Cerpen
Disukai
1
Dilihat
17,840
Kejutan Nanit untuk Hilmi, Sebelum Menikahkan Yulia
Drama

Kejutan Nanit untuk Hilmi, Sebelum Menikahkan Yulia

Cerpen Habel Rajavani

NANIT mengingatkan aku untuk memotret anaknya, anak kami. Pemotretan prasanding. Ya, sejak dulu aku menyebutnya begitu, sebagai padanan prewedding. Bahkan nama itu kupakai sebagai brand bisnisku.

Yulia, sebenarnya juga sudah bilang padaku. Ia akan dinikahi pacarnya, yang juga sudah lama telah ia perkenalkan padaku.

"Aku mau Papa yang memotret. Papa kan fotografer prewedding paling keren di negeri ini," kata Yuli.

"Kamu yakin?"

 "Kok Papa yang ragu? Rana lelaki yang baik, Pa..."

"Bukan itu. Aku tak meragukan pilihanmu. Apa kamu yakin mau difoto sama Papa?"

"Yakin, dong, Pa... dari dulu juga Papa selalu motretin Yulia kan..."

"Ini prewedding-mu, momen istimewamu..."

Tapi percuma mendebat Yulia.  Karena tentu saja Yulia telah yakin dengan keputusannya. Aku kenal benar sifatnya, meskipun sejak usia tiga tahun Nanit membawanya. Kami masih tinggal satu kota. Aku bisa menjenguk Yulia kapan saja. Aku dan Nanit ingin memastikan Yulia tak kehilangan kasih dan perhatian seorang ayah. Kadang, jika Yulia meminta, aku menginap, menemaninya tidur.

Nanit sudah lama mengajak aku membicarakan rencana pernikahan Yulia. Rencana yang membuat aku berlatih keras bagaimana menikahkan anak. Menghapal bacaan-bacaan dan doa pendek. "Aku nikahkan engkau dengan anakku Yulia binti Hilmi... dengan mas kawin..."

Kalimat sakral itu membuat aku ragu. Pantaskah aku menikahkah anakku? Atau harus pakai wali nikah saja? Serahkan pada penghulu. Beres...

"Papa, aku tak pernah minta macam-macam. Tak banyak juga yang pernah kuminta pada Papa. Ini bukan permintaan yang berlebihan kan, Pa?" kata Yulia, merayu dan meyakinkan aku.

Aku tak bisa menolak, apalagi ketika Rana pun ikut bicra. Katanya, dia ingin, ayah Yulia langsung yang menikahkan anaknya dengan dia. Lebih afdal.

Aku semakin tak bisa bilang tidak.

Nanit dan Yulia sepakat memilih sebuah kebun bunga di Cibodas sebagai lokasi pemotretan. Anak pemiliknya teman baik Nanit. Sebuah kebun bunga yang tak terlalu luas, tapi dari sini dihasilkan banyak bunga-bunga yang belum dikembangkan oleh pekebun lain. Beberapa kali aku pernah menjadikan kebun ini sebagai lokasi pemotretan untuk majalah yang menyewa saya sebagai fotografer. Beberapa kali aku tahu di kebun ini ada syuting film dan sinetron juga.

Nanit datang dengan pakaian yang makin membuatnya cantik. Gaun terusan putih, yang membiarkan lengannya yang putih bersih itu terbuka. Ia secantik dulu. Kecantikan yang membuat aku tak berpikir panjang untuk jatuh cinta. Tapi, ah, cinta saja ternyata tak cukup, sebesar apapun itu... 

"Aku masih secantik dulu, kan?" kata Nanit, menggodaku, seolah tahu apa isi pikiranku. Tapi, ya, begitulah Nanit, perempuan ini memang selalu tahu isi pikiranku.  

RANA datang dengan seperangkat fotografi yang tak kalah dengan apa yang kubawa. Dia bilang itu untuk properti. Dia ingin difoto bersama Yulia sebagai fotografer. Dia memang seorang fotografer. Dia bekerja di kantor berita asing.        

Aku kira karena itu Yulia suka padanya.  Yulia suka difoto. Aku suka memotret Yulia. Potret-potret yang lengkap, mengabadikan perkembangannya dari gadis kecil hingga menjadi perempuan dewasa yang kini siap dinikahi lelaki pilihannya. Kadang-kadang dia jadi objek eksperimenku. Saat-saat aku memotret Yulia adalah saatku mengganti waktuku tak bersamanya. Pasti waktu itu kurang tapi kami selalu menikmati saat kami bersama yang tak banyak itu.

Ada masa-masa ketika peranku memotret Yulia digantikan oleh Rana. Yulia, seperti Nanit, adalah perempuan berkualifikasi seorang model yang sangat menarik untuk dipotret. Meskipun mereka selalu menolak untuk jadi model. Banyak agensi kenalanku meminta. Tapi mereka memilih profesi yang jauh dari dunia modelling. Menjadi akuntan, pekerjaan yang memerlukan ketelitian, ketekunan pada angka-angka yang bagiku njelimet. Pekerjaan yang bagiku huh nggak ada seni-seninya.

Pagi itu cerah. Aku memperhatikan Nanit tampak bahagia sekali. Ia ikut mengatur gaya bagi Rana dan Yulia. Aku senang melihatnya. Aku tak pernah melihat dia sebahagia itu, selama masa hubungan kami yang pendek, sebelum ia pergi membawa Yulia.

"Rana, sekarang kamu yang motoin aku sama Papanya Yulia..." kata Nanit. Ia menarik tanganku, mengambil posisi dengan latar belakang untaian bunga datura.

"Eh, cuma pake gini?" kataku. Menunjuk pada baju yang kukenakan. Aku hanya memakai kaos hitam, pakaian tempur favoritku sepanjang masa.  

Nanit malah membuka kaosku. "Ya, sudah, gak usah pakai baju aja sekalian..."

Yulia dan Rana tertawa. Aku pun mengikuti arahan Nanit. Ia meminta aku memeluknya. Ia bersandar di dadaku. Ada saat kami bertatapan. Bahkan berciuman, adegan yang diminta oleh Nanit. Semua diabadikan oleh Rana.

"Ini yang mau nikah siapa, sih?" kataku tertawa. Nanit hanya tersenyum mahal. Senyum yang menyimpan kejutan. Kejutan itu berupa permintaan Yulia agar aku menikahinya, sebelum pernikahan Yulia dan Rana. "Kalau kamu mau. Lamarlah aku, lagi... Mi. Hanya pernikahan kecil, lalu perayaan sederhana. Kita undang teman-teman dekat saja..." kata Nanit.

 “Nit?” tanyaku.

“Aku sudah lama mau bilang sama kamu, Mi. Selama ini aku yang salah…”

“Nggak ada salah-salahan. Kita sudah bicarakan ini dari dulu…”

 “Mama dan papa dua-duanya udah gak ada lagi, Mi. Tapi aku yakin kalau mereka masih hidup mereka akan menerima kamu, merestui kita,” kata Nanit. Dua tahun lalu Om Trias dan Tante Mirna meninggal, nyaris bersamaan waktunya.

Sejak kami berpisah, aku dan Nanit, seperti beradu kuat, siapa yang paling setia. Nyatanya, tak ada di antara kami yang menemukan orang lain yang bisa kami cintai. Nanit, sepertiku, pernah dekat dengan beberapa orang lain, tapi tak pernah melangkah jauh apalagi sampai ke pernikahan.

"Aku tahu kecemasanku salah. Aku salah tak mempercayaimu," kata Nanit.

Itu mungkin karena Nanit melihat apa yang ada di sekitar kehidupannya. Almarhum Tante Mirna, mamanya Nanit, adalah model terkenal pada zamannya. Om Trias, papanya Nanit, adalah fotografer terkenal pada masanya.

Tante Mirna membenci siapapun lelaki berprofesi fotografer setelah perselingkuhan Om Trias dengan banyak model terbongkar dan ramai di media. Tante Mirna tetap tak bisa menerima aku meskipun Nanit hamil, pun setelah Yulia lahir.  

Karirku menanjak kala itu, kantorku merekrut beberapa fotografer bagus, itu yang membuat Nanit makin juga meragukan apakah aku bisa tetap setia. Aku kira setelah tiga tahun bersama merawat Yulia, Nanit dan Tante Mirna mau menerima aku. Aku melamar dia berkali-kali, dia menolak berkali-kali. Kalau kami mencatatkan pernikahan lalu bercerai kemudian itu hanya formalitas. Secara legalitas Yulia harus punya ayah.

AKU sudah yakin benar aku sudah siap. Tapi, masih saja ada rasa gugup menyelinap.

"Siap, ya, Pa?" kata Rana yang duduk di hadapanku. Kami menanti penghulu.

"Siap, dong. Tadi kan papa sudah latihan duluan. Papa tahu apa rasanya berada pada posisi kamu sekarang," kataku.

Nanit dan Yulia berpandangan, lalu tersenyum. Senyum dua perempuan yang tak punya alasan untuk meragukan lelaki-lelaki yang mereka pilih.


© Habel Rajavani, 2024


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)