saya atas kejadian ini,” kata lelaki itu dengan tulus.

Aku menghela napas panjang. Aku pun jadi sadar untung saja aku tidak melabrak dan menyumpal mulut si mulut corong dengan mercon cabai rawit. Andai saja aku menggulungnya secara tidak berpendidikan apa bedanya orang yang terpelajar dengan orang tak berijazah?

“Dan satu hal lagi bahwa selama ini ibu menderita penyakit pikun stadium akhir. Sekali lagi saya minta maaf.”

Ah, pikiran kacau terkadang bisa membuat seseorang lari ke dalam gelap sehingga timbul rencana-rencana jahat penuh muslihat. Orang itu akan semakin berlari dan berlari sehingga susah untuk kembali.

Sejak itu derai-derai fitnah masih terdengar. Siapa lagi kalau bukan si mulut corong pelakunya. Semakin dia gencar meyakinkan orang-orang semakin banyak pula yang mengatakannya sinting. Bahkan suaminya sendiri sudah muak dengan mulut bau bannya sehingga tak jarang dia marah-marah sendiri tak jelas di rumahnya.

Aku sendiri setiap kali berpapasan dengan Aisah semakin hari semakin berdebar-debar dan selalu salah tingkah. Banyak orang percaya bahwa tanda-tanda jatuh cinta salah satunya salah tingkah tiap kali bertatap muka. Dan Aisah selalu tersenyum. Tapi aku tidak mau salah menduga karena ketika aku menengok ke belakang ternyata tidak ada siapa-siapa selain aku. Dan sejak itu dia selalu tersenyum.

Aih, sangat elok rupanya

Manis seperti madu senyumnya

Bolehkah abang bertanya

Apakah adik sudah ada yang punya


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)