Masukan nama pengguna
Aku kebingungan menghadapinya.
Dari tadi dia meratap mengeluh padaku betapa dia sangat menyesal. Bukan, dia bukan menyesal karena telah menghamili kekasihnya. Dia malah menyesal karena telah membawa kekasihnya pulang kembali kerumah orang tuanya hingga menyebabkan dia dan kekasihnya kini terpisah.
Dia bilang kini dia dan kekasihnya tak bisa lagi berhubungan. Padahal kekasihnya kini sedang mengandung anaknya meski mereka belum menikah.
“Kalau aku tahu begini jadinya, aku tak akan membawanya pulang kembali kerumah orang tuanya.”
Aku memandangnya. “Maksud kamu?”
Dia menghela nafas. “Aku akan menikahi dia dulu. Lalu setelah kami menikah dan punya anak, baru kami akan menghadap orangtuanya.”
Aku terkejut. “Kamu yakin kalau seandainya kalian menikah, orang tuanya pasti akan menerimamu sebagai menantunya?”
Dia menatapku. “Mereka harus menerimanya, bukan? Seandainya kami menikah mau tak mau orangtuanya terpaksa menerima kami. Apalagi jika kami punya anak. Mereka pasti akan menerima cucu mereka sendiri. Kata orang-orang, seorang cucu bisa melunakkan hati kakek dan neneknya walau sekeras karang. Mereka pasti menerimanya.”
“Kamu yakin?”
Dia menatapku tajam. “Apa maksudmu?”Aku mencoba tersenyum. “Maksudku, apa mereka akan menerimamu sebagai bagian dari keluarga besar mereka nantinya? Apa mereka akan memperlakukanmu sebagai seorang menantu untuk mereka dan bukan sebagai seorang lelaki yang telah menghancurkan keluarga mereka dan membawa kabur anak gadis mereka? Apa kamu yakin mereka tak akan kembali memisahkanmu dengannya meski kalian telah menikah dan punya anak?”
Dia kini terlihat kebingungan. “Kok kau bisa berpikiran begitu tentang orang tuanya?”
Aku mengangkat bahu. “Aku hanya menebak. Kau yang seharusnya lebih tahu bagaimana orangtuanya.”
Dia menghela nafas. “Orang tuanya tak pernah merestui hubungan kami. Aku tak tahu mengapa. Sudah berapa kali kami mencoba bersabar sambil mencari jalan keluar agar kedua orangtuanya mau menerimaku. Tapi mereka tetap tak menerima hubungan kami ini.”
“Mungkin kalian hanya kurang sabar meyakinkan kedua orangtuanya saja.”
“Mau berapa lama lagi?” katanya keras. “Kau tahu sendirikan sudah berapa lama hubungan kami ini? Tapi orangtuanya tetap tak merestui hubungan kami.”
“Pasti orangtuanya punya alasan mengapa sampai saat ini tak merestui hubungan kalian.”
“Ya. Dan alasannya tetap ini, itu dan yang lainnya.” Katanya. “Bosan aku mendengarnya. Seolah-olah alasan itu memang sudah dipersiapkan dan dicari-cari.”
Aku diam menatapnya.
Sebenarnya tidak susah untuk mengerti dan menganalisa permasalahan temanku ini. Yang susah adalah menerima kenyataan dengan hati ikhlas.Sejak awal Orangtua kekasihnya tak pernah mau menerima dirinya sebagai kekasih anaknya. Dan alasan yang terdengar sangat klasik dan klise yang mungkin tak perlu ku jelaskan lagi karena mungkin kalian bisa menebaknya.
Dia yang menceritakannya padaku. Sejak pertama kali akulah tempatnya mengadu. Sewaktu pertama kali dia menceritakan padaku, aku sudah mengingatkannya tentang segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Termasuk ini.
Tapi dia tetap tak bergeming. Saat cinta bergelora dihati, maka segala nasehat dan petuah tak akan dihiraukan. Segala permasalahan seakan menjadi cobaan bagi cinta mereka. Tentangan dan larangan seakan menjadi onak duri yang hanya akan membuat cinta tumbuh semakin dalam.
Orang bilang cinta ditentang makin membentang. Cinta diusik malah asik.
Begitu juga dengannya. Ketidak setujuan orang tua kekasihnya seakan menjadi tantangan untuk membuktikan kebesaran cintanya saja.
Hingga akhirnya dia putus asa. Bukan pada cinta mereka tapi pada ketidaksetujuan orangtua kekasihnya pada hubungan mereka. Sampai pada suatu ketika aku mendapatkan kabar kalau dia telah membawa lari kekasihnya itu.
Aku mendengarnya dari kedua orangtua kekasihnya yang kebetulan mengenalku. Mereka bertanya tentang anak mereka padaku. Bahkan mereka menuduhku ikut menyembunyikan anak mereka.
Aku jelas tak terima. Susah payah aku menjelaskan pada kedua orangtua kekasihnya ini bahwa aku tak tahu sama sekali. Aku bahkan tak tahu dimana keberadaan temanku ini karena saat kuhubungi no handponenya sudah tak aktif lagi.
Dan orantua kekasihnya itu tetap tak mau menerima penjelasanku. Mereka bahkan mengancam akan melaporkanku pada pihak berwajib karena terlibat dalam penculikan anaknya. Aku hanya bisa mengurut dada mencoba bersabar.
“Apa yag harus aku lakukan?” katanya. “Aku kini tak tahu bagaimana keadaanya. Setiap kali aku kerumah orangtuanya aku selalu diusir. Setiap kali aku mencoba menghubunginya selalu tak bisa. Aku cemas memikirkannya. Bagaimana keadaannya. Apa dia baik-baik saja? Apa anak kami juga baik-baik saja?”
“Anak kami?” aku mengerutkan kening.
“Ya, anakku.”
“Tapi kalian belum nikah. Kalau seandainya kalian menikahpun anak yang terlahir itu nanti bukan anakmu.”
“Peraturan dari mana itu?!” katanya keras.
Aku menghela nafas. “Peraturan agama.”
Dia mendengus sinis. “Mana ada peraturan agama seperti itu. Itu hanya pandai-pandainya kau saja.”
Aku tersenyum. “Aku tak membuat-buatnya. Setahuku begitulah aturannya. Seorang anak yang lahir dari sebuah hubungan zina, bila kelak lahir nanti bukanlah anak dari laki-laki yang telah membuatnya terlahir didunia. Kau tak memiliki hak sedikitpun untuk mencantumkan namamu dibelakang nama anakmu nanti. Tak akan ada bin atau binti dengan embel-embel namamu. Bahkan jika nanti anakmu terlahir sebagai seorang wanita, kau tak berhak sedikitpun untuk menjadi walinya.”
“Tapi aku bapaknya! Aku tetap bapak kandungnya!”
“Bapak biologisnya. Tapi Hakmu sebagai seorang bapak tak ada dalam dirinya karena kalian melakukan itu bukan sebagai suami istri. Kalian telah berzina.”
“Tapi aku mau bertanggung jawab! Aku mau menikahinya! Apa kau pikir aku lelaki yang tak bertanggung jawab? Aku seorang lelaki yag bertanggung jawab! Kau harus tahu itu!”
“Kalau kau benar-benar lelaki yang bertanggungjawab, kau pasti tak akan melakukan semua ini. Kau pasti tak akan merusak dirinya. Kau pasti akan berpikir dan mengerti akan arti sebuah tanggung jawab!”
Dan dia terdiam.
Aku menghela nafas. “Kalau kau benar-benar lelaki bertanggungjawab, kau pasti tak akan melakukan semua ini. Apa kau pernah berpikir kalau nantinya dialah yang akan menanggung beban yang paling berat sebagai seorang wanita? Saat ini dia sedang mengandung seorang anak tanpa seorang suami yang sah. Apa kau pernah memikirkan penderitaannya sebagai seorang wanita yang hamil diluar nikah? Dia menanggung aib dan dosa dihadapan Tuhan, orangtua, keluarga serta lingkungannya. Belum lagi beban batin yang kini berkecamuk dalam dadanya. Pada siapa dia mengadu? Keluarganya sudah jelas-jelas menentang hubungan kalian dari awal. Dan kini dia menjadi pesakitan yang akan selalu terlihat salah dimata keluarganya. Apa kau pernah memikirkannya itu? Apa pernah?”
“Tapi aku mencintainya. Aku sangat mencintainya.”
Aku memegang bahunya. Saat ini, ketika cinta tengah bergelora didada anak manusia, segala nasihat dan petunjuk yang baik tak akan mau mereka dengar. Mereka hanya mau mendapatkan pembenaran dari tindakan mereka yang tak lagi memperhatikan aturan dan hukum agama. Mereka akan melakukan apapun demi mendapatkan cinta mereka bagaimanapun caranya. Pengorbanan dan pembuktian cinta seolah menjadi sesuatu yang wajib dibuktikan. Tak ada lagi keagungan dan kebesaran cinta seperti kisah cinta Rasululah dan Siti Khadijah. Atau kesucian dan kesetiaan cinta seperti Fatimah dan Ali. Mereka tak akan mau menjadikan itu sebagai pelajaran untuk mereka. Mereka lebih memilih melakukan pengorbanan cinta seperti Romeo dan Juliet yang bunuh diri karena cinta. Atau Leonardo di caprio dan kate winslet dalam cerita Titanic. Mereka akan melakukan itu karena terlihat indah dimata mereka walau mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah cerminan cinta dalam kacamata islam.
Tapi itulah dunia. Segala yang indah-indah akan selalu dikenang dan dipuja walau bagaimanpun bentuk, wujud dan kodratnya. Sulit untuk menemukan kebesaran cinta seperti yang diperjuangkan Siti Khadijah kepada Rasulullah. Atau kesucian cinta yang dalam diantara Fatimah dan Ali. Mereka yang terjebak pada indahnya cinta dalam gelora didada hanya akan menjadi permainan perasaan dan nafsu belaka. Membuktikan cinta apapun caranya akan menjadi kewajiban bagi mereka selama cinta mereka bisa bersatu. Dan akhirnya mereka terjebak dalam permainan dunia yang indah namun fana bersama dosa yang mengiringinya dimana saat hari akhir nanti hukuman dan ganjaran menunggu.
“Seharusnya sejak dari semula kau belajar untuk ikhlas menerima keadaan. Cinta bukanlah segalanya. Jika dia memang jodohmu maka dia akan kembali padamu jua. Tapi jika tidak maka keikhlasan itu lebih baik untukmu. Karena dengan keikhlasan dirimu akan menjadi manusia yang mulia.”
Tiba-tiba dia menepis tanganku. Lalu memandangku sambil tersenyum sinis. “Ikhlas? Kau bilang aku harus ikhlas?!”
Aku terkejut. “ Ya. Kau harus ikhlas dan bersabar. Pasrahkan semua ini pada Tuhan. Biar dia yang menentukan segalanya nanti.”
Dia tertawa hambar dalam nada yang tak enak ditelingaku. “Sabar?! Pasrah?! Ikhlas?! Akhirnya Cuma itu, kan yang bisa kau katakan padaku. Kemana penjelasan agama yang sering kau bawa-bawa. Apa ada jalan keluar dalam agama kita untuk permasalahan yang sedang aku hadapi ini selain sabar, pasrah dan ikhlas?! Apa ada?!”
Aku terdiam.
“Akhirnya Cuma kata itu yang bisa kau berikan. Tak membantuku sama sekali. Sedikitpun tidak. Sampai kapanpun aku tak akan menyerah. Aku akan tetap memperjuangkan cintaku ini bagaimanapun caranya walaupun aku nanti melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Tapi aku rela melakukan itu asalkan aku bisa hidup bersama dengannya dan anakku. Akan aku buktikan seperti apa cintaku padanya. Itu janjiku. Dan akan kubawa janji dan cintaku ini sampai mati. Lihat saja.”
Dan diapun berdiri meninggalkanku dengan amarah yang terpancar dari sorot matanya.
Aku tak bisa menahannya. Aku hanya bisa terdiam menatap kepergiannya. Aku tak punya ilmu yang cukup untuk menyadarkannya. Aku tak punya pengetahuan agama yang bagus untuk bisa membuatnya mendengarkan nasehatku.
Aku hanya bisa berdoa semoga Allah melindunginya. Dan aku juga berdoa semoga Allah menyadarkannya sebelum dia kembali melakukan kesalahan kesalahan lainnya yang semakin membuatnya jauh dari syariat agama...