Masukan nama pengguna
Aku merasa penasaran bagaimana dan darimana pria yang kutahu bernama Pak Tohadi itu memperoleh uang untuk membelikan istri dan anak-anaknya sesuatu di mall. Urusan makan tak pernah kurang. Beda dengan tetanggaku yang sering meminjam beras. Padahal, sehari-harinya mulai dari pagi hingga malam ia hanya di rumah, memberi minum burung-burung piaraannya, mengerek kurung burung love bird koleksinya, menaburkan jagung ayam-ayamnya, dan memberi sarapan kucing-kucing anggoranya yang lucu-lucu, lalu datang seorang loper koran kontet yang biasa stand by di simpang lampu merah untuk mengantarkan koran berlangganan, dan setelah melaksanakan tugas hariannya pria itu akan duduk menyesap secangkir kopi sambil membaca koran Minggu pagi.
Kadang setiap dua bulan sekali di hari Minggu, aku melihatnya mengambil sepasang lembar halaman koran dan dilipatnya. Setelah itu, ia kembali melanjutkan membaca berita tentang kesenian dan budaya. Kadang kedua matanya menangkap sesuatu yang membuatnya terpaku, lalu ia mengambil halaman koran lagi. Aku tak habis pikir, memangnya buat apa pria itu membeli dan membaca koran? Kayak pejabat saja yang setiap bulan berlangganan koran. Buat apa ia mengambil halaman koran itu? Apa isinya? Setelah koran itu menumpuk setinggi langit-langit rumah mau diapakan? Mau dijual ke tukang kiloan? Untuk membendung banjir? Aneh.
Di pasar aku sering menjumpai para pedagang, entah itu pedagang ikan asin, bumbu-bumbu mentah, pedagang tempe, atau pedagang nasi jagung menumpuk koran berbagai nama yang diambilnya dari Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Flores, Lombok, Medan, Palembang, dan Papua Barat. Entah dari mana pedagang itu mendapatkan koran-koran luar pulau itu, padahal aku saja, koran lokal yang beredar di kota kecilku tidak punya.
Aku tidak suka membaca. Tulisan apa pun yang berserakan di penjuru kota tak kupedulikan. Lagi pula buat apa? Toh, aku sudah tidak sekolah. Aku fokus mengais nafkah. Pendidikan terakhirku hanya sampai kelas tiga SMP. Aku tidak melanjutkan sekolah karena kedua orangtuaku tidak mampu untuk membiayai sekolahku. Kami berempat, aku dan ketiga saudaraku, tidak ada yang sampai lanjut SMA. Kata ibu, pandai membaca dan berhitung saja sudah cukup, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lalu kerja yang betul. Buat apa punya ijazah SMA, tapi ujung-ujungnya menjadi pengangguran? Dan, apa yang dikatakan oleh ibuku kadang benar sebab ada anak tetanggaku yang juga teman masa kecilku yang punya ijazah SMA, tapi ia hanya bekerja sebagai bagian cleaning service di salah satu toserba di kota. Ada pula tetanggaku yang sejak SD sampai SMA selalu mendapat ranking satu di kelas, sekarang malah membuka warung kopi dan mi rebus.
Di sisi lain, kata-kata ibuku ternyata dimentahkan oleh sebuah kenyataan bahwa ada salah seorang temanku yang lulus sarjana dan sekarang bekerja di sebuah kantor apa gitu di Surabaya. Tapi, ayah lalu mengatakan bahwa temanku itu menyogok ke pimpinan perusahaannya supaya diterima bekerja di kantor perusahaannya. Entah karena aku bodoh bin dungu, atau karena tertular pemikiran kolot bin jadul khas orang desa, aku manggut-manggut saja dan membenarkan kata-kata ayah.
Tapi yang satu ini, aku benar-benar didera rasa penasaran yang akut. Pria itu cuma lulusan SMA, namun ia tidak seperti orang lain yang bekerja keras sampai tubuh remuk redam. Ia kelihatan santai. Bahkan suatu ketika aku bersalaman dengannya, tangannya benar-benat halus dan empuk. Kata nenekku, orang yang tangannya empuk dan halus tandanya orang itu malas bekerja. Kalau pria itu malas dan tidak punya pekerjaan, lalu ia dapat uang darimana? Pikirku.
Sehabis shalat Isya, datang sepupuku dari kampung sebelah dengan dibonceng sama kakak lelakinya naik sepeda keranjang. Aku yang duduk di beranda rumah menyambutnya. Kedua anak itu mencium tangan kedua orangtuaku dengan penuh takzim. Itulah adat dan tradisi di keluargaku sejak zaman nenek buyutku. Bersalaman dengan orang yang lebih tua dilakukan setiap kali bertemu atau berkunjung ke rumahnya. Jadi, buka karena tidak sedang dalam hari raya juga tidak bersalaman. Tidak.
"Mas, si Fadil mau minta tolong," kata sepupuku itu. Usianya lima belas tahun lebih muda dariku. Masih kelas 2 SMA.
"Minta tolong apa?"
"Dia ada tugas pekerjaan rumah dari gurunya bidang pelajaran Sains."
"Soal apa?"
"Soal nama burung langka yang ada di dunia."
Sepupuku itu mau minta tolong sama aku untuk mengajarinya menjawab PR dari gurunya itu karena mereka tahu kalau aku pandai bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam yang beberapa tahun ini diganti dengan nama Sains, serapan yang diambil dari bahasa Inggris, Science.
"Coba mana soal-soalnya!"
Sepupuku itu menyerahkan bukunya yang berkerut-kerut macam buku catatan utang pedagang pasar itu padaku.
"Kamu nih macam mana merawat buku? Kok buku pelajaran bentuknya macam buku arisan sampai berlipat-lipat? Palingan buku ini sering dilipat di belakang pinggang?"
Adik sepupuku itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir.
"Kok tahu, Mas?"
"Anak-anak sekolah zaman dulu tingkah lakunya memang begitu. Bawa buku cuma sebuah, lalu dilipat di belakang pinggang sampai berkerut dan berlipat macam ini. Kayak kamu nggak punya tas saja." Aku menimpuk buku yang kupegang ke jidatnya pelan.
"Jangan dipukul, Mas, nanti bisa membuatmu bodoh."
"Meski tidak kutimpuk jidatmu dengan buku kamu sudah bodoh sejak dari sononya."
Keduanya tertawa.
"Jadi, apa jawabannya, Mas?"
Kubuka halaman buku dan kubaca pertanyaannya. Di sana ada tujuh butir soal yang semuanya tentang spesies burung. Mulai burung purba hingga burung millenial.
"Burung apa yang bulunya indah berkelir hijau keemasan macam burung surga? Sepasang sayapnya lebar, kuku-kuku kakinya kuat macam besi, dan paruhnya elok. Burung ini berasal dari Belitong."
"Belitung, Mas."
"Ini cara membacanya Belitong, Dodol."
"Mana, Mas? Be-li-tung."
"Anak ini kalau diberitahu ngeyel. Kata orang Belitong kok malah Belitung."
"Entah itu Belitong, Belitung, Belatung, Belikong, Belikon, aku nggak ngurus, Mas."
"Jadi apa jawabannya, Mas, kok malah mempeributkan nama tempat sih? Burung apaan?"
"Burung kakak tua, lalu hinggap di jendela. Masuk ke sarangnya. Huahahaha."
Kami terpingkal-pingkal sampai keluar air mata.
"Bukan," sanggahku. "Burung punai."
"Apa, Mas? Burung punah?"
"Punah gigimu! Punai."
Adik sepupuku ber-o. Lalu, menulis jawabannya di buku.
"Pertanyaan kedua. Burung apa yang telah punah? Burung ini adalah satu-satunya spesies burung yang tidak bisa terbang meski punya sayap dan paruhnya agak besar. Burung ini berasal dari Madagaskar, Afrika Selatan."
"Burung Dodo."
"Hah? Burung Dodo? Dodo Rozak?"
"Bukan. Dodo Rozak itu namanya pemain pelem Miracle in Cell No.7 itu."
"Jadi, apa namanya?"
"Burung Dodo. Tahukah kalian tentang burung Dodo?"
Keduanya menggeleng.
"Aku pernah nonton di televisi, konon burung yang tidak bisa terbang itu terakhir kali terlihat dan hanya tinggal seekor pada tahun 1921 di Madagaskar."
"Pandai sekali sampeyan, Mas, meskipun hanya lulusan SMP." Adik sepupuku berdecak kagum.
"Meski aku tidak suka membaca, tapi aku masih menonton berita di tipi."
Setelah dua pertanyaan selesai kujawab, aku lanjut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tidak sampai pukul setengah delapan seluruh soal sudah terjawab.
"Mas, sampeyan kenal Pak Tohadi?"
"Kenapa memangnya? Pak Tohadi ya tetanggaku."
"Ayah kan kenal sama Pak Tohadi. Dulu, ayah teman sekelasnya Pak Tohadi di SMP. Tapi, sejak lulus SMA, Pak Tohadi tidak bekerja seperti orang lain. Ayah juga heran sama temannya itu yang tidak pernah susah atau pun mengeluh seperti orang lain ketika tak punya uang. Dan yang ayah herankan lagi, meski tidak bekerja Pak Tohadi selalu pegang uang buat mencukupi kebutuhan keluarganya. Aku dengar kata ayah kalau Pak Tohadi punya mesin uang."
"Hah, mesin uang? Maksudmu mesin yang bisa menghasilkan dan mengeluarkan uang begitu?!" Mataku terbelalak ketika sepupuku menyebut nama mesin uang. "Macam mesin atm?"
"Kalau mesin atm cuma bisa menyimpan dan memuntahkan uang saja, Mas. Tidak bisa menghasilkan uang."
Aku manggut-manggut. Kini terjawab sudah rasa penasaranku terhadap pria bernama Pak Tohadi itu. Ternyata selama ini ia mempunyai mesin uang sehingga itu membuatnya tidak perlu bekerja keras dengan membanting tulang kayak orang lain. Makanya, mau beli apa pun langsung terwujud macam dikabulkan oleh jin dalam pelem Jin dan Jun.
"Tapi aku penasaran deh, macam mana bentuk mesin uangnya."
"Sama, Mas, aku juga merasa penasaran macam mana bentuk fisik mesin uang sakti yang selalu diceritakan oleh ayah itu."
"Bagaimana kalau kita sempatkan waktu untuk silaturrahim ke rumah Pak Tohadi untuk melihat langsung bentuk mesin sakti yang bisa menghasilkan banyak uang itu?"
Adik sepupuku mengangguk.
***
Pagi itu, rumah Pak Tohadi sepi macam tak berpenghuni. Pria itu juga tidak menampakkan batang hidungnya. Biasanya pukul 5.30 pagi, pintu gerbang rumahnya sudah dibuka lebar-lebar, lalu pria itu mulai beraktivitas seperti misalnya memotong daun dan tangkai bunga mawar maupun melatinya, lalu menyiram bunga-bunga dan halaman depan rumahnya, memberi makan burung love birdnya, mengasih sarapan buat ayam-ayamnya, dan mengerek kurung burungnya, setelah itu ngopi sambil membaca koran.
Aku yang masih digantang rasa penasaran akan bentuk mesin yang menghasilkan uang itu malah semakin penasaran. Jangan-jangan keluarga orang itu banyak duitnya lantaran habis meminjam duit dari pinjaman online. Siapa tahu ia meminjam duit dari pinjol puluhan juta? Kalau tidak meminjam duit, memang dapat darimana buat membeli kursi baru berbahan kayu jati asli? Dua hari yang lalu, sebuah mobil pickup datang untuk mengantarkan satu unit mesin cuci dan kulkas empat pintu. Dua minggu lalu, istrinya habis membeli sepeda listrik. Padahal, sehari sebelumnya perempuan itu baru saja habis membeli satu unit televisi flat yang layarnya pipih macam buku gambar beserta parabola kecil. Kalau bukan habis dari pinjol mana mungkin bisa membeli barang-barang elektronik mewah?
Kami saja, mau membayar kredit sepeda motor langsung dari dealer sudah megap-megap. Jangankan mau membeli televisi pipih, membeli televisi tabung saja harus menabung uang dari gajian setelah seharian digoreng matahari di tengah sawah. Bahkan hanya untuk membayar uang arisan mingguan kadang kami harus rela seharian berendam di sawah yang ditanami padi. Kaki-kaki kami tidak hanya dimakani kutu air, namun juga sampai tertancap sisa-sisa kayu tanaman jagung.
Menjelang siang, kutengok lagi rumah minimalis berkelir hijau pupus itu, dan ternyata masih kosong macam langit bulan Agustus. Bahkan keempat kucing anggoranya saja tidak menampakkan batang hidungnya. Tak lama kemudian, aku mendengar suara derum motor dan berhenti di depan rumah Pak Tohadi. Seorang pria jangkung dan gagah turun dari motor. Jika dilihat dari pakaiannya yang serba hitam macam ninja yang sempat menghebohkan Indonesia pada tahun 1998 silam, aku langsung menebak kalau orang itu adalah lintah darat temannya rentenir online. Berkali-kali orang itu menguluk salam, namun tidak ada yang menyahut kecuali suaranya sendiri yang terlempar. Lalu, orang itu mencoba untuk menghubungi tuan rumah, tapi wajahnya langsung berubah kecewa. Di waktu yang sama tampak Pak Durohim kebetulan lewat, dan orang itu bertanya padanya. Pak Durohim hanya menjawab dengan senyuman. Usai bertanya, orang itu pergi.
Untuk mengusir suntuk, aku pergi ke warung kopi. Di sana aku memesan segelas kopi dari Mas Qasim, pemilik warkop yang juga menyediakan mi rebus.
"Kopi, Mas, segelas."
"Mi rebus telur juga nggak?"
"Bolehlah."
Aku berkumpul dengan muda-muda kampung yang nasibnya setali tiga uang denganku. Mereka habis pulang dari bekerja di sawah, lalu mengisi waktu dengan bermain domino. Taruhannya, siapa yang kalah, maka dialah yang mentraktir kopi termasuk yang sering bon. Aku pernah menanyakan apakah main taruhan diperbolehkan dalam ajaran agama kita? Justru mereka menyuruhku agar bertanya kepada sahabat nabi, Abu Bakar. Lalu, aku pernah menyaksikan dua orang taruhan. Mereka adalah Mas Alif dan Cak Kori.
Sehabis dari warkop, aku pulang ke rumah. Dan, ketika aku sampai di depan rumah Pak Tohadi, aku melihat rumah itu sudah ramai seperti biasanya. Anak-anaknya tampak sedang bermain dengan kucing-kucingnya yang lucu. Lalu, orang yang tadi datang. Pak Tohadi menemui orang jangkung itu. Keduanya terlihat akrab. Bahkan pria itu mempersilakan orang tersebut agar duduk di kursi beranda rumah. Di waktu yang sama, orang macam ninja itu menyerahkan sebuah paket pipih agak tebal kepada Pak Tohadi. Kemudian istri Pak Tohadi keluar dari dalam rumah, dan menerima paket tersebut. Waktu itu aku langsung beristighfar dengan sejadi-jadinya karena telah berprasangka buruk terhadap Pak Tohadi dengan menyangkanya telah mengambil pinjaman online, namun ternyata bukan. Duh Gusti, betapa malunya aku kepada diriku sendiri, kepada Engkau, dan kepada dunia! Jangan sampai nila setitik jatuh ke dalam susu sebelanga.
Tanpa kusadari ternyata Pak Tohadi melihatku sedang berdiri macam tiang listrik di seberang rumahnya. Begitupun dengan pria yang tinggi macam pohon kelapa degan merah itu. Keduanya tersenyum padaku.
"Hamid, mari mampir kemari!" Pak Tohadi melambaikan tangannya seraya memanggilku supaya mampir ke rumahnya.
"Iya, Hamid. Mampir sini!" Istrinya ganti menyuruhku mampir.
Lalu, dengan langkah kaki berat macam dibebani bola besi dan rantai aku melangkah ke rumah Pak Tohadi. Sebenarnya aku merasa malu karena selama ini aku telah berprasangka yang bukan-bukan terhadap pria paro baya itu. Lantas aku bersalaman kepada Pak Tohadi dan tamunya itu.
"Silakan duduk, Mid!"
"Iya, Pak." Aku mengangguk, sembari duduk di kursi empuk.
"Bu, tolong buatkan minum buat Mas Rafi dan Hamid. Mau segelas cokelat panas, Mid?"
Aku mengiyakan saja. Meski aku habis minum segelas kopi, tapi aku agak segan menolak tawaran Pak Tohadi yang penuh wibawa itu.
***
Sambil menikmati segelas cokelat panas yang disuguhkan oleh istrinya Pak Tohadi, pria itu menunjukkan kliping-kliping koran yang memuat tulisan-tulisannya.
"Ini cerita pendek dan artikel tulisan saya saat dulu merantau ke Jakarta," Pak Tohadi menjelaskan. "Tulisan-tulisan inilah yang telah menyelamatkan hidup saya dari kelaparan selama hampir dua minggu Mas Rafi."
Kedua mata pria yang selama ini selalu ceria itu merekah hingga mengeluarkan air mata.
"Jadi, selama dua minggu itu, Pak Tohadi mengganjal perut dengan apa?"
"Sisa beras yang cuma tinggal enam cupak."
"MasyaAllah." Pria jangkung itu menggeleng-geleng.
"Setelah dapat honor dari tulisan-tulisan ini, saya langsung membeli bahan-bahan sembako dan sebuah mesin uang."
"Mesin uang, Pak?"
"Ya, mesin ajaib yang selama ini menghasilkan uang sehingga hidup saya bisa seperti ini. Dan, juga menghasilkan ini." Ia menunjukkan dua buku kepadaku, bungkusan paket pipih yang tadi diantar oleh tamunya itu.
"Jadi, selama ini Pak Tohadi menggunakan mesin ajaib penghasil uang itu?"
Pak Tohadi mengangguk.
"Bu, tolong bawakan mesin ajaib itu kemari!"
"Baik, Pak."
Inilah yang kutunggu-tunggu itu. Benda mesin ajaib yang kata adik sepupuku yang bisa menghasilkan uang itu. Benda sakti yang selama ini membuatku penasaran.
"Ini, Pak." Istrinya membawa sebuah benda berat yang bentuknya macam koper kecil berwarna putih tulang ke hadapan suaminya.
"Taruh di atas meja, Bu!"
Benda ajaib yang katanya mesin penghasil uang itu sudah duduk manis sambil tersenyum padaku di atas meja. Aku penasaran benda apakah itu?
Setelah itu, Pak Tohadi membuka penutupnya hingga tampaklah bahwa benda itu memiliki tombol-tombol huruf warna hitam, ada huruf besar dan kecil, ada pengatur ukuran kertasnya, ada kertas karbon yang di belakangnya terdapat tinta berbentuk gulungan, dan bila tombol itu digerakkan pada kertas akan muncul tulisan. Ternyata, mesin ajaib itu tidak menghasilkan uang melainkan tulisan!
"Kenapa Pak Tohadi menyebut benda ini mesin uang?"
"Karena lewat mesin ini saya bisa menuangkan ide-ide saya dalam bentuk tulisan, lalu mengirimnya ke koran dan penerbit buku. Ketika tulisan saya tadi terbit, baru tulisan itu menghasilkan uang yang banyak sekali. Tergantung pada jumlah eksemplar buku yang terjual di toko buku," Pak Tohadi menjelaskan dengan detail.
Aku dan pria jangkung itu manggut-manggut.
Sekarang aku paham bahwa mesin uang yang dimaksud Pak Tohadi tidak lain adalah mesin tik yang ada di hadapanku itu! []
Selesai