Masukan nama pengguna
Disini, di hadapan semua yang hadir aku diam berdiri. Pandangan mataku mengarah pada semua hadirin yang ada untuk menyaksikan acara pengucapan ijab kabulku...
Semuanya seperti mimpi dan berjalan apa adanya dalam bimbingan tangan Sang Maha Pengasih yang menuntunku hingga aku berani mengambil keputusan untuk menikahinya. Walaupun begitu banyak nada sumbang dan minor, namun inilah keputusanku.
Dia atasanku, manager di perusahaan yang kebetulan milik papanya. Semula tak terlintas dalam pikiranku untuk menikahinya. Jangankan menikahi, mendekati dan menjadikannya pacarku saja tak pernah ada dalam pikiranku. Bukan karena dia tak cantik. Dia cantik, sangat cantik. Juga bukan karena aku sudah menikah dan memiliki istri karena aku belum menikah. Begitu banyak gadis, apakah itu teman sekantor yang mencoba mencari perhatianku ataukah dari perkenalanku, namun tak satupun yang menarik perhatianku.
Tapi padanyalah kini aku menjatuhkan pilihan.
Jika dia hanya berstatus sebagai manager yang kebetulan putri pemilik perusahaan ini, mungkin nada-nada minor itu tak akan sekencang ini. Tapi yang menjadikan nada minor dan sumbang itu nyaring terdengar adalah kenyataan bahwa dia seorang janda yang pernah gagal dalam berumah tangga. Mantan suaminya meninggalkan dan kemudian menceraikannya tiga tahun lalu. Dia juga telah memiliki seorang anak perempuan berusia lima tahun. Dan yang menjadikan nada-nada sumbang itu terdengar menyakitkan hatiku dan hatinya adalah: dia lebih tua dariku! Empat tahun lebih tua dariku!
Karena kini di belakang kami berdua, semua orang membicarakan kami. Kami tahu bahwa kini kami menjadi topik pembicaraan. Tapi kami juga tak bisa menghentikan suara sumbang itu.
Dulu, begitu banyak gadis yang mencoba menarik perhatianku. Mereka memberikan perhatian dari tingkah laku, hadiah, bahkan ajakan untuk makan malam. Tapi kini mereka balik menjauhiku. Mereka mencibirku. Mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang laki-laki dengan selera payah, JANDA! Bahwa aku mau menikah dengan managerku hanya karena uang, karena aku ingin memperbaiki statusku. Dan mereka juga mengejek dia sebagai seorang wanita yang suka daun muda yang bisa membeli seorang laki-laki dengan uang. Mereka menyamakanku dengan pria simpanan! A toy boy!
Padahal mereka sendiri adalah seorang wanita, tetapi mengapa mereka suka menghina wanita lainnya? Bukan keinginan dia untuk berada dalam kondisi seperti ini, menjadi seorang janda. Semua wanita menginginkan kehidupan sempurna dalam hidup mereka. Namun takdir Illahi tak bisa ditolak. Dan yang lebih membuatku sedih dan tak mengerti adalah, mereka merendahkan drajad seorang wanita, padahal mereka juga memiliki hati dan perasaan, juga berbungkuskan tubuh seorang wanita. Tapi mengapa mereka tega merendahkan sesama mereka sendiri?
Hanya kami berdua yang tahu bagaimana sebenarnya hubungan kami ini. Aku menjalaninya dengan ikhlas. Mungkin kedengarannya klise, semu dan palsu ditengah keberadaannya sebagai seorang putri pemilik sebuah perusahaan besar yang berstatuskan janda beranak satu dan berumur lebih tua dariku. Tapi jujur, aku tak pernah melihatnya dalam kapasitas seperti itu walaupun sejujurnya ku akui awal kedekatanku padanya juga bermula dari gadis kecilnya.
Namanya Azyarefa Syahputri, seorang gadis kecil lima tahun yang bersekolah di taman kanak-kanak. Setiap Zya, begitu aku memanggilnya, pulang sekolah, sopirnya akan mengantarkannya ke sini. Dan dari sinilah awal kedekatanku dengannya.
Zya anak yang cerdas, enerjik tapi sopan. Jilbabnya selalu tak beraturan karena dia begitu lincah bergerak. Dan itu membuatku selalu merapikannya. Semula aku hanya memperlakukan Zya sebagai putri cilik managerku. Tapi gadis kecil ini selalu mengajakku berbicara. Ada saja yang dia ceritakan padaku. Tentang sekolahnya. Tentang kucingnya. Tentang teman-temannya. Pokoknya segala hal selalu dia ceritakan saat berada di kantor ini. Dan aku selalu mendengarkan dan memberikan tanggapan yang baik karena aku juga suka dengan anak kecil.
Semula mamanya menasehati Zya agar tak menggangguku dan pekerjaanku. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan keberadaan Zya di dekatku karena aku masih bisa meng-handle pekerjaanku. Namun lama kelamaan semua seolah biasa saja. Mungkin karena kini kami berdua semakin dekat dan akrab. Hingga suatu hari tercetus dari bibirnya perkataan yang tak pernah aku bayangkan. Dia memanggilku papa!
Aku tersenyum mendengarnya. Aku mencoba mengajarkannya agar tetap memanggilku om Adi. Tapi dia tetap memanggilku papa. Papa Adi! Karena kata Zya, aku sudah seperti papa untuknya. Aku lebih dekat dengannya daripada papa kandungnya yang telah menikah lagi. Setiap kali dia datang ke kantor ini, pasti dia akan langsung ke tempatku. Dan aku akan mengangkat dan mendudukkannya di atas mejaku. Lalu kami bercerita apa saja.
Mungkin karena kedekatanku dengan Zya inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku menjatuhkan pilihan padanya. Aku sendiri tak pernah mengerti dengan jalan hidupku. Semua seolah-olah berjalan begitu saja. Dengan bimbingan lembut tangan Ar Rahman dan dalam dekapan hangat Ar Rahim, aku menjalin hubungan dengan atasanku, seorang wanita, putri pemilik tempat aku bekerja yang berstatuskan seorang janda yang memiliki seorang gadis kecil berusia lima tahun dan berusia empat tahun lebih tua dariku!
Aku bukannya tak pernah merasakan keraguan. Aku bukannya tanpa kebimbangan. Semua ini, yang berjalan begitu saja, selalu menyisakan pertanyaan di diriku, apa sebenarnya alasanku menikahinya?
Terkadang semua terasa bias di hati. Terkadang pula terasa samar untukku. Alasan apakah yang menyebabkan aku mau menikahinya di tengah pertanyaan seluruh keluargaku, semua temanku dan dari diriku sendiri?
Aku harus menemukan jawabannya. Aku harus mendapatkannya sebelum semua ini berubah menjadi beban dan penyesalan untukku. Dan aku butuh satu sosok untukku.
Aku mencoba membayangkan diriku sebagai Rasullulah. Bukan dalam arti bahwa aku ini adalah seorang Nabi akhir jaman, tapi sebagai seorang lelaki yang akan menikahi seorang janda. Dan tak ada contoh yang paling baik yang aku temukan selain Rasullulah.
Apa yang dicari Nabi saat menikah dengan Siti Khadijah? Kecantikan Siti Khadijahkah? Ketenaran Siti Khadijahkah? Ataukah kekayaan Siti Khadijah sebagai seorang pedagang kaya?
Lalu apa yang menjadi alasan Rasul kala menikah dan memiliki istri lagi sebelum akhirnya menikahi Aisyah? Apakah hanya menuruti keinginan dan hasrat seorang lelaki? Apakah karena adat dan tradisi sehingga menikahi lebih dari dua wanita? Ataukah karena sebab-sebab lainnya.
Dan aku terus mencari dan mencari jawabannya. Hingga akhirnya aku menemukan jawaban yang juga menjadi jawaban dari pertanyaan hidupku.
Rasul menikahi Siti Khadijah karena cinta. Walaupun Siti Khadijah jauh lebih tua dari Beliau, tapi Rasul bisa melihat cinta yang tulus dari diri Siti Khadijah. Karena Rasul juga mencintai Siti Khadijah sebagai wanita pertama yang dia cintai. Cinta Rasul pada Siti Khadijah begitu besar, teramat besar hingga membuat istri-istri beliau terbakar cemburu saat Rasul bercerita tentang Siti Khadijah. Bahkan Aisyah sendiri tak mampu menahan dan menutupi rasa cemburunya pada Siti Khadijah, kendati Siti Khadijah telah lama meninggalkan Rasul untuk selama-lamanya.
Dan Rasul menikahi istri-istri beliau lainnya karena ingin mengangkat drajat mereka. Karena semua istri Rasul, selain Aisyah, adalah janda perang. Karena suami mereka meninggal saat berjihad menegakkan agama Allah.
Jika berpedoman pada apa yang Rasullulah lakukan, seharusnya mereka tak memandang rendah pada niatku. Bukankah sebagai umat nabi Muhamad, apa yang kulakukan tak jauh berbeda dengan apa yang Rasul lakukan? Lalu mengapa mereka semua mencibir dan berpikir bahwa aku menikahinya hanya karena uang?
Aku tersenyum. Aku telah menemukan jawaban untuk keyakinan dalam diriku. Kini aku yakin dengan pilihanku.
Dan di sini, di hadapan para hadirin aku diam berdiri. Pandanganku kini menatapnya yang kini berjalan mendekatiku sambil tersenyum di balik jilbab putihnya dengan dituntun oleh kakak sepupunya. Dan saat pandangan mataku beralih pada Zya, gadis kecil yang sedang berada dipangkuan eyangnya itu tersenyum manis sambil melambaikan tangan kecilnya padaku.
Aku semakin mantap dan yakin dengan apa yang menjadi pilihanku.
Rasullulah melakukan itu bukan karena nafsu dan keinginan sebagai seorang laki-laki. Rasullulah menikahi Siti Khadijah karena cinta. Dan Rasullulah menikahi istri-istri beliau lainnya yang merupakan janda perang karena ingin mengangkat drajad mereka sebagai seorang wanita.
Dan aku melakukan ini karena dua hal tersebut.
Aku duduk di hadapan penghulu. Dia duduk di sampingku. Sebuah selendang putih terbentang memayungi kami berdua. Aku menyambut uluran tangan kanan penghulu yang bertugas menikahkan kami. Dan setelah sebuah hentakan kecil dari tangan penghulu saat selesai membacakan ijab, aku melafaskan bacaan kabul dengan yakin dan tenang dalam satu tarikan nafas saja...