Cerpen
Disukai
3
Dilihat
24,452
Kenapa Anggi Memutuskan Arwan dan Memintanya Menikahi Ane
Drama

SEHABIS magrib kami masih duduk di sajadah masing-masing. Zikir dan doa tadi membuat hati kami teduh dan pikiran mereka tenang. Mama menunggu saja, tak akan jadi pembuka pembicaraan. Seperti biasa. Dia orang yang paling santai menghadapi persoalan apa pun.

Ayah mengeringkan matanya yang basah dengan ujung lengan baju kokonya. 

Ane memandangku seakan menyuruhku lekas bicara. Dia sepertinya ada urusan yang harus dibereskan. Tapi kata-kata ayah adalah undang-undang di rumah ini. Inilah yang membuat kami melingkar di sini, dan sidang keluarga pun dimulai.

Ada dua persoalan besar bagi ayah terkait aku dan Ane.

“Anggi, tidak bisa kamu bicara lagi sama Arwan?”

“Ayah, kami sudah tujuh tahun pacaran. Sejak di Unpad dulu, kalau Ayah ingat. Saya sudah berkali-kali bilang kepadanya, meminta dia berubah…” kataku.

Dan Arwan tidak pernah berubah. Dia sangat percaya diri dengan dirinya, keadaannya, cara hidupnya, dan dia tak salah. Apa salahnya punya wajah sekelas Christian Sugiono? Saya jatuh cinta padanya karena itu, dan itu tak perlu kupungkiri. Memiliki kekasih seperti Arwan adalah impian gadis sekampus.

Apa salahnya lahir sebagai anak bungsu dari keluarga yang untuk anaknya yang kuliah di Bandung dibekali satu unit apartemen dan sebuah Alphard bagi Arwan seperti Honda Beat bagi mahasiswa lain. Saya tak terpesona dengan hal-hal material tapi tentu saya menikmati keberlimpahan itu dan dengannya Arwan memanjakan saya.

Apa salahnya kalau Arwan yang cerdas itu kuliah hingga ke Baltimore dan kembali dengan sebuah perusahaan yang sudah siap ia kembangkan, seperti kakak dan abangnya? Tidak ada. Tapi…

“Arwan tak setegas Ayah. Dia terlalu manut sama Anggi, Yah. Dia menyerahkan semua keputusan pada Anggi. Bayangkan nanti kalau kami menikah, berumah tangga, pulang dari kantor, saya akan mengurus dia juga. Saya tak dibesarkan dengan model relasi seperti itu. Ayah tak mengajari kami untuk jadi perempuan yang begitu. Saya mau suami yang bisa mengatur saya, yang saya ikhlas patuh padanya,” kataku.

Arwan begitu karena ayahnya begitu. Di keluarganya Mamanyalah yang mengatur segalanya. Arwan hidup terlalu nyaman. Tak pernah ada keinginannya yang tak bisa dicapai. Ibu dan kakak perempuannya memanjakan dan membanggakan dia sebagai anak yang sempurna. Patuh, sopan, tampan, pintar, dan orang bisa membayangkan hal-hal apapun bisa dicapai dan diraih oleh Arwan.

“Ayah bukan Arwan, Anggi.”

“Ya, karena itu, Anggi putuskan hubungan kami berarkhir saja.”

Ayah bertanya kenapa dulu saya menjalin hubungan dengan Arwan. Ini sudah berkali-kali saya jelaskan. Saya dulu menikmati sekali bagaimana saya mengendalikan dia. Membuat dia nurut, tapi saya tak memanfaatkan dia.

Apa yang dia keluarkan untuk memanjakan saya semua dalam batas yang saya bisa mendapatkannya. Tiket nonton Tailor Swift di Singapura? Tanpa dia beri saya bisa membelinya. Saya dengan cara saya, cara yang keras seperti diajarkan Ayah, bisa mengunci dan menutup hati Arwan agar tak dimasuki wanita lain. Anggi bagi Arwan seperti pengganti ibunya. Anggi yang mengatur Arwan, makan di mana kalau mereka kencan, nonton film apa, sampai memutar lagu apa di mobilnya.

“Kamu ada naksir laki-laki lain?”

“Ayah tak mendidik kami untuk berkhianat kan? Kalau ada pun saya pasti akan jujur dan bilang padanya. Tak ada, Yah…,“ kata Anggi.

“Ane adikmu akan menikah,” kata Ayah.

“Ya silakan saja, Yah. Ane dan Eza sudah bicara sama saya. Kemarin saya juga bantuin cari gedung dan rekomendasikan beberapa WO kenalan saya,” kata Anggi.

“Ma? Gimana, nih?” tanya Ayah pada Mama.

“Terserah Anggi. Dulu Anggi sendiri yang memilih Arwan. Dia yang akan menjalani hidupnya. Anggi tahu apa yang baik buat dia. Dari pada nanti bermasalah cerai malah lebih repot urusannya.”

“Mama yang kenal baik sama keluarga Arwan. Gimana nanti?”

“Mereka kan belum melamar. Kalau karena Anggi mutusin Arwan keluarganya marah, yang bukan salah kita, bukan salah Anggi. Mama bisa jelaskanlah ke mereka,” kata Mama.

“Ya, sudahlah. Kalau begitu. Terserahlah… “ kata Ayah dan dia menangis. 

Ah, ayah sekarang memang agak cengeng. Ada masalah sedikit, dia menangis. Aku tak suka perubahan perangai ayah yang seperti itu. Ayah sekarang rapuh.

Rapat bubar.

Ane masuk kamar. Aku menyusul ke kamarnya. Mengajaknya bicara. “Apa kabar Eza, An?”

“Dia lagi ke Sulawesi. Ada persiapan proyek baru di sana.” Kami lalu berbincang tentang banyak hal. Aku memang dekat dengan Ane. Ane adalah copas sosok Mama. Persis sama, cantiknya, kesantaiannya menghadapi hidup, ambisinya yang tak menggebu-gebu, dan cara dia menghadapi persoalan. Ibaratnya kalau ada pohon tumbang menimba dapur, maka Ane akan tetap menunggu telur rebus matang. 

“An, kakak mau tanya nih. Andai… ini seandainya ya, kamu punya pilihan menikah dengan Eza atau Arwan kamu pilih mana?”

“Ya, jelas pilih Arwan, Kak…”

 “Kenapa? Kamu anggap kakak salah karena mutusin dia?”

“Ya, tidaklah, Kak. Kenapa saya pilih Arwan? Karena dia sempurna.”

“Kamu tak sungguh-sungguh mencintai Eza?”

“Kan tadi Kakak mengajak saya berandai-andai. Tentu saja saya serius mencintai Eza, Kak…”

             “Yah, kamu tak bisa kusalahkan. Kamu tak mengenal dia tujuh tahun seperti kakak mengenal dia.”

 Ane bilang dia paham dan dia juga mengerti sikapku. Kami lalu berpelukan. Saya ingin benar melihat Ane bahagia, lekas punya anak, supaya ayah dan mama lebih bahagia karena kehadiran cucu, apa yang mungkin akan lama baru bisa kuberikan untuk mereka. Saya tinggalkan kamar Ane.

 Saya sedang menulis buku harian di kamarnya, ketika Ane menghambur ke kamarnya panik dan terpukul. “Eza, kak. Eza…”

 “Kenapa Eza?”

 “Kecelakaan, Kak…”

  “Di Sulawesi?”

  Ane ambruk.


SAYA sedang dalam pesawat dalam perjalanan ke Australia, untuk gelar S3-ku yang sudah kutunda setahun. Aku sudah lulus tes sejak tahun lalu dan dapat beasiswa LPDP juga tahun lalu. Saya berangkat dengan perasaan lega tanpa beban. Arwan tak lagi jadi beban pikiranku. Meskipun dia tak akan menghalangiku apabila dulu saya berangkat dengan minta izin dia. Bukan rencana S3 ini yang membuat saya memutuskan hubungan dengannya, tapi karena saya berkembang dan yang kubutuhkan adalah lelaki yang bukan seperti dia. Saya tahu benar apa yang kubutuhkan.

Saya membayangkan Ane dan Arwan sedang menikmati bulan madu di Heidelberg. Saya meminta Arwan untuk menikahi Ane, setelah Eza meninggal dalam kecelakaan di Sulawesi. Arwan tak menolak. Pernikahan mereka berjalan lancar dan meriah, karena toh semua sudah disiapkan. Gedung, katering, WO profesional, hanya undangan yang harus diubah sebelum dicetak atau diedarkan secara digital, mengganti namaku dengan nama Ane. 

Kepada Arwan saya katakan, “tolong bahagiakan Ane. Terima dia sebagai dia bukan sebagai pengganti saya.” Dan saya yakin Arwan akan patuh, menurut apapun yang kuminta.


© Habel Rajavani, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)