Masukan nama pengguna
Emosinya masih juga menggelegak. Padahal aku sudah berulangkali menasehatinya.
“Jadi sampai hari ini adikmu masih tak menegurmu?” tanyaku.
Dia mengangguk.
“Mungkin dia masih marah karena peristiwa itu.”
“Seharusnya aku yang marah!” Katanya. “Dia sudah merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Percuma saja dia mengenakan jilbab.”
Aku diam menatapnya. Wajar saja kalau adiknya masih marah padanya. Tapi dia juga tak salah karena apa yang dia lakukan hanyalah untuk membela kehormatan adiknya.
Semuanya bermula saat aku dan dia mencari adiknya pada malam minggu kemarin. Dia yang curiga dengan adiknya, memintaku untuk menemaninya mencari adiknya yang pada malam itu keluar dengan alasan ke rumah teman.
Dan mamanya percaya dan mengizinkannya. Sedangkan papanya tak ada di rumah karena papanya bekerja sebagai pelaut.
Dia curiga karena beberapa teman memberitahukan padanya kalau adiknya menjalin hubungan dengan seorang cowok. Dan cowok itu bukanlah cowok baik-baik.
Aku juga tahu cowok itu. Cowok itu memang memiliki reputasi buruk tentang wanita. Dia suka mempermainkan dan memanfaatkan wanita-wanita yang suka padanya. Dengan wajahnya yang tampan, penampilan yang trendy dan berasal dari keluarga kaya, dia bisa membungkus semua kebusukan sifatnya itu dibalik status keluarganya yang merupakan pejabat daerah.
Maka malam itu, setelah mendapat informasi dari teman-teman yang kebetulan melihat adiknya, aku dan diapun berangkat menuju tempat anak-anak muda sering mojok. Tempat itu merupakan sebuah pantai terbiar yang ditumbuhi semak dan gelap gulita. Sudah sejak lama tempat itu menjadi tempat anak muda memadu asmara. Dan yang menyedihkannya lagi, tak ada inisiatif dari pemerintah dan pejabat yang notabene beragama islam untuk merazia dan membubarkan orang-orang disitu untuk mencegah prilaku maksiat dan perbuatan zina.
Tapi bagaimana caranya mencari adiknya ditempat gelap gulita seperti ini? Memang banyak kelebatan dan bayangan orang yang sedang berduaan. Ada yang diatas motor. Duduk-duduk ditanah sambil memandang langit. Berdiri sambil berpelukan. Belum lagi yang sengaja mencari tempat dirimbunnya semak-semak. Juga beberapa mobil yang terparkir tak jelas.
“Tak mungkin kita soroti satu persatu pake lampu mobil.” Kataku. “Atau kalau kita periksa semua mobil, bisa-bisa kita membuat keributan pada orang-orang yang sedang asyik masyuk.”
Temanku memandangku. “Lalu bagaimana?”
Aku diam sebentar.
“Matikan mobil.” Kataku.
Dia mematikan mobil.
“Kita turun dulu.”
Dia menatapku heran. “Memangnya mau apa?”
Aku turun dari mobil. Dia mengikutiku.
“Kamu punya no hape adikmu, kan?”
Dia mengangguk.
“Kita hubungi adikmu sekarang. Kalau kita mendengar suara handpone berbunyi, kita pergi ke situ. Mudah-mudahan itu suara handpone adikmu. Kau tahu nada dering adikmu, kan?”
Dia mengangguk. Lalu meraih handponenya dari dalam mobil. “Kalau dia matikan handponenya bagaimana?”
“Nasib, la, kalau begitu.” Jawabku. “Tapi yang penting kita coba dulu. Mudah-mudahnan berhasil. Daripada kita bengong begini.”
Maka diapun mulai memencet-mencet tombol handponenya. “Dah. Aku sudah menghubunginya.”
“Masuk?”
Dia diam sejenak. “Ya.”
Akupun menajamkan telinga mencoba mencari suara handpone berdering. Begitu juga dia.
Dan usaha kamipun berhasil. Aku mendengar bunyi suara handphone berdering.
“Ya, benar. Itu nada dering handphone adikku.” Katanya.
“Kayanya tak jauh dari sini.” Kataku. “Kita tinggalkan mobil disini. Lebih baik kita jalan kaki.”
Maka bergegaslah kami menuju sumber suara itu yang ternyata berasal dari sebuah mobil yang terparkir menghadap kelaut.
Ku raih handponeku untuk menyalakan lampunya sebagai penerang. Ada sebuah sebuah sedan merah terparkir disana. Dan terlihat penghuninya sedang berbaring-baring di atas kap depan mobil terkejut kala lampu handponeku menerangi mereka.
Temanku langgsung menerobos mendahuluiku.
Plakkk!!!
Aku terkejut. Temanku menampar pipi seorang gadis muda yang dia tarik tangannya. Adiknya!
Diatas kap mobil, cowok itu kini bangun dan duduk. Aku melihat jilbab merah tergeletak dipinggir mobil.
Dan adiknya yang kulihat selalu mengenakan jilbab kini tak lagi mengenakannya hingga aku bisa melihat wajah cantiknya dengan rambut sebahu.
Aku malas membayangkan sedang apa adik temanku tidur-tiduran berdua dengan cowok itu hingga jilbabnya dia lepaskan.
“Brengsek! B*b*! A****g!” temanku memaki mengeluarkan kata-kata kasar.
Adiknya hanya diam menangis dan menatap cowok itu seakan memohon maaf dan minta bantuan.
Dan emosi temanku semakin tak terkendali. “B***, kau!” dia mendekati cowok itu, meraih kerah bajunya dan bersiap memberikan sebuah pukulan.
Tapi aku cepat bergerak. Kutahan tangannya agar dia tak memukul cowok itu.
“Lepaskan!” katanya. “Biar kuhajar budak brengsek ini.”
Aku tetap menahan tangannya. “Tak ada gunanya kau memukul dia. Dia tak akan jera. Dia malah akan bangga.”
“Karena itu biar ku hajar dia!”
Aku tetap tak melepaskan tangannya. “Aku tak mau urusannya jadi panjang kalau kau menghajar dia. Aku tak mau kau berurusan dengan polisi dan membuatmu masuk penjara.”
“Biarkan! Aku tak perduli! Yang penting aku puas bisa menghajarnya.”
Aku menggeleng. “Tak. Aku tak akan membiarkanmu berurusan dengan polisi. Aku tak mau kau masuk penjara karena laki-laki menjijikkan ini. Dia terlalu rendah untuk membuatmu masuk penjara. Aku tak mau itu terjadi.”
Perlahan aku merasakan tangannya melemah. Aku tak mau kalau nanti temanku berurusan dengan polisi karena menghajar orang ini. Aku menyayangi temanku. Bagiku cowok ini terlalu hina untuk membuat temanku berada dibalik jeruji besi.
Aku melepaskan tangannya. Dan kulihat dia mulai bisa menurunkan emosinya.
Aku melihat cowok itu yang kini berdiri sambil membenarkan bajunya. Sebuah senyum menjijikkan terukir di bibirnya.
Aku tersenyum sinis saat dia berlagak seolah menantangku.
“Sabar, bro. santai...” Kataku. “Semuanya ada saatnya. Tapi bukan sekarang. Tangan temanku terlalu mulia untuk menyentuh mukamu yang menjijikkan itu. Tapi jika nanti saat itu tiba, bukan dia saja yang akan menghajarmu, tapi aku juga akan ikut menghajarmu!”
Dan dia tertawa mengejek sambil mengatakan dia menunggu saat itu.
Aku Cuma tersenyum sinis. Apa seperti itu kelakuan orang kaya yang lulusan s1 di universitas ternama ibukota? Apa seperti itu sifat putra kebanggaan dari ayahnya yang merupakan pejabat daerah dan dipanggil pak haji itu? Yang dikenal masyarakat sebagai keluarga religius?
Astagfirullah…
Aku mengucap. Tak baik menghubung-hubungkan sifat buruk seorang anak dengan amalan orangtuanya. Walaupun terlihat menyedihkan bila seorang anak terlihat cacat kala dibandingkan dengan amalan orangtuanya, tapi aku tak berhak sedikitpun untuk membanding-bandingkannya.
Aku menghela nafas. Meraih jilbab merah yang tergeletak ditanah lalu mengikuti temanku yang menyeret adiknya yang menangis meraung-raung minta dilepaskan.
Dan itu sudah beberapa hari yang lalu.
“Apa papamu sudah tahu?” aku bertanya padanya.
Dia menggeleng. “Bisa babak belur adikku kalau papa tahu. Kau tahu sendiri bagaimana kerasnya papaku. Dan yang kena getahnya aku karena tak bisa menjaga adik sendiri.”
Aku mengangguk. Ya, papanya yang seorang pelaut sangat keras. Terbalik dengan mamanya yang sangat memanjakan adiknya. Saat kami membawa adiknya pulang, mamanya hanya memeluk, memujuk dan membelai adiknya.
“Ternyata benar kata orang-orang.”
Aku menatapnya. “Apa?”
“Ternyata mengurus lembu selusin yang diikat hidungnya lebih mudah daripada ngurus satu anak gadis.”
Aku tersenyum. Pepatah lama memang mengatakan seperti itu. Bukan untuk merendahkan kaum hawa tapi hanya perumpamaan saja. Selusin lembu yang diikat hidungnya akan menurut kemana saja tali itu ditarik. Tapi seorang anak gadis belum tentu menuruti nasehat dan petunjuk walau itu bertujuan untuk melindungi mereka. Mereka terkadang suka mengikuti hati dan perasaan mereka lalu terperangkap dalam cinta semu. Lalu tanpa sadar ikut menjadi pelaku dan penikmat dari apa yang telah dilarang dalam agama.
Dan akibatnya untuk seorang wanita akan sangat terasa. Jika mereka melangkah terlalu jauh, beban yang mereka tanggung akan lebih berat, jauh lebih berat dari laki-laki. “Cacat” pada tubuh mereka akan terlihat. Kehormatan yang seharusnya mereka jaga hilang sia-sia karena nafsu belaka.
“Lebih baik buka saja jilbabnya.” Kata temanku lagi. “Tak layak dia mengenakan jilbab kalau Cuma untuk menutupi kemunafikan dirinya saja.”
Aku terkejut. “Sabar. Sabar. Bawa mengucap.”
Dia menatapku. “Benar, kan? Untuk apa berjilbab kalau hati sendiri tak dijaga? Untuk apa berjilbab kalau tak menutupi tubuh dengan sempurna? Berjilbab tapi mengikuti nafsu. Percuma saja mengenakan pakaian gamis panjang tertutup tapi membiarkan tubuh digerayangi orang. Ternyata dalam hatinya kotor juga. Tetap saja tak bisa menjaga tubuh agar tak dinikmati pandangan penuh nafsu. Tetap saja membiarkan tubuh dijarah tangan-tangan kotor. Benar-benar munafik!”
“Astagfirullah al azzim…" Aku mengucap. “Bagaimanapun dia itu adikmu. Seharusnya kau yang membimbing dan menjaganya.”
“Dia sendiri bertindak seolah-olah tak ingin di jaga. Dia bilang dia sudah besar dan bisa menjaga dirinya sendiri!”
Aku diam menatapnya.
Dan aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat mendengarkan kalimat dari mulutnya,
“Berjilbab, tapi tak bisa menjaga kehormatan diri.”
Astagfirullah….