Cerpen
Disukai
8
Dilihat
846
HANTU WONDO & KORBAN G30S PKI
Horor

Konon sumur tua yang dibangun tahun 60-an dekat gudang Sekolah Menengah Atas di bilangan pelosok Kulon Progo itu berhantu. Sekolah yang berdiri tahun 70-an semula kuburan para pengrawit dan seorang sinden. Mereka dibunuh sewaktu latihan kerawitan karena dituduh sebagai seniman Lekra usai G30S PKI pada tahun 1965. 

Awal mula sekolah berdiri, banyak kejadian aneh bermunculan di siang dan terutama di malam hari. Bila siang, banyak guru dan siswa mendapat gangguan dari semua penghuni gaib di sekolah itu. Buku pelajaran atau alat tulis berpindah dari meja satu ke meja lainnya. Dari laci satu ke laci lainnya. Dari ruang kelas satu ke ruang kelas lainnya.

Bukan hanya para guru dan siswa, namun berpindahnya barang dari satu tempat ke tempat lain itu dialami oleh Pak Wondo. Tukang kebun yang merangkap pekerjaan sebagai penjaga malam di sekolah itu. Ia yang bekerja siang malam sering mengalami berberapa kejadian aneh yang ditimbulkan oleh ulah para makhluk astral itu.

***

 

Cahaya tampak menyemburat jingga di langit ufuk timur. Usai mengisi perutnya dengan secangkir kopi tanpa gula dan tiga potong pohong rebus, Pak Wondo meninggalkan rumahnya. Dengan motor Pitung-nya yang dibeli dari seorang guru, ia berangkat ke sekolah. Membersihkan halaman sekolah, ruang kepala sekolah, dan ruang guru.

Menjelang semua warga sekolah berdatangan, pekerjaan Pak Wondo sudah beres. Dengan membawa sapu lidi, ia bergegas pergi ke dapur. Usai meletakkan sapu lidi di sudut ruang dapur, ia pergi ke sumur. Menimba air untuk direbus. Maklum. Ia harus membuatkan minuman teh bagi kepala sekolah. para guru, dan seluruh karyawan sewaktu siswa memulai jam pelajaran pertama.

Di atas kompor, Pak Wondo meletakkan dua ceret besar berisi air. Ia menyalakan api kompor itu dengan cukup memutar tombol On Off-nya. Sambil menunggu air masak, ia duduk di lincak sambil mengisap sebatang rokok Tingwe. Asap rokok mengepul dari lubang mulutnya. Lenyap disapu semilir angin yang menerobos lewat lubang angin-angin dapur.

Selagi menikmati rokok Tingwe, ia melihat api kompor itu mati. Semula ia berpikir bila gas habis. Namun sewaktu dicek gas masih penuh, ia menuding para penghuni gaib yang tinggal di sumur dan gudang tengah berulah. Bergegas ia keluar dari ruang dapur dengan maksud untuk membeli sajen rokok Siong dan ubarampe untuk nginang.

Baru berjalan sampai di halaman Sekolah, Pak Wondo dipanggil oleh Kepala Sekolah yang berdiri di depan pintu ruangannya. Sekalipun merasa tidak enak dalam hati, ia memenuhi panggilan orang yang dituakan di sekolah itu. Tanpa merasa bersalah, ia bertanya pada Kepala Sekolah, “Apa yang bisa aku bantu, Bu?”

“Kamu tadi yang menyapu di ruanganku?”

“Tentu saya, Bu. Maaf. Memangnya ada apa, Bu?”

“Berarti yang meletakkan sapu lidi di atas meja kerjaku itu kamu?”

“Sumpah demi Allah. Bukan saya, Bu.”

“Nyatanya ada sapu lidi di atas meja kerjaku.”

Pak Wondo heran bukan kepalang saat menyaksikan sapu lidi yang ia taruh di dapur berpindah di ruang Kepala Sekolah. Batinnya berujar bila penghuni gaib di sekolah itu kembali berulah sesudah sekian lama tak menunjukkan aksinya. “Bernar, Bu. Saya tidak merasa meletakkan sapu lidi itu di atas meja kerja Ibu.”

“Kali ini, aku maafkan. Lain kali jangan kamu ulangi lagi, Pak.”

Pak Wondo hanya diam seribu bahasa. Usai mengambil sapu lidi itu, ia meminta pamit pada Kepala Sekolah untuk kembali ke dapur. Sesampai di dapur, ia melemparkan sapu lidi itu ke sembarang arah. Wajahnya sontak menyiratkan keheranan saat sapu lidi dilempar dengan amarah tak terkendali, kompor yang semula mati menyala apinya.

Merasa dikerjai oleh penghuni gaib di sekolah itu, Pak Wondo pergi ke warung untuk membeli rokok siong dan ubarampe nginang. Sepulang dari warung, ia meletakkan rokok siong di dalam gudang. Tempat di mana semula para pengrawit dibunuh dengan cara ditembak satu persatu. Semenara, ubarampe nginang di letakkan di dekat sumur tua. Tempat di mana seorang sindhen dibunuh dengan cara di lempar ke dasar sumur itu.

Setiap hari, Pak Wondo memberikan sajen berupa rokok Siong dan ubarampe nginang pada penghuni gaib di sekolah itu. Alhasil tidak ada peristiwa aneh yang terjadi di sekolah itu. Setahun sesudah Pak Wondo meninggal tersengat listrik di dalam dapur, peristiwa aneh bertubi-tubi muncul di sekolah itu. Bukan hanya di dalam dapur, gudang, dan dekat sumur; namun pula di ruang kelas, ruang guru, dan ruang kepala sekolah.

***

Kepala Sekolah Menengah Atas pusing tujuh keliling. Pengumuman mencari tenaga kerja tukang kebon dan penjaga malam yang sudah diberitakan lewat media sosial belum mendapatkan hasil. Mengingat selain honornya kurang layak, banyak orang yang ingin melamar pekerjaan itu tidak bernyali menghadapi penghuni gaib di sekolah itu.

Menyadari belum layaknya honor bagi pekerja tukang kebon dan penjaga malam, Kepala Sekolah menaikkan 40 persen. Sejak itu, maka ada seorang yang bernyali melamar pekerjaan itu. Tanpa seleksi, Pak Guna mulai bekerja di sekolah itu. Dari pagi hingga siang, ia bekerja sebagai tukang kebun. Dari petang hingga lepas subuh, ia bekerja sebagai penjaga malam.

Pada hari pertama Pak Guna bekerja di sekolah itu sudah dihadapkan dengan peristiwa aneh. Minuman tehnya di dalam gelas berkurang sendiri. Sebungkus rokoknya yang dihisapnya selama seharian terasa hambar. Sewaktu akan mengunci pintu dapur dari luar sebelum pulang, ada seorang lelaki yang memanggil namanya. Dengan penasaran, ia kembali membuka pintu itu. Namun tak seorang pun berada di dalam dapur.

Dengan kesal, Pak Guna kembali menutup pintu dan menguncinya. Ia meninggalkan dapur itu melintasi taman sekolah. Di mana, banyak siswa sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Dari obrolan sebagian siswa kelas 10 itu, ia sekilas mendengar tentang hantu Pak Wondo yang sering menampakkan diri sekitar dapur sekolah itu.

Sepanjang perjalanan pulang, obrolan siswa di taman sekolah itu terngiang di kepala Pak Guna. Sesampai rumah, ia masih memikirkan tentang hantu tukang kebon dan penjaga malam lama yang mati tersengat listrik di dalam dapur sekolah. Hingga ia berpikir kalau seorang yang memanggil namanya tak lain Hantu Wanda. Arwah gentayangan yang belum mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan.

Tidak sempat makan siang, Pak Guna yang ditinggal istrinya bekerja sebagai TKW di Hongkong itu tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu orang-orang yang belum dikenalnya di halaman sekolah. Satu di antara mereka adalah perempuan. Selebihnya adalah laki-laki. Dari wajah mereka menampakkan kedukaan yang teramat dalam.

Diwakili salah satu dari orang-orang itu meminta kepada Pak Guna untuk membebaskan siksaan mereka di dunia. Lambat-laun mereka marah ketika Pak Guna yang merasa dirinya sebagai manusia biasa tidak bersedia untuk membebaskan mereka. Hingga di puncak pembicaraaan, mereka marah. Mulut mereka yang berubah menjadi serigala-serigala itu menyeringai. Mereka menerjang Pak Guna dengan kuku-kuku seruncing ujung bayonet.

Pak Guna terbangun. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya ngos-ngosan. Dengan segelas air putih, ia menenangkan dirinya. Mencoba tak memikirkan orang-orang serigala yang akan mengancam keselamatan hidupnya. Membuang jauh-jauh pikiran buruknya tentang semua penghuni makhluk astral di sekolahan tempat dia bekerja.

Selepas adzan Maghrib, Pak Guna berangkat kerja sebagai penjaga malam di sekolah. Karena perut keroncongan, ia bergegas memasuki dapur. Merebus air dan memasak Indomie rebus rasa rendang. Selagi makan di lincak, ia mendengar suara tanpa wujud dari dalam dapur itu. “Kalau makan, bagi-bagi. Penghuni sekolah di malam ini bukan hanya kamu. Banyak. Aku dan kawan-kawanku kelaparan. Apakah kamu tahu itu?”

Mendengan suara itu, sontak bulu kuduk Pak Guna meremang. Sekujur tubuhnya merinding. Tak sepatah kata mampu ia ucapkan lewat mulutnya yang masih terisi mie rebus. Dalam hati, ia menduga kalau suara itu diucapkan oleh hantu Wondo yang tengah menjadi buah bibir siswa di sekolah itu.

Dengan nada sok bernyali, Pak Guna yang barusan menelan seluruh isi mulut ke dalam lambungnya itu beranjak dari lincak. “Tunjukkan wujudmu. Aku akan memberikan makan padamu. Stok mie instan di almari masih sanggup membuatmu kekenyangan. Ayo tunjukkan wujudmu! Tunjukkan wujudmu!”

Pak Guna meloncat ke belakang ketika melihat hantu Wondo menampaknya wujudnya di bawah cahaya listrik sepuluh watt. Kedua mata hantu itu terbelalak. Lidahnya panjang menjulur. Seperti tersetrum listrik, sekujur tubuhnya hitam legam. Tak ada darah yang mengalir dari telapak kaki hingga ubun-ubun hantu itu.

Tak kuasa menghadapi hantu Wondo, Pak Guna keluar dari dapur. Dengan langkah terburu-buru, ia menuju ruang UKS. Di ruang yang terdapat ranjang itu, ia ingin melaksanakan tugasnya sebagai penjaga malam sekolah. Dia merasa nyaman karena merasa tidak ada gangguan dari penghuni gaib di sekolah itu.

Jarum pendek jam dinding di ruang UKS itu hampir menunjuk angka 12. Serupa terkena aji Begananda, Pak Guna merasakan kantuk luar biasa. Tanpa ragu, dia merebahkan tubuhnya di ranjang berseprai putih itu. Aneh. Sewaktu memejamkan mata, dia mendengar lantunan tembang seorang sinden dari arah sumur di sekolah itu.

Pak Guna membuka kedua tingkap matanya. Dia yang masih merebahkan tubuhnya di ranjang itu bertanya dalam hati, “Siapa perempuan yang mengidung semerdu itu? Apakah dia salah satu hantu di sekolah ini? Ah, masa bodoh!”

Usai melafalkan doa, Pak Guna kembali memejamkan mata. Telinganya kembali menangkap lantunan tembang dari sindhen itu yang diiringi dengan gamelan. Karena semakin penasaran dengan ulah penghuni gaib di sekolah itu, dia ingin melihat wujud mereka. Ketika dia sudah duduk di ranjang, telinganya menangkap suara ketukan pintu dari luar. Usai menekan rasa takutnya kuat-kuat, dia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Nihil. Tak seorang pun yang dia lihat dengan mata telanjang.

“Sialan!” Pak Guna menggerutu. Dia merasa dipermainkan oleh hantu-hantu di sekolah itu. Sungguhpun demikian, dia tidak berani menantang hantu-hantu itu untuk menampakkan wujudnya. Dia pun merasa lega, karena lantunan tembang dari sinden beserta suara gamelan itu tak terdengar lagi. Tak lama kemudian, dia terkejut ketika mendengar langkah-langkah kaki dari banyak orang yang menuju sekolah itu. “Siapakah mereka?”

Mengetahui bahwa orang-orang yang datang ke sekolah bukan bangsa hantu, Pak Guna bernyali untuk menemui mereka. Di depan gerbang sekolah, dia bertanya kepada orang-orang itu. “Maaf, Bapak-Bapak. Kenapa Bapak-Bapak datang kemari?”

Salah seorang yang bertubuh tambun dari mereka menjawab, “Karena mendengar suara sinden yang diiringi gamelan, kami datang kemari. Tetapi sesudah kami sampai di sekolah ini, tak ada pertunjukan. Apakah Bapak juga mendengar suara yang kami dengarkan dari kejauhan?”

“Saya tadi juga mendengarkan, Pak. Tetapi karena suara yang terdengar itu datang dari dunia hantu, saya biarkan.”

Selagi Pak Guna dan orang-orang kampong itu berbincang muncul peristiwa aneh. Mereka dihujani pasir lembut dari arah yang tidak diketahui. Merasa dihina oleh penghuni gaib sekolah itu, salah seorang dari mereka menantang dengan nyali berkobar-kobar, “Hei, hantu keparat! Tunjukkan mukamu yang jelek! Aku bangsa manusia. Lebih tinggi derajat kami ketimbang derajat kalian. Kami tidak bisa kalian hina seenaknya.”

Usai perkataan itu diucapkan, orang-orang itu mendengar suara gaduh yang bersumber dari dalam gudang sekolah itu. Disertai Pak Guna, mereka melangkah menuju gudang. Dengan jari-jemari bergetar, penjaga malam itu membuka pintunya. Mereka hanya bisa terbelalak ketika melihat seluruh isi gudang berserakan. Almari tua, kursi bekas, meja bekas, matras, dan peralatan olahraga terkesan dilempar-lempar ke dinding gudang itu.

Nyali orang-orang untuk menghadapi penghuni gaib di sekolah itu sontak serupa air laut yang surut sesudah gempa besar. Mereka, demikian pula Pak Guna, berlari tunggang langgang. Meninggalkan sekolah itu. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengunci pintu rumahnya dari dalam. Rapat-rapat.

Pagi harinya, Pak Guna datang ke sekolah. Bukan untuk bekerja sebagai tukang kebun, melainkan ingin menghadap kepala sekolah. Di hadapan orang pertama di sekolah itu, dia mengundurkan diri sebagai tukang kebun dan sekaligus penjaga malam. Bukan karena persoalan gaji, namun masalah hantu yang selalu menteror saat dia bekerja.

***

 

Hari-hari berikutnya. Kepala Sekolah kembali dipusingkan dengan tidak adanya seorang yang mau melamar pekerjaan sebagai tukang kebun dan penjaga malam. Untuk memenuhi kebersihan sekolah; dia mengerahkan siswa, guru, dan karyawan. Sebagai penjaga malam, dia memiketkan karyawan Tata Usaha secara bergilir.

Bertepatan dengan malam Jum’at Kliwon, Kandar mendapat piket jaga malam di sekolah. Karena mengetahui titik-titik persinggahan hantu-hantu di sekola itu, dia memilih ruang TU yang jauh dari dapur, gudang, dan sumur tua. Sehingga dia akan merasa nyaman selama menunaikan tugas dari Kepala Sekolah.

Untuk menghilangkan rasa jenuh selama tinggal di dalam ruangan, Kandar menyalakan komputer. Menjelajahi dunia maya melalui wifi sekolah. Bosan membaca artikel-artikel di beberapa website, dia menonton video di Youtube. Bosan dengan Youtube, dia membuka akunya suno.com. Menggubah lirik untuk dijadikan lagu melalui AI. Berulangkali ia menikmati lagu yang yang liriknya dibuat sendiri melalui headset.

Menjelang tengah malam, Kandar mencium aroma minyak serimpi. Bersama angin yang menerobos lubang-lubang ventilasi, dia melihat bayangan putih serupa kabut melintas di ruang itu. Sontak pikiran buruknya muncul bila penunggu gaib di sekolah itu mulai berulah. Tidak suka melihat bangsa manusia yang berada di sarangnya.

Menyadari bila keberadaannya mulai tidak disukai oleh pengunggu gaib sekola itu, dia membuka headsetnya. Usai mensutdown komputer, dia melafalkan doa-doa. Aneh semakin dia keras dalam melafalkan doa, gangguan gaib semakin besar. Samar-samar, dia mendengar lantunan tembang bernuansa kedukaan dari seorang sindhen dari sumur tua. Suara rebab yang menyayat-nyayat hati pula dia dengar dengan jelas.

Bulu kuduk Kandar meremang, sekujur tubuhnya merinding, dan keringat dingin mulai membasahi. Rasa ketakutannya pada gangguan makhluk-makhluk astral itu yang menggugurkan doanya. Dalam ketakutan yang semakin memuncak, dia mendengar suara hantu Wondo dari balik pintu tertutup rapat.

“Doamu membuat mereka panas, Kandar. Mereka tidak menyukai keberadaanmu di tempat ini. Pulanglah ke rumahmu. Bilanglah pada Kepala Sekolahmu! Bangunan sekolah yang berdiri di atas pemakaman orang-orang korban keganasan PKI harus dipindahkan.”

“Tidak! Aku tidak akan pulang sebelum datang waktu Subuh. Aku bangsa manusia. Tidak akan tunduk dengan bangsamu.”

Sejenak senyap. Tak terdengar lantunan tembang dari seorang sindhen dan suara rebab. Hantu Wondo yang berada di balik pintu dirasa telah pergi. Naming tak seberapa lama, Kandar mendengar atap genting ruang TU itu dihujani batu-batu kerikil. Tidak kuasa menghadapi serangan hantu-hantu itu, dia terpaksa meninggalkan ruangan itu.

Selagi menginjak halamam sekolah, sekujur tubuh Kandar menggigil seperti demam berat. Dia melihat seorang sindhen berkebaya hijau; lelaki-lelaki paruh baya yang mengenakan surjan lurik, udheng, dan sarung; dan hantu Wondo menghadang langkahnya. Wajah-wajah mereka yang telah membusuk itu tampak mengerikan baginya. Tidak kuasa melihat hantu-hantu itu, dia terjatuh di tanah. Tidak sadarkan diri.

***

           

Pagi hari, terjadi gegeran di halaman sekolah. Kepala sekolah, guru-guru, dan banyak siswa mengerumuni Kandar yang semula pingsan itu kerasukan roh hantu Wondo. Orang-orang bubar. Mereka berlari tunggang langgang ketika Kandar yang menyeringai dan meraung-raung seperti harimau. Lantara amuk Kandar tidak dapat diatasi, Kepala Sekolah menyuruh salah seorang guru untuk mencari bantuan pada seorang paranormal.

Menjelang jam 10. Datanglah Mbah Karso, seorang paranormal yang tidak jauh dari pantai Glagah. Melalui paranormal itu, roh hantu Wondo dapat diusir dari raga Kandar. Sebagaimana yang dinyatakan Kandar pada Kepala Sekolah, Mbah Karso membenarkan. Di mana, hantu-hantu di sekolah itu akan selalu mengganggu bila bangunan bangunan sekolah tidak dipindahkan.

“Tidak mungkin bangunan sekolah ini dipindahkan, Mbah.” Kepala Sekolah berkata tegas. “Apakah tidak ada cara lain untuk mengusir hantu-hantu itu tanpa memindahkan bangunan sekolah?”

Mbah Karso mengerahkan pikirannya. Usai mengepulkan asap rokoknya dari mulutnya yang tampak keris, paranormal itu melontarkan jawaban, “Aku pikir ada. Bu.”

“Apa yang harus aku lakukan, Mbah?”

“Membongkar gudang, dapur, dan jangan menelantarkan sumur tua yang menjadi hunian hantu-hantu itu. Kasih mereka sesaji berupa rokok dan ubarampe nginang. Terutama pada malam Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, dan Selasa Kliwon.”

Benar yang disarankan Mbah Karso. Sesudah Kepala Sekolah melaksanakan saran paranormal itu, tidak ada hantu yang mengganggu proses belajar mengajar di sekolah itu. Sungguhpun demikian, sekolah itu tetap angker sejak senja hingga di penghujung malam hari. Terbukti banyak orang kampung sering melihat penampakan hantu Wondo dan korban G30S PKI di lingkup sekolah itu. []


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)