Masukan nama pengguna
Ade selama tiga puluh tahun hidup di dunia, ia tidak pernah bangun dari tidurnya, sebelum langit terlihat sudah terang.
Bukan karena Ade malas untuk bangun lebih pagi. Sebagaimana kebanyakan orang beranggapan bahwa bangun lebih pagi pada jam tiga atau jam empat itu segar dan bikin awet muda.
Ade bukan tidak mau seperti kebanyakan orang bangun lebih pagi katanya baik. Hanya saja, ia pernah satu kali dalam hidupnya merasakan bangun tidur ketika langit masih dalam keadaan gelap. Itu pun telah berlalu dua puluh empat tahun silam, sewaktu Ade masih berusia 6 tahun.
Ade masih ingat betul saat ayahnya Sasmita, ada membangunkannya, "Nak bangun, bukannya kamu sekolah hari ini? sudah pagi loh," katanya.
Waktu itu, aku langsung bangun, pergi ke kamar mandi cuci muka, gosok gigi, lalu mandi. Ayah dan ibu membiarkanku, mungkin karena aku waktu lahir, kata ibu; "Ketika kamu lahir ibu tidak merasakan sakit," mungkin maksud ibu, aku lahir secara mandiri tanpa membuat ibu menderita kesakitan.
Aku memang sudah mandiri sejak dari orok, aku merasa seperti itu. Tapi waktu itu, tidak ada aku curiga sedikit pun kepada ayah dan ibu karena aku mandiri.
Lalu setelah mandi, aku mengenakan seragam sekolah merah putih sambil bercermin, ibu ada di kamar bahkan ibu ada bilang, "Gantengnya anak ibu, mau pergi sekolah ya?" Aku yang berniat mau sekolah, ku jawab saja, "Iyaaa ibuu."
"Sarapan sudah siap ibu?" aku menanyakan itu tanpa sedikit pun aku curiga. Kata ibu, "Sudah."
Aku sarapan terlebuh dahulu. Aku memang sedari kecil sarapan tidak pernah tinggal. Dan itu berpengaruh sampai sekarang, kalau bangun dari tidur harus ada sesuatu yang dimakan.
Hanya anenhnya ketika itu, aku mulai merasa ada yang janggal, menu hidangan untuk sarapan pagi kok seperti hidangan untuk makan malam. Di situ aku mulai curiga.
Di atas meja itu, tidak ada susu hangat. Aku melihatnya juice alpukat, tidak ada nasi goreng telur mata sapi, itu tidak ada. Justru sate ayam dan seonggok puding coklat. Itu membuat aku terdiam sejenak.
Ibu kalau pagi, suka bikin nasi goreng telur mata sapi dan susu hangat, itu sudah pasti ada. Susu hangat sih, pasti ada setiap pagi.
Tapi aku tetap memakan hidangan itu yang aku anggap hidangan sarapan pagi, "Mungkin ibu lagi nyoba menu lain," kataku. Selesai makan, aku pun pamit untuk berangkat ke sekolah. Aku mencium tangan ayah dan ibu kemudian bilang,
"Ibu ayah, berangkat dulu ya," aku memang selalu seperti itu kalau mau berangkat ke sekolah.
Ibu dan ayah tidak memasang wajah mencurigakan, justru keduanya mendoakanku, "Iya, hati-hati di jalan ya nak."
Namun naasnya, ini aku ngakak parah sih. Setelah pintu rumah, aku buka. Tanpa aku menduga sebelumnya.
Ya bayangkan saja, seperti hujan deras berhias kerlip kilat dan dentuman petir yang mendebarkan. Eh, Nadia Putri lewat depan rumah, gimana gak berdebar, "Ya ampun bisa pas gini," hatiku mengatakan demikian saking takjubnya. Biarpun masih anak-anak ya, waktu itu. Tapi perasaan ser kepada lawan jenis itu ada loh.
Nah di sini, aku mulai menemukan kejanggalan, "Kok aku pakai seragam sekolah sedangkan...," Sri Nadia Putri tidak mengenakan seragam seperti ku, ia malah mengenakan mukena sambil menentang juz ama di tangannya.
"Hah, dia kok pakai mukena bukan seragam," aku terperanga sambil bermonolog dalam pikiranku waktu itu. "Apa jangan-jangan ini malam bukan pagi," dugaku seperti itu. Maka aku langsung berteriak detik itu juga, "Ayaaaahhh...," gila aku baru ngeh.
Dari dalam rumah nih yaa, lebih tepatnya ruang sebelah kamar tidur ku itu kan ruang tamu, ayah dan ibu terdengar cekikikan di situ, di ruang tamu. Dan malunya aku, Sri Nadia Purti perempuan idamanku waktu SD dulu, melewatiku sambil tersenyum dan berkata, "Ade mau sekolah yaaa, kan belum pagi?" katanya sambil berlari menertawakanku.
Itu pengalaman yang membuat aku trauma dan enggan untuk bangun ketika langit masih gelap. Ayahku membangunkan aku ya... jam delapan malam, gila gak? Tapi aku mengiranya masih jam lima pagi, ini murni aku yang bloon sih. Ya orang waktu itu, aku belum bisa baca jam. Dan salahnya aku, pulang main langsung tidur sore itu. Sejak saat itu, aku memilih untuk bangun ketika langit sudah terang saja.
"Jadi kamu gak mau bangun pagi?" Sisil pacarnya Ade menyahut dari saluran telpon. Setelah Ade selesai bercerita cukup panjang tentang masa kecilnya.
Selepas Sisil menanyakan itu, Ade terperanjat dari berbaring di atas tempat tidur. Ade terdiam dan berpikir sejenak karena terkadang perempuan selalu menanyakan suatu pertanyaan yang menyudutkan laki-laki untuk berkata ya atau tidak. Gimana aku cantik gak ya ? Termasuk pertanyaan Sisil pacarnya Ade, membuat dirinya sedikit berpikir cukup keras.
"Bukan gak mau sayang, gelapnya langit membuat aku trauma, aku memilih bangun ketika matahari sudah terbit."
"Itu alasan kamu saja...."
Sisil masih beranggapan bahwa itu sesuatu hal sepele, dan tidak membahayakan Ade juga. Bangun pagi bagus dan baik, itu dalam pikiran Sisil.
"Ya memang, setiap tindakan yang kita pilih selalu ada alasan tersendiri."
"Tapi kamu tau kan pagi ini aku pulang?"
"Ya aku tahu."
"Ihhh, kamu kok marah, nadanya kaya ngebentak gitu," Sisil moodnya mulai hilang.
"Hah, engga kok sayang, engga marah sayang, kamu pulang pagi kan ya, nanti aku jemput sayang."
"Pokoknya, jemput aku jam tiga pagi di bandara Soekarno-Hatta," tegas Sisil.
"Sayaanggg...," Ade kaget dan berusaha menolak.
"Kalau kamu takut gak bangun, suruh si Nadia bangunkan kamu," Sisil terdengar kesel dan menutup telponnya.
"Hallo sayang, sayang...,sialan dimatiin."
Mungkin Sisil, ia menganggap aku tengah mengada-ngada. Dan ia beranggapan, aku malas menjemput dirinya di bandara. Aku mengidap trauma masa kecil Sisil, itu sulit menghilang dalam ingatan. Memang terdengar seperti sepele, namun semenjak ayahku berbohong dan membuat aku malu.
Sejak saat itu, aku bukan hanya tidak mau bangun di saat langit masih gelap. Lebih dari itu, aku enggan dibangunkan saat tidur, telingaku sangat sensitif terhadap kalimat seseorang yang berkata bohong, dan satu hal lagi; "Andai kamu tahu Sisil, aku menjadi enggan masuk sekolah karena seluruh teman di kelas membuliku," gerutu Ade.
"Aku harus gimanaaaa?" Ade mulai kebingungan.
Waktu pada jam tangan Ade terus berputar dan perlahan mulai menuju pukul tiga pagi. Kira-kira ada waktu sembilan jam lima puluh lima menit menuju pukul tiga pagi itu, 18:05 - 03:00 WIB untuk bersiap-siap.
Ade pun mengatur nafas, demi meredam detak jantung yang berdebar tidak beraturan, mencoba untuk menghilangkan bayangan Sasmita yang terlintas dalam benaknya, "Nak bangun."
"Ayaaahhhh...," Ade berteriak kesal.
Bintik keringat mulai timbul pada dahi Ade, badannya bergetar, Ade perlahan memeluk dirinya cukup erat. "Sisil kenapa harus pagi buta, tidak adakah waktu lain?"
Ade pun mulai berbaring terlentang, mencoba menenangkan diri, sambil terus mengatur nafasnya, pikirannya yang dihantui ketakutan sedikit demi sedikit ia alihkan. "Aku harus melawan ketakutan ini."
Masih di atas tempat tidurnya, Ade menekan ulu hati, dengan ibu jari tangan kirinya. Kata seorang tabib yang Ade temui di Desa Sirnagalih, Nenek Saonah. Ia pernah berpesan, "Agar jauh lebih tenang, atur nafas dan tekan ulu hati," katanya.
Aku mencoba untuk memperaktekkan perkataan itu. Meskipun aku sebenarnya ragu terhadap perkataan nenek tersebut. Ia bukan seorang medis, hanya dipercaya masyarakat setempat dapat mengobati seseorang yang sakit.
Beberapa saat aku menekannya dan terus mengatur nafas, rasanya lumayan dapat menenangkan keresahan diriku. Aku mencoba untuk memejamkan mata, aku mulai merasa semakin tenang. Dan agar tambah rilex, nenek itu pun pernah berpesan, "Pejamkan mata, fokuskan pendengaran pada yang ada disekeliling, nikmati itu, kamu akan rilex dan mudah cepat tidur."
Perjumpaan ku dengan nenek itu di Desa Sirnagalih, sewaktu aku Peraktek Kerja Lapangan (PKL). Dan baru dua hari di sana aku langsung sakit, masyarakat di sana menyarankan kepada temanku agar mengantarkan aku ke nenek Saonah.
Aku pun di antaranya ke sana, "Kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan?" tanya nenek itu. "Aku lemas, ketika makanan masuk perut sakit kemudian muntah-muntah," jawabku.
Nenek itu pun meminta aku terlentang dan menekukkan kedua kakiku. Kemudian ia mengoleskan minyak kelapa di atas perutku, yang telah aku singkabkan bajunya.
Kedua tangan nenek itu merabai perutku, ia begitu terlatih. Aku tidak tahu metode pengobatan apa yang nenek itu lakukan dan ia belajar di mana. Yang jelas aku pingin cepat sembuh.
Aku mulai merasa geli, tubuhku tidak bisa menahannya, "Diam, pingin cepat sembuh tidak?" tegur nenek itu. "Aku geli nek," kataku. "Ditahan, sepetinya kamu ini mag dan asam lambung naik," jelas nenek itu.
Nenek itu pun kemudian memberikan satu gelas cairan putih mirip lem. "Apa ini nek?" aku penasaran. "Ini obat buat lambung kamu yang luka, terbuat dari beras yang direbus, air taji namanya," ungkap nenek itu.
Hari-hari berikutnya, setelah aku sembuh. Aku cukup sering datang ke rumah nenek Saonah. Bagiku, metode pengobatannya menarik. Lambat laun aku pun tertarik untuk sedikit mempelajarinya.
Namun setelah tadi aku memejamkan mata dan memfokuskan pendengaran di sekeliling ku. Pikiranku jauh lebih tenang dan rasa takut dalam diriku hilang. Aku mulai merasa, "Bangun di pagi buta adalah kesukaanku," perasaanku mengatakan demikian.
Mungkin aku memang harus memasukkan sugesti ke dalam diriku, bahwa aku suka bangun di pagi buta. Agar trauma masa kecilku perlahan sirna dalam ingatan.
Belum aku seratus kali mengsugesti diriku dengan kalimat itu. Kedua telingaku mendengar suara lain, selain detak jarum jam pada dinding di kamarku.
Kriiinngggg....
Aku langsung membuka mata, aku sadar itu handphone ku yang bunyi. "Siapa yang datang menelpon ku?"
"Hallo, sayang...," Sisil pacarku nelpon.
"Sayang, aku baru mau naik pesawat. Satu jam lagi sampai," Sisil memberi tahu.
"Kamu cepat siap-siap aku gak mau nunggu lama, dah sayang." Telpon itu dimatikan.
Berbarengan dengan terputusnya saluran telpon dengan Sisil. Ade merasa, tidak terjadi apa-apa pada dirinya. "Hah, bukankah aku ini bangun ketika langit masih gelap?" Ade cukup terkejut.
"Aku baik-baik saja, tidak kenapa-napa, aku aman, bangun di pagi buta tidak menakutkan, jam berapa ini?"
Ade langsung mengarahkan pandangannya pada jam di dinding, pada jarum jam itu menunjukkan pukul 02:15 WIB. "Aku harus segera bergegas ke bandara," ucap Ade.
Ade berangkat dari Balikpapan, Jakarta Pusat menuju Bandara Soekarno-Hatta. Dan setelah sekian lama, dua puluh empat tahun lamanya. Tepatnya, Senin, 4 Februari 2021 menjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam hidup Ade, "Akhirnya, aku merasai apa yang kebanyakan orang katakan udara di pagi buta menyegarkan."
Ade terpaku sejenak, mengamati sekelilingnya, beberapa kali Ade menghirup udara pagi yang lama tidak pernah ia rasakan. "Hmmm...."
Lantas ia pun meluncur bersama mobil Toyota putih miliknya menuju bandara, "Sayang aku datang...."
Saking bersemangatnya, Ade menekan pedal gas cukup dalam dan terus menaikan gigi mobil tersebut. Sehingga laju kendaran miliknya melesat di jalanan Jakarta yang lenglang di waktu dini hari.
Niat Ade, ia ingin on time berada di bandara, Ade tidak mau Sisil menunggu lama di sana. Tapi naas, takdir berkata lain. Keinginan Ade tidak sejalan dengan kehendak Tuhan.
"TidaaakkÄ·k...."
Mobil Ade menabrak sebuah ruko jam, "braakkk...."
"Adeeee...," teriak Sisil melempar tas miliknya ke arah Ade yang masih berbaring di atas kasur.
Ade pun terperanjat, memasang wajah bingung, "Hah, aku di mana?" Ade bingung, matanya sayu belum terbuka sepenuhnya.
"Di mana, di mana, aku kan udah bilang jemput aku," teriak Sisil marah besar.
"Aku tadi udah berangkat sayang," bantah Ade masih belum sepenuhnya terkumpul nyawanya.
"Berangkat apaan? Liat jam, liat !"
"Apah jam delapan," Ade terkejut dan mulai menyadari bahwa tadi hanyalah mimpi.
"Aku kesel deh, sama kamu harusnya kamu jemput aku, aku kan jadi ribet harus pesan grab car, harus nunggu lagi, aku gak nyaman kalau bukan sama kamu, kenapa sih...." Sisil ngoceh di atas tempat tidur Ade.
Ade hanya terdiam, memikirkan betapa nyatanya mimpi yang barusan ia alami. Namun satu hal yang membuat ia berkesan dalam mimpi itu, mengobqti trauma dengan melawannya bukan malah menghindari. Ade tersenyum seperti telah menemukan jawaban atas kebuntuannya selama dua puluh empat tahun.
"Sayang kenapa sih malah senyum-senyum gitu, sayang ih," Sisil mulai manja dan Ade pun memeluknya.
"Terimakasih sayang," ucap Ade berbisik di telinga Sisil yang membuat Sisil pacarnya menjadi bingung.