Masukan nama pengguna
Ada dua bentuk pengkhianatan yang pernah terjadi dalam hidupku. Pengkhianatan yang tak akan pernah ku lupakan selamanya.
Pengkhianatan pertama yang terjadi dalam hidupku adalah dalam bentuk cinta dan kepercayaan pada sosok seorang istri yang kucintai dan teman yang ku percayai.
Aku seorang lelaki yang terlalu hina untuk menggambarkan bentuk pengkhianatan itu. Tapi keinginan untuk meluahkan perasaan, menceritakan kesalahan dan mengungkapkan penyesalan begitu menyesakkan dada dan menghantui kemanapun aku pergi. Hingga saat ini.
Sosok seorang wanita yang kupuja dan kucinta menjadi awal dari segala penyesalan. Berawal dari hubunganku dengan seorang wanita yang kuanggap sebagai seorang kekasih, aku rela melakukan apapun demi dia. Aku sanggup memberikan apa saja untuknya. Termasuk menentang kedua orang tuaku yang tak pernah merestui kami.
Karena dia bukan berasal dari latar belakang keluarga baik-baik. Itu kata ayahku. Dan ayahku mengenal keluarganya. Memang kekasihku berasal dari keluarga yang “hancur-hancuran.” Ayahnya seorang pemabuk dan begajulan. Kakaknya tersangkut masalah narkoba. Dan ibunya adalah mantan wanita panggilan. Itu kuakui dan tak kututup-tutupi sedikitpun.
Tapi haruskah aku menghakimi dia untuk sebuah kesalahan yang tak dilakukannya? Haruskah aku menghukumnya atas dosa kedua orangtuanya? Dan jika itu kulakukan maka aku termasuk kedalam golongan orang-orang sombong yang menzalimi orang lain atas kesalahan yang tak pernah dia lakukan.
Maka ku bela dia. Kupertahankan kehormatan dan harga dirinya ketika dia kubawa menghadap kedua orangtuaku. Kupertahankan cintaku padanya apapun halangannya. Termasuk pada ayahku sekalipun.
Dan ayahku tetap tak merestui kami. Ayahku tetap dengan pendiriannya. Ketika kutanyakan apakah semua ini hanyalah tentang perbedaan derajad dan kasta, ayahku berkata bukan. Semua ini bukan karena perbedaan derajad duniawi, tapi ukhrawi. Ayahku tak melihat sedikitpun keimanan dalam dirinya. Dari caranya bertutur kata, berprilaku dan berbusana. Ayahku tak melihat sedikitpun akhlak dan prilaku islami dalam dirinya. Bahkan sedikit niatpun tidak.
Tapi aku menentangnya. Aku menganggap kalau semua itu hanyalah alasan ayahku saja. Lagipula, jika memang dia tak memiliki itu, bukankah sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang yang memahami agama untuk membimbing dan menuntunnya? Mengajarkannya tentang nilai-nilai islami yang mungkin tak ada padanya. Aku merasa berkewajiban untuk melakukan itu.
Dan perbedaan prinsip pun menjadi awal dari pertengkaran hebat antara aku dan ayahku. Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan cintaku apapun akibatnya.
Akupun lari bersama kekasihku meninggalkan keluargaku. Meninggalkan ayah, bunda dan adik perempuanku satu-satunya.
Aku hidup bersama kekasihku disebuah kamar kos sederhana berkat bantuan seorang teman baikku. Tapi kami tidak tinggal bersama tanpa ada ikatan yang sah. Kami menikah dahulu di kantor KUA. Hanya ada aku, kekasihku, sahabatku sebagai saksi dan berwalikan seorang hakim. Tanpa perwakilan keluarga. Tanpa pesta. Tanpa kemeriahan.
Semua itu kulakukan sebagai sebuah keharusan.
Semula kehidupanku terasa indah dengan cinta yang menjadi penguatnya. Namun perlahan aku mulai merasakan betapa beratnya perjuanganku menuntun dan membimbingnya kejalan yang benar. Karena ternyata dia memang tidak memiliki niat dan keinginan sedikitpun untuk hidup secara baik-baik. Dia tetap mempertahankan gaya hidup, sifat dan busananya yang menjadi sebab pertengkaranku dengan ayahku dulu. Dan kini, dengan alasan yang samalah aku bertengkar dengannya. Hingga akhirnya pertengkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan.
Karena ternyata dia menjalin hubungan dengan teman baikku yang sangat ku percaya.
Aku memergoki mereka berdua saat aku pulang untuk makan siang didalam kamar kosku. Aku murka. Aku mengamuk. Segala caci maki keluar dari mulutku. Amarah menggelegak diubun-ubunku. Aku merangsek menerobos ingin menghajar mereka. Kutampar wajah istriku. Dan ketika aku bergerak untuk menghajar temanku, dia dengan cepat berlari keluar dengan hanya mengenakan celana panjang lalu pergi dengan menggunakan ojek meninggalkan mobilnya didepan kamar kosku yang hancur kacanya kuhajar dengan kayu broti.
Ternyata benar kata ayahku. Air atap jatuh tak jauh dari cucurannya. Jika dulu aku membelanya, kini aku mencacinya dan keluargannya. Dan aku menceraikannya yang ternyata tak memperlihatkan sedikitpun raut penyesalan diwajahnya.
Tapi pengkhianatan itu bukanlah pengkhiantan terbesar yang terjadi didalam hidupku. Pengkhianatan terbesar yang terjadi dalam hidupku justru terjadi karena akulah yang melakukannya. Akulah pelaku utamanya!
Karena aku telah mengkhianati keluargaku demi seorang wanita hina yang tak pantas ku puja. Terlebih saat aku mendapatkan kabar kalau ternyata ayahku jatuh sakit semenjak pertengkaran dulu. Dan sakitnya semakin parah semenjak aku lari meninggalkan rumah.
Aku berlari pulang begitu mendapatkan kabar itu. Aku menyesal karena mengkhianatinya. Aku menangis mengingat dosa yang telah aku lakukan. Aku ingin pulang dan mencium kakinya. Aku ingin pulang….
Tapi semuanya telah terlambat. Ayahku telah meninggal saat aku tiba dirumah. Ayahku terbujur kaku dalam balutan kain kafan dihadapan seluruh orang yang hadir. Ayahku telah menutup matanya untuk selamanya dan tak akan pernah bisa kupandangi lagi.
Aku meraung. Aku menjerit. Aku menghambur kehadapan ayahku yang tak bergerak lagi. Aku ingin memeluknya dan menumpahkan air mata penyesalan ini diwajahnya. Tapi saudara-saudara ayahku menahanku. Mereka mengingatkanku untuk tidak membasahi kain kafan dan wajah ayahku dengan air mataku. Mereka memintaku untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Jangan sampai aku menitikkan airmata dan menunjukkan raut kesedihan dan penyesalan dihadapan ayahku. Aku harus kuat, sebagai seorang anak lelaki satu-satunya kesayangan dan kebanggaan ayahku yang sampai ajalnya menjelangpun, ayahku masih tetap membelaku.
Dan aku menahan air mata kesedihan ini agar tidak jatuh diwajah ayahku. Kupeluk ayahku lama. Kucium keningnya dan kedua pipinya dengan segenap rasa sayangku. Dengan seluruh penyesalanku. Dengan segala kerendahan dan kehinaanku memohon ampunannya.
Akupun pingsan tak sadarkan diri setelah mencium ayahku.
Hingga ayahku dimakamkan, aku terus menyesali diri. Hingga memasuki hari kesepuluh ayahku meninggal, aku masih menyesali diri. Hingga memasuki hari keempat puluh meninggalnya ayahku aku tetap menyesali diri.
Dan aku mencari-cari pemaafan diriku. Aku mencari-cari bukti diterimanya tobatku. Kusingkirkan segala kenangan buruk yang menjadi awal pengkhianatan yang kulakukan. Ku hapus semuanya. Termasuk sebuah tato kecil dilengan kananku yang bertuliskan namaku dan nama mantan istriku yang kuhapus dengan cara kusetrika sendiri bahuku hingga membuat adik perempuanku yang memergokiku menjerit menangis mencoba memisahkan setrika itu dari bahuku. Tapi aku tetap menahannya dengan tenagaku hingga menimbulkan bau daging terbakar. Tak ada rasa sakit yang kurasakan. Aku hanya menahan gemeretak gigiku melampiaskan kemarahan pada diri sendiri dengan air mata yang terus jatuh dipipi. Aku ingin membuktikan penyesalanku bagaimanapun cara dan akibatnya. Dan aku ingin mencari bukti diterimanya tobatku. Hingga akhirnya adikku berhasil merebut setrika itu dari tanganku dan mencampakkannya. Tapi aku tak perduli. Aku hanya menggigil menahan amarah pada diriku sendiri. Tak kuperdulikan luka bakar dibahuku yang kini mengeluarkan darah. Luka itu tak berarti sama sekali untukku karena luka dihatiku terasa lebih menyakitkan.
Apakah aku pernah memikirkan sedikit saja kesedihan dan kesakitan yang dirasakan ayahku karena pengkhianatan yang kulakukan? Jika satu hari pertengkaran dulu menjadi awal dari rasa sakitku, pernahkah aku memikirkan kala pertengkaran itu ternyata menjadi luka untuk ayahku? Luka yang dia simpan selama berbulan-bulan kala menyesal telah memarahiku dan terus mencari keberadaanku. Luka yang ditanggung oleh ayahku yang membuat tubuh dan hatinya menderita dan menimbulkan sebuah penyakit yang ternyata telah mengendap lama dalam dirinya. Dan penyakit itulah yang kini merenggut nyawa ayahku. Pernahkah aku memikirkan itu?
Hingga memasuki tahun ketiga wafatnya ayahku, aku tetap menyesali diri. Aku tetap menanti bukti diterimanya kemaafan untukku. Aku terus mencari bukti dari Illahi akan diterimanya tobatku agar tentram jiwa dan ragaku. Aku rela melakukan apapun juga. Aku ikhlas menerima azab dariNYA. Aku ikhlas jika DIA mencabut kenikmatan yang ada diseluruh tubuh ini. Aku ikhlas jika DIA mengambil satu, dua atau seluruh panca indra di diri ini. Aku rela hidup dalam ketidaksempurnaan dan cacat dalam tubuh ini. Hilangkanlah fungsi kenikmatan dalam diriku. Ambilah panca indraku. Tulikanlah telingaku. Butakanlah mataku. Bisukanlah mulutku. Lumpuhkanlah tangan dan kakiku. Ambillah kesadaranku. Atau kalau perlu cabutlah nyawaku agar aku bisa bertemu dengan ayahku disana. Akan kucium kakinya. Akan ku mohon pengampunan darinya. Aku ingin dibukakan pintu tobat dihatiku. Aku ingin….
Tapi hingga kini pintu tobat itu tak kurasakan hadir menemuiku. Kemaafan dari Illahi tak jua kurasakan walau aku terus memohon disiang dan penghujung malam. Ketidakhadiran tanda dan petunjuk akan diterimanya penyesalan dan tobatku membuatku semakin menyadari bahwa aku hanyalah seorang manusia hina yang tak layak mencium bau syurga. Walau bunda dan adik perempuanku terus membesarkan hatiku, namun aku tetap merasakan cacat dihati ini. Aku terus dihantui dosa pengkhianatan yang kulakukan pada keluargaku sendiri demi seorang wanita. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan yang tak ada habisnya. Semakin aku berusaha mendekatkan diri kehadapanNYA, semakin aku terus merebahkan hati dan tubuhku kehadiratNYA, semakin aku menyadari betapa rendahnya aku. Betapa sebenarnya kemaafan dan tobat itu tak layak aku dapatkan. Betapa kehinaan itu kini ada dalam diri dan hatiku. Tubuh dan perasaanku. Amal dan imanku.
Aku, insan hina….