Cerpen
Disukai
0
Dilihat
11,954
KISAH DAN KASIH
Romantis

Sejenak kami berdua saling diam.

Aku tahu kalau disana abang pasti menangis. Dan aku yakin abang tahu kalau disini aku juga menangis.

Tapi tangisan kami tanpa isak. Tanpa sedu sedan. Hanya getar dan irama suara yang terdengar sedihlah yang menjelaskan bahwa kami berdua saling menangis walau kami berjauhan.

Apakah aku tercipta dari cinta?

Apakah dia tercipta untuk cinta?

Apakah kami tercipta karena cinta?

Duhai diri.

Apakah kau pemilik hati ini?

Ataukah hati ini yang memilikimu?

Jangka waktu itu sebenarnya belum berakhir. Masih tersisa dalam hitungan beberapa bulan lagi. Tapi abang meminta maaf padaku karena tak mampu memenuhi janjinya kepada kedua orangtuaku.

Padahal aku tak pernah menginginkan janji itu. Aku tak berharap apapun. Tapi kedua orangtuaku memberikan syarat pada abang untuk memperlihatkan seberapa besar tanggung jawab akan keinginan abang untuk memilikiku.

Dan abang kini merasa tidak bisa memenuhi syarat itu.

Abang menyadari kelemahannya. Abang juga memahami maksud dan tujuan kedua orangtuaku memberikan syarat itu. Dan abang menerimanya dengan batas waktu yang telah disepakati.

Kedua orangtuaku memberikan syarat pada abang agar menambah kemampuan dalam ilmu agama sebagai syarat seorang calon imam dalam sebuah keluarga. Dan mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan lagi sebagai bentuk tanggung jawab sebagai seorang suami. Kedua orangtuaku ingin abang memahami apa itu sekufu dalam arti yang lebih baik lagi.

Abang mengerti. Abang memahaminya. Dan abang menyanggupinya dengan batas waktu yang telah disepakati.

Saat itu aku hanya diam. Karena sejujurnya aku sama sekali tidak menginginkan perjanjian itu.

Tapi abang menjelaskannya dengan bahasa sederhana yang sangat indah dan menyentuh hatiku.

“Karena abang belum memiliki hak sedikitpun pada diri adik.” Kata abang kala itu. “Bahkan perasaan yang ada dihati inipun belum halal untuk abang miliki.”

Aku hanya diam menatapnya.

Abang menghela nafas panjang. “Kedua orangtua adik memiliki hak yang lebih besar pada diri adik sebelum adik menikah. Mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memberikan kebahagiaan untuk adik. Bukankah sebelum menjadi milik suaminya nanti, seorang gadis berada dibawah lindungan dan penjagaan kedua orangtua mereka? Dan kedua orangtua adik memiliki hak penuh dalam diri adik. Sedangkan abang masih menjadi orang lain dalam keluarga adik. Abang tak ingin mendapatkan hak itu dengan cara yang tak dibenarkan dalam agama.”

Saat itu aku hanya bisa menangis haru.

Inilah yang membuatku jatuh hati pada abang. Abang tak pernah memiliki niat sedikitpun untuk mempengaruhiku meski abang tahu kalau aku sangat menyayanginya.

Walaupun abang hanya seorang lelaki biasa yang sedang berjuang untuk hidup dan agama agar lebih baik lagi, walaupun aku memiliki pendidikan dan ilmu agama serta pekerjaan yang lebih baik dari abang, sesungguhnya akulah yang banyak belajar dari abang. Tentang hidup. Tentang dunia. Semuanya begitu jelas dan jernih abang berikan padaku dalam kacamata kebijaksanaannya sebagai seorang lelaki yang merasa punya agama tapi tak pernah mendekatinya.

Abang mengajarkan padaku bagaimana realita kehidupan dunia yang sebenarnya yang selama ini tertutup untukku. Aku hanya memberikannya satu dua ayat Al Quran dan hadis bersama artinya. Dan abang dengan cepat dan pas membandingkannya kedalam realita dunia.

Termasuk dalam hal cinta.

Abang tak ingin aku terjebak dalam perasaan sayang hingga melakukan kebodohan-kebodohan yang tak dibenarkan dalam agama. Bahwa cinta itu wujud dalam diri setiap manusia sejak dalam rahim. Itulah cinta pertama kita. Cinta yang kita kenal sejak kita berada dalam kandungan. Cinta pertama dari kedua orangtua kita. Tapi setelah kita dewasa, kita mengenal cinta yang lain yang membuat cinta kita pada kedua orangtua kita menjadi berkurang bahkan terlupakan. Bahkan kita sanggup melakukan apa saja demi cinta baru kita itu agar tak hilang dari hati meski belum halal dan belum layak untuk kita puja. Kita bahkan rela dan ikhlas melakukan kebodohan-kebodohan untuk membuktikan besarnya cinta kita meski itu adalah sesuatu yang terlarang.

Karena abanglah lelaki pertama yang membuatku simpatik dan jatuh hati. Tapi abang tidak punya latar belakang pendidikan agama. Tidak seperti lelaki lain yang juga menyukaiku yang memiliki segala kelebihan, abang hanyalah seorang lelaki biasa yang belajar menapak jalan menjadi lelaki yang lebih baik lagi.

Aku sering mengajarkan dan menjelaskan pada abang saat abang menanyakan sesuatu yang tak dimengertinya. Dan abang sangat senang mendengarnya.Tapi abang hanya akan diam mendengar dan berada dibarisan belakang para lelaki yang membusungkan dada akan ilmu mereka. Mereka, para lelaki bodoh itu selalu menbanding-bandingkan diri mereka dengan abang. Mereka selalu menganggap bahwa mereka lebih baik daripada abang.

Semua itu karena aku.

Dan puncak dari perasaan abang yang tertekan adalah dulu, kala secara tak sadar menumpahkan rasa sedih dan kekesalannya didepanku. Abang tak bermaksud untuk menyakitiku. Aku tahu itu. Abang hanya secara tak sadar larut dalam emosi dan tenggelam dalam gejolak perasaan untuk menumpahkan segala apa yang membebaninya dengan mata berkaca-kaca.

Itulah kali pertama aku melihat abang menangis.

Aku ingin membantunya. Aku ingin melindunginya. Aku ingin menjaga perasaannya. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Abang selalu melarangku baik secara langsung ataupun tidak untuk tidak telalu mengikuti keinginan hati. Karena kami belum sah untuk saling memiliki. Cinta kami belum sah dan halal untuk menjadi alasan pembenaran sebuah keinginan.

“Dulu, saat abang masih remaja, abang selalu berkhayal untuk menjadi seorang lelaki yang sempurna untuk wanita yang abang cinta.” Kata abang kala itu. “Abang ingin melindunginya. Menjaganya. Memberikannya kebahagiaan dengan cinta yang abang punya.”

Aku menatap mata abang.

Abang mengusap sudut matanya. “Tapi setelah dewasa, abang menyadari ternyata abang bukanlah lelaki sempurna. Abang memiliki begitu banyak kelemahan. Abang memiliki begitu banyak kekurangan. Abang memiliki begitu banyak cacat pada diri ini. Dan abang kini menyadari ternyata abang bukanlah lelaki terbaik untuk adik.”

Aku seperti ingin berteriak mengeluarkan apa yang menjadi keinginan hatiku. Bagaimana caranyakah agar aku bisa menjadi pelengkap kesempurnaannya? Bagaimana caranyakah agar aku bisa menjadi pelengkap kekurangannya? Bagaimana caranyakah agar aku bisa menjadi bagian dari kekuatannya? Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa memilikinya secara halal untukku?

Dan melalui teleponlah abang memintaku untuk belajar melupakannya. Abang tak ingin janji yang dulu pernah terucap menjadi beban untukku melangkah. Abang tak ingin waktuku tersia-siakan hanya karena dirinya yang tak bisa memenuhi janji. Abang ingin aku mendapatkan seorang lelaki lain yang cocok dan sepadan untukku. Yang lebih sempurna dari dirinya.

Abang berjanji, jika waktu yang telah disepakati telah berakhir, abang akan datang untuk menjelaskan pada kedua orangtuaku bahwa abang telah mengikhlaskanku. Abang mengatakannya terlebih dahulu padaku agar saat ini juga aku belajar dan siap melupakan abang. Agar nanti tidak terjadi salah paham diantara kami berdua. Dan aku bisa segera membenahi hatiku untuk lelaki lain.

Aku hanya diam mendengarkannya membujukku yang kala itu hanya bisa menangis. Hanya satu kalimat yang kuucapkan dan kulafaskan berulang-ulang kali.

“Adik tak akan pernah melupakan perasaan ini, kasih sayang ini hingga ajal menjemput nanti. Adik tak akan pernah melupakannya.”

Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin berkorban apa saja untuk cinta ini agar halal kumiliki. Jika melakukan suatu tindakan karena cinta sebelum halal menikah adalah sebuah kebodohan, aku akan memperjuangkannya kedalam sebuah pernikahan suci untuk sebuah cinta yang halal. Aku akan ikhlas menerima segala kekurangan abang. Karena bagiku, itulah arti sebuah pengorbanan sejati. Seperti cinta syaiditina Khadijah yang begitu besar pada Rasulullah walau Rasullulah tak memiliki pendidikan, tak memiliki kedudukan dan tak memiliki kekayaan. Bahkan Rasullulah juga telah kehilangan kedua orang tuanya. Tapi Siti Khadijah ikhlas menerima Rasulullah bersama kekurangan beliau, ikhlas memberikan segala apa yang dia miliki. Hati, jiwa, kekayaan dan seluruh hidupnya untuk Rasulullah demi memyebarkan agama islam.

Aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang kuinginkan ada dari alam rasa. Dan bukan hanya dalam alam nyata. Kebahagiaan yang kuinginkan adalah kebahagiaan dalam hatiku, bukan sekedar kebahagiaan semu yang terlihat oleh mata.

Tapi semuanya tetap sulit terwujudkan. Karena abang tetap mengatakan bahwa kedua orangtuaku memiliki hak yang lebih besar didiriku daripada sekedar cinta yang belum halal.

Aku diam dan merenung. Aku mencoba untuk menahan dan menyembunyikan perasaanku meski itu sulit kulakukan. Disetiap tubuhku, dalam setiap raut wajahku, aku tak bisa menutupi kesedihanku.

Jika menahan dan menyembunyikan perasaan dihati akan cinta didada yang belum halal menjadi kewajiban untuk seorang gadis, maka aku juga akan menyembunyikan semua keindahan yang ada didiriku dan menahannya agar tak pernah dinikmati oleh siapa saja yang bukan mukhrimku. Kan kututup seluruh aurat tubuhku secara sempurna tanpa menyisakan sedikitpun lekuk tubuhku, termasuk wajahku dengan burqa dan kedua telapak tanganku dengan sarung tangan meski kedua bagian itu bukanlah bagian dari aurat wanita. Aku hanya akan menyisakan kedua mataku yang akan menjadi saksi kala memandang segala apa yang terjadi didunia dibalik kesedihan diwajahku yang kusembunyikan dalam cadar.

Dan perubahan yang kulakukan mengundang tanda tanya pada orang-orang di sekitarku. Gaya busana yang hanya mengenakan busana panjang satu warna, hitam, yang langsung menutupi seluruh tubuhku. Ditambah dengan jilbab lebar menutupi kepalaku bersama cadar yang menutupi wajahku dengan sempurna kecuali kedua mataku, mengundang tanda tanya dari orang-orang disekitarku.

Aku hanya diam kala mereka bertanya alasanku mengganti gaya busanaku, karena sebelumnya aku hanya mengenakan busana muslimah biasa-biasa saja seperti yang sering dipakai para remaja. Mereka sedikit keberatan dengan gaya busanaku yang menurut beberapa teman-temanku sedikit berlebihan, terutama kala menutupi wajah dengan cadar dan kedua telapak tanganku dengan sarung tangan. Karena menurut mereka kedua bagian tubuhku itu bukanlah bagian dari aurat yang wajib ditutupi.

Aku hanya menjawab tenang.

“Aku hanya ingin belajar menutupi keindahanku agar para lelaki tidak melihat dan menginginkanku hanya dari penampilan fisikku semata. Bukan hanya dari keindahan yang terlihat oleh mata mereka sahaja.”

Padahal bukan itu alasan utamaku mengenakan burqa. Aku mengenakan burqa hanya karena ingin menutupi kekecewaanku. Melampiaskan amarahku. Aku ingin menyembunyikan kesedihan yang terpancar dan terus terpancar tanpa henti dibalik cadarku ini. Agar mereka tak melihat kesedihan yang aku rasakan dari raut wajahku. Agar mereka tak mengetahui bahwa ada luka yang tergores disini, dihati, dan terlihat dari wajah ini. Agar mereka tak melihat sakit yang aku rasakan. Semuanya tak lebih dari upayaku untuk menutupi perasaanku semata…

Jangka waktu itu telah lama berakhir. Berlalu bersama waktu yang terus berjalan bersama kekecewaan ku akan hidup yang sampai saat ini masih ku jalani sendiri.

Tapi kini abang berdiri tepat dihadapanku setelah kami tak lagi bertemu dan berkomunikasi sejak abang meneleponku untuk belajar melupakannya. Abang berdiri tepat didepanku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Tatapan yang sanggup membuat jantung ini terhenti seakan kehilangan detak iramanya. Semula aku hanya diam dan ingin memastikan apakah abang bisa mengenaliku yang bersembunyi dibalik gaya busana baruku beserta cadar di wajahku.

Tapi abang tetap bisa mengenaliku. Dalam satu kali tatapan saja abang bisa mengenaliku tanpa harus memastikan terlebih dahulu siapakah gadis bercadar hitam yang berdiri dihadapannya. Tak ada keraguan sedikitpun diwajahnya. Abang tetap bisa mengenaliku. Bahwa tatapan mataku tak akan pernah bisa menyembunyikan dan menutupi perasaanku kala menatap wajah abang.

“Adik….”

Aku hanya bisa diam menatap abang dengan sorot mata syahdu penuh kerinduan. Kurasakan kini mataku mulai berkaca-kaca.

Dan perasaan itu datang lagi. Kasih itu hadir kembali. Bahwa perasaan sayang ini tak pernah hilang dari hatiku dan kini tumbuh kembali bersemi di hati meski selama ini aku menjalani hari-hariku dalam luka dan kekecewaan.

Ya Allah...

Apa yang harus aku lakukan agar cinta ini halal untukku miliki?

Sekedar teaser singkat...


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)