Masukan nama pengguna
Happiness comes when two hearts are equally warm. Percayalah, jika salah satunya lebih panas dari yang lain, atau lebih dingin dari yang lain, kebahagiaan itu tidak akan ada. Jalan Kaliurang pukul lima biasanya akan seperti neraka, panas dan macet. Belakangan ini, jalanan itu sering becek dan menjadi lebih lengang. Di bawah guyuran hujan dari langit sore yang mendung, aku melihat mobil dan motor berjalan saling mendahului, tergesa-gesa. Berbeda denganku yang lebih memilih untuk menunda pulang dan menanti hujan reda.
“Hujan kayak gini tarif ojol pasti naiknya nggak ngotak,” keluh Safira yang duduk di sebelahku.
Kami berdua sedang duduk di bangtem—bangku item—yang ada di jembatan budaya, salah satu jembatan penghubung antara gedung A dan gedung B di fakultas ini. Kelas sore di dua gedung lama ini sangat jarang, hanya dua hari dalam seminggu. Sialnya, kelas table manner yang aku ambil semester ini dimulai pukul tiga sore di gedung A. Kelas praktikal tentang tata krama tinggi pada jamuan fomal itu berlangsung selama dua setengah jam. Dan hujan selalu turun belakangan ini saat kelas akan berakhir. Menyebalkan.
“Ya udah, kalau gitu kita tunggu hujannya reda,” sahutku sambil menatap ke arah atap yang meneteskan air hujan dengan cepat, “lagian hari ini kita bawa sepeda.”
“Bener juga. Kita bawa sepeda,” kata Safira mengulang ucapanku.
Kami berdua kembali terdiam. Aku masih tetap menatap ke arah ujung atap yang meneteskan air, berharap hal itu berhenti. Aku tidak mau menunggu sampai malam dan melewati gang-gang kecil di Jalan Kaliurang sendirian. Itu menakutkan. Dari ujung mata, aku dapat melihat Safira menunduk dalam sembari memainkan jarinya.
“Kamu kenapa?” tanyaku memecah hening di antara kami.
“Kamu ingat kenapa aku akhirnya bawa sepeda?” dia bertanya.
Oh, ini nostalgia. Kuanggukkan kepalaku, “Ingat,” jawabku cepat.
Tentu saja masih segar diingatanku. Gadis yang duduk di sebelahku itu baru membawa sepedanya ke kampus seminggu, dan aku tahu betul alasannya apa. “Karena kamu putus sama Ridwan, ‘kan?” kataku lagi. Sepeda itu dibeli karena sudah tidak ada lagi yang bisa mengantar dan menjemputnya ke kampus. Itu adalah tugas Ridwan ketika mereka masih pacaran.
Perempuan yang masih berjibaku dengan jarinya itu mengangguk, masih dengan menunduk dia berucap, “Dia kejam, ya, La,” lirihnya, “ninggalin gue pas lagi sayang-sayangnya,” lanjutnya.
Sedetik kemudian, gadis berambut bondol itu menggeleng, “Lebih parahnya, dia nggak pernah sayang sama aku.”
Si penuh kehangatan cinta semu. Itulah Safira. Tiga tahun menjalin hubungan dengan lelaki yang katanya tsundere, berakhir karena nyatanya gadis itu salah mengartikan tsundere. Safira kira, ridwan adalah orang yang menunjukkan rasa sayangnya dengan cara berbeda—makanya Safira bilang Ridwan tipe cowok tsundere. Nyatanya, Ridwan memang tidak pernah mencintainya, makanya laki-laki itu tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya.
“Tiga tahun dan setiap titik di Jogja ada dianya,” ucap gadis berambut bondol itu lagi. Sendu. “nggak ada satu pun tempat hits di sini yang nggak aku datengin sama Ridwan.”
Aku hanya diam, mencoba menjadi pendengar yang baik.
“Aku pikir, nanti kalau udah putus, semua ini akan jadi momen yang indah buat dikenang. Nyatanya, semuanya cuma jadi kumpulan titik yang bikin sakit,” lanjutnya bercerita.
Hujan semakin turun dengan deras. Angin sore yang gigil mulai nakal mencari celah di antara pakaian yang kami gunakan. Aku mendekap tubuhku, menghalau dingin sekaligus menghindari masuk angin. Berbeda dengan Safira, dia seperti larut pada pikiran dan rasa sedihnya. Gadis itu seperti tidak terganggu sama sekali dengan angin yang menyapa.
“Jangan jatuh cinta di Jogja, La,” ucapnya tiba-tiba yang mengundang kerutan di dahiku.
“Kenapa?” tanyaku penasaran dengan jawabannya.
“Kalau putus, nyiksa banget,” jawabnya.
Aku tidak mengerti dengan jawaban itu. Tapi, aku tidak akan bertanya lagi. Kubiarkan sedihnya tumpah ruah seperti air dari awan yang menumpahkan hujan. Baginya, jatuh cinta di Jogja mungkin adalah keputusan yang akan disesali—karena berakhir dengan tidak baik. Itu tidak akan kuperdebatkan. Setiap orang berhak punya cerita apa saja di Jogja, bahkan jika itu menyakitkan.