Cerpen
Disukai
6
Dilihat
5,427
Direstui Oleh Ayah
Romantis

14 Februari 2021


Teruntuk, RENDI PANGESTU

Di Garut.


Maaf, berbulan-bulan lamanya saya baru ada ngabari. Di sini saya happy dan bahagia. Itu karena saya telah berada di rumah, di Majalengka. Jadi, kamu jangan khawatir. Namun setelah Praktek Kerja Lapangan (PKL) di dusun Cibugang Geureum itu. Saya sedikit murung. Maaf jika pesan kamu yang numpuk itu baru saya balas sekarang.

Pasti kamu ingin mengetahui, mengapa sikap saya seakan berubah. Itu karena ada sesuatu hal yang mengganjal dan bikin saya murung selama ini. Tapi mungkin jika saya utarakan akan membuat saya jauh lebih baik. Saya akan memulainya dengan sebuah pernyataan dari seseorang. Bagi saya, pernyataan itu cukup menarik. Dan kamu juga harus mengetahuinya. Pernyataan itu demikian;

Ketika orang itu disebut telah dewasa, dilihat bukan hanya dari bentuk fisiknya. Namun tindakan dan keputusan yang ia ambil. Ia yang sudah dewasa nyatanya tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Akan tetapi lebih dari itu, lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang tidak lupat dari perhatiannya. Ia yang sudah dewasa adalah ia yang hidup bermasyarakat.

Seperti itu pernyataannya! Itu menurut Sutrisna seorang pemuda dua puluh lima tahu, yang saya temukan di sebuah Dusun Cibugang Geureum. Dan mungkin, dirimu penasaran bukan?! Mengapa saya bisa mengenalnya? Jadi, tiga bulan yang lalu, tepatnya; Maret, April, dan Mei. Saya menjalin komunikasi cukup intens dengannya. Jangan cemburu dulu.

Itu karena, terdapat dorongan untuk menyelesaikan tugas semester akhir. Dan kamu pun tahu, saya sedang kuliah jurusan ilmu komunikasi di Malang. Maka kami bertiga Nadia Anatasya, Amatul Noor, dan Saya berangkat PKL (Praktek Kerja Lapangan) ke Dusun di mana Sutriana tinggal.

Dusun miliknya menjadi pilihan kami bertiga karena itu terpencil. Akses jalan ke sana sulit tau; curam, berkelok, dan seperti sungai kering pokonya. Saya harus jalan kaki sejauh 20 KM dari gerbang dusun itu. Dan katanya; kendaraan dilarang masuk ke dusun tersebut. Tapi beruntungnya, sepanjang perjalanan saya dibuat takjub. Seakan rasa lelah saya dapat terobati.

Rasa takjub itu bukan karena sosok pemandu perjalan kami, pak Yaya Sutarya kepala keamanan dusun itu yang katanya ia gagah dan pemberani. Bukan?! Melainkan saya takjub itu karena ternyata jalan menuju ke dusun itu menyimpan keindahan alam yang mungkin sedikit saya harus definisikan. Itu agar kamu tahu kondisi di sana seperti apa;

Meski jalan menuju ke sana berkelok, rusak, masih tanah liat dan kanan kiri jurang. Sebagaimana saya katakan tadi curam dan berkelok. Dan entahlah apa yang akan jadi jika musim hujan tiba? Betapa sangat mengerikannnya, karena itu pasti licin. Tanah merah soalnya. Tergelincir sedikit saja, kanan kiri jurang. Saya hanya bisa mebrigidig, saking ngerinya. Tapi anehnya, mengapa bisa ya? Ada sekelompok masyarakat yang betah tinggal di sana. Saya cukup di buat heran. Mungkin saja itu karena keindahan alamnya yang memukau, gumam saya. Bisa dilihat! Sepanjang perjalanan menuju ke dusun itu. Saya ada menemukan jenis flora cukup langka di sana. Yakni; Anggrek bulan raksasa. Padahal itu hanya ada di Kalimantan bukan? Tapi mungkin saya salah lihat, kalau itu. Saya melihatnya dari jarak cukup jauh. Tapi anggrek hitam ada saya lihat. Itu kan cukup langka ya?! Dan mungkin dilindungi juga. Tapi apakah itu alasan masyarakat di sana betah?! Tapi mungkin karena air sungainya yang jernih. Saking jernihnya ikan-ikan sejenis ikan jelawat nama lokalnya di sana. Itu mirip ikan mas tapi kecil sih! Itu terlihat oleh kedua mata saya, ikan itu berenang. Airnya pun dingin. Sesekali dan tanpa penglihatan kedua teman saya, Nadia dan Amatul. air itu saya minum. Segar dan enak rasanya! Tapi mungkin karena suasannya yang adem dan sejuk kali ya?! Soalnya dusun itu diapit oleh bebukitan sebagaimana kota kamu Garut. Itu kan di kelilingi gunung-gunung seperti Gunung Cikuray, Gunung Papandayan, Gunung Guntur, dan Gunung Sagara. Sudah kaya di lembah masyarakat di sana tinggal. Itu hanya anggapan saya saja dan mungkin justru masyarakat di sana mereka betah bukan karena apa yang saya sebutkan tadi. Bisa saja lain. Tapi bukan hanya itu yang menarik di sana, ada seorang lelaki yang saya sebutkan tadi. Ya, Sutrisna pemuda yang ingin saya ceritakan lebih detail kepada kamu.

Menariknya, pemuda itu mengungkapkan bahwa idealnya seorang yang sudah dewasa seperti demikian. Ia sudah harus mampu memenuhi kebutuhan dirinya secara mandiri tegasnya.

Sudahkah kamu bekerja atau masih menjadi beban orang tua? Aku tahu kamu.

Kemudian ia mengatakan, katanya; orang dewasa pun sudah harus peka terhadap kondisi sosial di tengah masyarakat. Alasannya sederhana; Manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat material jelasnya. Apalagi kalau bukan untuk tetap eksis di tengah kelompoknya. Manusia itu tidak bisa hidup sendiri kok.

Oleh karena itu saya memilih kamu, saya kesepian waktu itu.

Dan lagi katanya; Manusia itu hidup berkoloni sebagaimana anjing laut atau sekawanan zebra di Afrika. Itulah sejatinya manusia, pungkasnya. Perkataan itu saya dengar ketika mencoba berdiskusi dengannya satu minggu setelah saya ada di Dusun Cibugang Geureum. Dan itu membuat saya takjub, terkesima, rasanya hati ini terpikat, dan apakah kamu tahu? Sejak pertemuan itu, saya berniat untuk meninggalkan kamu.

Namun ucapannya itu membuat saya heran dan rasanya aneh. Ia tidak memperlihatkan sikap seperti sebagaimana orang dusun pada umumnya. Ia memiliki secercah wawasan dalam isi kepalanya. Itu first impression saya padanya.

Maka jika kamu berusaha datang ke dusun Cibugang Geureum dan bertemu dengan Sutrisna. Pasti, saya dapat menjamin! Setubuhi saya sepuas dirimu jika apa yang saya ucapkan itu salah. Maka kesan pertama kamu pada Sutrisna pasti akan beranggapan bahwa Sutrisna sangat berbeda dengan para pemuda di dusunnya.

Ya, bayangkan saja oleh dirimu. Dan termasuk saya pun merasa heran! Para pemuda di dusunnya. Mereka sibuk keluar masuk pintu perusahaan, menenteng sebuah map warna coklat demi satu; mencari penghidupan yang lebih baik. Tapi apa yang dilakukan Sutrisna? Apakah kamu bisa menebaknya? Jika benar jawabannya. Maka saya akan datang ke kamarmu dan mengatakan selamat tidur sambil mengecup kening milikmu, itu kan yang kamu mau selama ini?

IA, SUTRISNA TIDAK TERTARIK AKAN HAL ITU.

Saya benar-benar dibuat terheran-heran, dan ingin lebih dekat dengannya. Ia sosok lelaki yang berbeda dengan mu. Wajar bukan saya membandingkannya?

Asal dirimu tahu! Kalaupun ia ada melakukannya untuk melamar pekerjaan. Ia tidak akan sesulit dirimu untuk mendapatkan pekerjaan. Sutrisna, ia memiliki gelar akademik dibelakang namanya. Ia seorang sarjana ilmu sosiologi. Saya mengetahui hal itu. Ketika saya ada berkunjung ke kediamannya. Di ruang tengah itu lah, saya melihat dengan jelas pada foto di dinding rumahnya, 'Yaya Sutrisna, S. Sos.' Sedangkan kamu hanya anak nakal dan tidak memiliki masa depan, kamu hanya lulusan SLTA dan sulit cari kerja. Maaf jika saya lancang, itu fakta bukan? Dan apakah kamu tahu tidak!?

Saya semenjak berada di dusun itu. Bukan sekaliatu atau dua kali berbincang dengannya. Bahkan hingga jarak saya dengan Sutrisna hanya sepanjang tubuh semut rang-rang, tidak ada jarak. Saya tahu kamu pasti cemburu mendengarnya.

Tidakkah ada yang menawari pekerjaan atau berusaha mencarinya gitu? Saya tanyakan itu walau sedikit gugup. Itu karena pertama kali saya ngobrol dengannya tau. Tapi jawabnya; Sempat ditawari bekerja menjadi seorang guru, cuma ditolak.

Hati saya mengatakan dalam hati, sombong amat. Dan mungkin justru ia malah memilih jalan hidup lain. Dan benar saja! Ia menjadi seorang petani jagung di tempat tinggalnya. Kamu jangan tertawa!

Kamu pasti akan mengatakan ngapain kuliah jika hanya jadi petani jagung? Saya bisa menduga apa yang ada dalam benakmu saat membaca tulisan saya ini.

Awalnya saya pun menduga! Mungkin karena hanya di ladang dan jauh dari penglihatan masyarakat luas itulah. Ia sedikit besar dapat melupakan tekanan sosial yang ia alami atas ekspektasi banyak orang terutama keluarga tentang dirinya. Apalagi ekspektasi banyak orang itu selain bahwa Sarjana itu minimal memiliki pekerjaa yang layak atau jadi pejabat publik lah.

Sudah pasti banyak mulut mengucapkan itu termasuk dirimu, bukan? Dan mungkin bagian ini kamu pun akan tertawa memperolok Sutrisna, lelaki yang sekarang saya sukai ini. Dan ya, kalimat perolokan itu. Jelas akan membentuk pola pikir lalu kemudian menganggap bahwa untuk apa kuliah kalau pada akhirnya hanya menjadi seorang petani jagung. Menjadi petani jagung tidak mesti harus kuliah, bukan? Saya mencoba menerawang pikiran mu dan masyarakat secara lebih luas.

Tapi jangankan kamu yang tidak mengenal dekat Sutrina. Teman dekatnya, tetangga, saudara, orang tuanya sendiri dan bahkan salah satu dosenya Prof. Ali Tohari menyayangkan jalan hidupnya itu. Lah dari mana saya bisa tahu tentang ini semua? Ibunya Rohana bercerita pada saya!

Di sini, kamu jadi tahu kan sudah sedekat apa saya dengan keluarganya?

Waktu itu, ibunya marah kemudian ada bilang; Buat apa kuliah mahal-mahal kalau pada akhirnya hanya jadi petani jagung. Lebih baik jangan kuliah. Ngabisin uang saja! Ibunya Rohana bilang seperti itu di rumahnya, pada saya.

Tapi bukannya mencari pekerjaan kata ibunya. Sutrisna justru malah pergi menenteng cangkul ke ladang. Sutrisna menghiraukan perkataan ibu? Tanya saya terkejut. Iya, ia seakan sudah tidak peduli lagi dengan ibu, jawabnya.

Apa karena Sutrisna tidak berusaha membantah perkataan ibunya. Itu karena ia memilih membuktikan bahwa tidak selamanya apa yang dipertentangkan dijawab dengan perkataan?! Tapi mungkin jika kamu diposisi itu. Kamu pasti membentak ibu mu, saya tahu kamu.

Sutrisna memilih untuk diam dan tidak mengatakan apa pun, lanjut ibunya. Saya hanya menganggukkan kepala dan mungkin baginya biarkan waktu yang akan menjawab.

Lain halnya dengan ayahnya, Sulaiman. Saya ceritakan saja semuanya kepadamu bahwa sekarang saya telah berubah.

Justru sikapnya yang pergi tanpa sepatah kata tempo hari itu. Di mata ayahnya Sulaiman, ia telah mencerminkan sebagai seorang anak durhaka, lanjut ibunya.

"Liat tuh anak mu Rohana, gak tau diri. Dikiranya biaya kuliah itu murah. Dasar anak durhaka." Ayahnya ada mengatakan seperti itu, ucap ibunya.

Saya seakan merasakan bagaimana berada di posisi Sutrisna, lelaki pujaan saya ini. Jelas! Perkataan itu menusuk perasaannya dan mungkin akan terus terngiang-ngiang pada ujung telinga miliknya.

Saya memahami, ia seakan dibuat serba salah. Tidakkah aku berhak memilih jalan hidup ku? Sering Surtrisna menanyakan itu kepada dirinya ketika saya ngobrol berdua denganya, ia mengatakan itu. Dan ia mengatakan bahwa ia menghendaki agar kedua orang tuanya berusaha memahami apa yang tengah ia kerjakan. Jelas berbeda bukan dengan dirimu?

Awalnya! Kami, kata ibunya; Jangankan menanyakan tentang itu (Tujuan hidup), menanyakan; 'Sudah bawa bekal untuk pergi ke ladang apa belum?' Tidak pernah keluar dari mulut kami. Apalagi ayahnya yang tempramen. Apa-apa membentak, memukul, melempar benda-benda yang terjangkau di sekitarnya. Mana mau ia menanyakan itu?! Saya pun yang sedikit lembut tidak pernah menanyakan hal itu, jelas ibunya.

Itu ibu dan ayahnya. Dan apakah kamu tahu?

Saya dibuat meleleh olehnya. Ia ada mengatakan saat kami bermesraan di bawah pohon nangka itu, ia bilang; Itu mungkin karena aku anak durhaka. Hus, kata saya menegur.

Soalnya ibu dan ayah tidak lagi perhatian, keluhnya. Tapi mungkin karena aku adalah seorang yang telah dewasa, katanya menyadari.

Coba lihat diri kamu? Kamu masih kekanak-kanankan, saya jijik...Hahaa.

Namun ibu dan ayah lambat laun dapat memahami apa yang tengah aku kerjakan, tambahnya. Sayang, aku boleh tahu? Tanya saya.

Maaf, jika kamu terpaksa membaca kata 'sayang' itu.

Asal kamu tahu? Saya dan dia. Sudah bukan aku dan kamu lagi panggilan kami. Tapi sayang. Bukan bunda dan ayah, seperti kamu yang sering memanggil saya 'Bunda' dan saya mulai muak dengan panggilan itu.

Kamu pasti penasaran apa yang akan dia jelaskan, bukan? Saya ceritakan saja semuanya kepada kamu tentang Sutrina ini, katanya; Aku memilih jalan hidup menjadi seorang petani jagung karena ada suatu kepedulian. Kamu tahu tidak? Bagaimana masyarakat kita itu telah dikuasai sistem kapitalis. Apa-apa harus dengan uang. Kalau uang gak bicara pekerjaan gak selesai. Semua orang bicara tentang uang di sekolah, di rumah, dan bahkan di ladang pun uang. Tidakkah ada kerinduan untuk kembali kepada sebuah sistem yang tradisional. Sepertinya itu jauh lebih ramah dan selaras dengan situasi masyarakat di sini. Aku memilih untuk menjadi seorang petani jagung untuk merubah sistem kapitalis yang telah menguasai alam bahwa sadar para petani, jelasnya.

Sungguh saya dibuat meleleh dan tambah sayang terhadapnya. Ia memiliki prinsip dalam hidup dan berbeda dengan dirimu! Yang hanya mementingkan hidup diri sendiri, saya tidak suka itu. Saya telah berubah sekarang!

Sekarang kamu jadi tahu bukan? Alasan lelaki pujaan saya sekarang ini. Mengapa ia memilih menjadi seorang petani jagung? Jika kamu mengira bahwa kuliah hanya untuk memperkaya diri sendiri, itu salah besar. Kuliah nyatanya harus dapat menuntun ke jalan yang benar.

Dan mungkin kamu akan kaget bahwa saya ada mendampinginya dan membuat sebuah perkumpulan Petani Milenial namanya. Kamu ingin tahu juga tentang ini? Saya ceritakan secara garis besarnya karena saya telah berubah. Jadi, Petani Milenial itu bertujuan menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional dalam bertani. Saya tahu kamu tidak memahami ini. Perkumpulan itu demi mengajak masyarakat, untuk kembali mengaplikasikan nilai yang telah terkubur di dusunnya yakni lileutian. Ia begitu peduli, berbeda dengan kamu!

Kemudia menghimpun beberapa pemuda untuk terlibat dalam perkumpulan itu. Memamg tidak mudah dan kamu akan tertawa lalu mencemoohnya. Tapi akan saya ceritakan, pada mulanya, ajakan itu ditolak mentah-mentah. Alasannya tiada lain adalah uang!

"Boleh saja asal ada uangnya." Ucap Tono pemuda di sini.

"Ini tidak ada uangnya karena ini adalah leleuitan."

"Leleuitan apa itu?" Tanya Herman.

"Leleuitan adalah menanam secara bergantian dari lahan satu ke lahan yang lain. Jika di lahanku telah selesai. Maka giliran aku ikut membantu menyiangi dan menyemai benih jagung di lahan kalian. Aktifitas ini sebenarnya telah berlangsung selama puluhan tahun di dusun ini tapi dilupakan. Meski tidak ada upah yang diberikan, sistem cara kerjanya memang demikian adanya. Paling nantinya para perempuan bertugas memasak untuk menghidangkan makanan selepas lelah menanam jagung. Ini pasti rasa lelah pun seakan tergantikan. Biarpun tidak ada uangnya."

"Seperti ini akan sulit untuk diterapkan di tengah masyarakat kita." Tono menyela pesimis.

"Justru itulah mengapa kita ada sekarang, merubah sebuah sistem memang tidak mudah." Timpal Sutrisna.

"Kita mulai dari kita terlebih dahulu. Lambat laun akan menjaring masyarakat kita." Tambah Sutrisna meyakinkan.

Meski cukup sulit meyakinkannya. Tapi kedua pemuda itu sepakat untuk terlibat dan membumikan gerakan petani milenial ini. Maka sejak saat itulah komunitas petani milenial terbentuk dengan susunan stuktural sebagai berikut;


Ketua : Yaya Sutrisna, S. Sos

Sekretaris : Amalia Oktavia (Saya)

Bendahara : Tono Toni

Proyek Manager : Herman Aulia


Mungkin itu hal yang harus kamu tahu tentang saya sekarang. Dan satu hal lagi, 15 Februari 2021, saya akan menikah dengannya. Saya harap kamu jangan datang, surat ini menjadi simbol bahwa berakhirnya hubungan kita selama EMPAT TAHUN.


Dari, Amalia Oktavia.


***

Paginya, setelah semalam saya mengirim pesan via email ke Rendi Pangestu, pacar saya itu. Eh, bukan! Tapi bekas pacar. Saya lebih suka menyebutnya bekas dari pada mantan atau eks. Konotasi bekas lebih pas karena ia pelit dan kikir. Bayangkan! Setiap kali jalan berdua dengannya. Dia gak pernah sekali pun bayar makan, alasanya; nanti aku yang bayar. Sekarang aku lagi gak pegang uang. Itu artinya saya harus bayar! Dan kadang, ia juga suka pinjam uang, sungguh lelaki yang tidak diharapkan kedua orang tua saya.

Perasaan saya menjadi jauh lebih baik. Setelah memutuskan hubungan dengannya. Walaupun sebenarnya saya berbohong tentang Sitrisna padanya. Hubungan saya dengan Sutrisna, hanya seperti kakak dan adik. Bahkan saya sendiri pun tidak mengetahui apa isi hatinya pada saya. Namun saya mengaguminya. Ingin agar ia menjadi pendamping hidup saya, imam bagi saya. Ia, saya lihat seorang yang bertanggung jawab.

Tapi setidaknya terlepas dari laki-laki pelit dan kikir seumpama lepas dari sebuah tali yang mengikat tubuh saya, lega rasanya. Meskipun sedikit ada rasa was-was. Tapi masa iya dia akan melakukan hal konyol pada Sutrisna. Tidak mungkin lah!

Dan apakah kalian tahu? Saya sedikit terburu-buru meninggalkan rumah pagi itu. Lebih tepatnya bersemangat. Saya ingat! Pagi ini, saya ada janji dengan sang pujaan hati, Ketua Pergerakan, calon suami saya, siapa lagi kalau bukan Sutrisna. Saya harus segera ke rumahnya.

Ternyata, setelah sampai di sana, rupanya sudah ada ketua tercinta, Herman, dan Tono. Mereka tengah menunggu saya di Sekertariat Petani Milenial, rumahnya ketua di dusun Cibugang Geureum Kab. Majalengka. Dari rumah saya cukup jauh, melewati tiga kecamatan. Tapi itu bukan suatu masalah bagi saya, bertemu Sutrisna adalah yang utama.

Rencana, kami akan berangkat ke ladang milik ketua tercinta. Ini sudah direncanakan tadi malam loh. Ketua tercinta ada bilang pada diskusi malam tadi, katanya; Gerakan ini tidak hanya sebatas diskusi. Namun untuk memberikan kesadaran kepada setiap individunya bukan hanya diskusi semata. Dan hal yang paling penting adalah aksi nyata. Agar bagaimana gerakan ini ke depan menjadi membudaya di tengah masyarakat. Maka jika tanpa sebuah aksi nyata yang dilakukan secara konsisten. Itu akan sangat mustahil dapat membumi. Oleh karena itu, esok hari kita leleuitan." Katanya dan saya masih mengingat perkataannya itu.

Akhirnya, kami pun sebagaimana yang telah direncanakan. Masing-masing dari kami menenteng beberapa barang bawaan.

Saya misalnya membawa bahan makanan; ada tahu, ada tempe, ikan asin peda, kerupuk, cabai, bawang merah dan bawang putih (bahan-bahan untuk bikin sambal) tak lupa membawa garam dan bumbu penyebaran rasa micin itu, dan minyak goreng. Saya memang perempuan dan ditugaskan memasak di ladang sana.

Sedangkan Herman, ia membawa beras 2 Kg, cobek dan ulekan untuk bikin sambal, kastrol untuk menanak nasi, dan wajan untuk menggoreng.

Lalu Tono, ia membawa peralatan bertani cangkul dan parang.

Ketua tercinta Sutrisna sang pemilik lahan itu, ia membawa benih jagung sebanyak 20 Kg.

Kami pergi meninggalkan sekertariat, berjalan beriringan; Ketua di depan, kemudian saya, disusul Herman dibelakang, dan Tono paling belakang. Ketua ada mengatakan sebelum berangkat, katanya; kami akan diajak ke ladang sawah gintung namanya.

Apa pun itu nama tempatnya, saya akan tetap menemaninya walaupun harus menyebrang lautan dan terperosok di palung mariana. Saya hanya ingin bersamanya, bersama ketua tercinta Sutrisna gumam saya dengan mata berbinar memandangnya.

Langkah demi langkah kami titihkan, biarpun langkah kami tidak sekompak Paskibraka saat 17 Agustus di istana. Namun kami seperti mampu mencuri perhatian masyarakat sekitar yang hendak pergi ke ladang. Saya merasa demikian saat berpapasan. Itu terlihat dari warga seperti mereka sedikit segan. Tapi mungkin mereka heran kepada kami. Dan terlihat mereka hanya memicingkan pandangannya ke arah kami. Sedangkan, bagi salah satu penduduk yang penasaran. Ia berusaha menanyakan,

"Mau ke mana kompak banget?" Tanya seorang pria berbaju kemeja yang penuh dengan noda tanah liat dan itu coklat.

"Ke ladang leleuitan."

"Leleuitan, apa itu?"

"Leleuitan menanam secara bergiliran tanpa upah." Jelas Ketua Sutrisna singkat.

Pria yang menanyakan itu, mendengar jawaban dari ketua, ia malah tertawa. "Leleuitan tanpa upah!" Ucapnya mengejek sambil berlalu.

Saya kira ia akan tahu apa itu leleuitan rupanya benar kata ketua, tradisi ini telah lama terkubur. Dan belum beberapa langkah kedepan, kami pun bertemu kembali dengan seorang warga yang hendak ke ladang. Anehnya, ia mengucapkan hal serupa, "Leleuitan tanpa upah?!" Ucapnya terdengar mencemooh. Ia bertanya lalu mencemooh, saya dibuat kesal.

Saya pun langsung menoleh ke arah Ketua Sutrisna. Ingin mengetahui reaksi dirinya atas perkataan itu. Tapi apa yang saya dapatkan, ia nampak tidak bergeming dari cemoohan itu. Raut wajahnya teguh dan tegar, terlihat dari sorot matanya teduh dan penuh dengan ketulusan. Jelas itu menguatkan saya, mungkin Herman dan Tono juga.

"Kenapa kalian diam? Sawah Gintung masih cukup jauh. Jangan didengerin, karena mereka tidak tahu apa-apa," Kata ketua dan kami pun lanjut berjalan.

Setengah perjalanan, dari kejauhan terlihat sepasang suami istri. Keduanya berjalan bersisian. Langkah kami lama kelamaan semakin dekat dengan keduanya. Keduanya berjalan cukup pelan dan akhirnya berhasil menyalip keduanya.

"Mau pada ke mana?" Tanya ibu itu. Saya tidak tahu siapa namanya. Tapi ketua Sutrisna mungkin ia tahu pada ibu itu.

"Leleuitan ibu," ketua Sutrisna menjawab.

"Sebentar...," suami dari ibu itu menghentikan langkah kami.

"Apa tadi? Bapak gak salah mendengarnya kan? Leleuitan kalian bilang?" Kata bapak itu heran.

"Iya pak Kartono leleuitan," jawab Herman dan Tono serempak.

"Tunggu, kalau gitu bapak dan ibu ikut." Ucapnya.

"Yang bener pak?" Herman dan Tono begitu pun saya cukup terkejut.

"Iyaa, kita ke ladang siapa dulu?" Tanya pak Kartono seolah ia memahami apa itu leleuitan.

"Ke ladang Sutrisna." Jawab Herman dan Tono serempak.

"Oh, Sutrisna anak pak Sulaiman ya?!" Jawabnya mengenal Sutrisna karena memang tinggal di dusun satu sama lain saling mengenalnya.

"Iya pak betul, ini orangnya...," kata Herman.

Pak Kartono pun mengalihkan pandangannya ke arah ketua Sutrisna. Menatapnya penuh kedamaian kemudian ia tersenyum bahagia dan katanya, "Kalau gitu mari berangkat!" Ajak pak Kartono.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan saya kini ditemani isteri dari bapak Kartono. Ia berjalan di samping kiri saya. Sedangkan pak Kartono di depan bersisian dengan ketua Sutrisna.

Saya merasa terkagum kepada pak Kartono. Ia berbeda dengan warga sebelumnya. Dan sepertinya, ia memang mengetahui tentang leleuitan itu. Bagaimana proses serta cara kerjanya, ia mungkin tahu. Ia pun tidak mencemooh atau mengejek sebagaimana warga tadi. Justru, ia malah mengurungkan niatnya pergi ke ladang miliknya itu. Lalu memilih bergabung dengan kami. Sungguh ini suatu kegembiraan bagi kami, termasuk saya sendiri.

Saya semakin tertarik dengan pak Kartono ini, sepanjang perjalanan menuju ke ladang sawah gintung. Pak Kartono ada bilang, "Ini tradisi yang telah hilang dari dusun ini. Selama ini belum ada yang mau menghidupkan kembali tradisi tersebut. Beruntung ada kalian." Ungkapnya membuat saya terenyuh mendengarnya.

Tidak sampai di situ, pak Kartono pun terdengar mengisahkan bagaimana tradisi leleuitan pernah mengisi sanubari masyarakat di dusun Cibugang Geureum. Saya mendengar jelas apa yang bapak itu ceritakan;

"Sebelum masyarakat kita mengenal yang namanya uang. Tradisi leleuitan ini adalah salah satu yang meringankan pekerjaan para petani di sini. Masyarakat secara berbarengan secara bergiliran membantu berladang, pekerjaan menjadi lebih cepat dan ringan. Hasil panennya pun melimpah. Jagung hasil panen sepenuhnya milik pemilik lahan karena memanen pun bersama secara bergiliran. Tapi sayang, semenjak ada tengkulak dan berbagai macam pupuk yang harus dibeli. Masyarakat kita tergiur dengan hal semacam itu. Akhirnya sekarang masyarakat terlilit hutang ke tengkulak bahkan ke bank itu sendiri. Sekarang masyarakat tidak guyub karena lebih memilih uang. Mereka akan bekerja ke ladang seseorang jika ada uang. Dalam benak mereka yang penting uang. Padahal pondasi para leluhur di dusun ini telah mereka tancapkan dalam bentuk leleuitan ini. Tapi uang mengalahkan segalanya." Kurang lebih bapak itu menceritakannya demikian.

Ketua Sutrisna nampak mengangguk-ngangguk memahami keluh kesah bapak dan ibu ini. Begitu pun dengan saya ikut merasakan apa yang sepasang suami istri ini keluhkan.

"Dan apakah bapak ada hutang ke tengkulak itu?" Saya penasaran dan menanyakan hal tersebut.

"Tentu mba, para tengkulak itu akan membiayai secara sepenuhnya dari mulai benih, pupuk, dan obat itu. Tapi kemudian harus menjual hasil pertanian ke mereka dengan harga murah. Dan kalau tidak, ya kami kena ancam," Jelasnya sedikit memelankan suara miliknya. Mungkin pak Kartono takut ada yang mendengar selain kami.

"Kena ancam bagaimana?" Saya semakin penasaran.

"Ya, tanaman kami akan dirusaknya mba. Jika tidak mengikuti apa maunya mereka. Padahal kami sudah bilang engga mau minjem gitu. Tapi mereka maksa!" Ibu itu terdengar bersuara, biar pun volume suaranya sedikit pelan, seolah ia tengah menyimpan suatu ketakutan tersendiri.

"Akhirnya ibu dan bapak harus menjual hasilnya ke tengkulak itu?"

"Iya, karena ya pupuk, obat, dan benih jagungnya semua dari mereka. Jadi apa boleh buat, kami dapatnya hanya capeknya saja." Ibu itu meratapi nasibnya.

"Semua petani di sini seperti itu Eva. Mereka ditekan dan diintimidasi para tengkulak. Maka sulit untuk bisa makmur petani di sini." Sela Sutrisna menjawab kebingungan saya.

"Ya, termasuk kedua orang tua saya juga sama." Herman bersuara.

"Orang tua kang Herman juga?" Tanya saya terkejut menoleh ke belakang.

"Iyaa..."

"Maka dari itu leleuitan ini adalah solusi terbaik bagi masyarakat di sini. Setelah itu bagaimana menciptakan pupuk dan obat-obatan secara organik. Kemudian bagaimana para petani dapat menjual hasil bertani mereka secara mandiri." Tambah Sutrisna menggebu-gebu.

"Ini akan menjadi pekerjaan sulit. Bukannya para tengkulak itu butuh uang juga." Timpal saya polos.

"Memang iya! Mereka tidak akan kenyang, mereka itu serakah. Bayangkan saja, di pasaran harga jagung satu kilo itu lima ribu Eva. Sedangkan petani dipaksa menjual jagung satu kilo hanya dua ribu kepada tengkulak itu. Jelas lebih baik menjual jagung itu ke pasar bukan?"

"Betul sekali." Sahut pak Kartono.

Saya hanya bisa mengangguk memahami kondisi sebenarnya. Setelah mendengar ibu dan bapak tadi bercerita. Ditambah ketua Sutrisna ada menjelaskan. Hati saya cukup tersentuh, bagaimana para petani di dusun Cibugang Geureum ini. Mereka mendapatkan tekanan dan intimidasi untuk memenuhi hasrat serakah para tengkulak. Tenaga mereka dikuras, mereka dibodohi dengan sebuah iming-iming pupuk, obat-obatan, dan benih jagung tanpa harus membeli. Itu karena para tengkulak menghendaki dengan cara halus, memaksa kepada para petani, untuk kemudian menjual hasil panennya kepada mereka.

"Namun apakah Sutrisna akan kuat menghadapi berbagai tekanan di kemudian hari?" Gumam saya sedikit meragukan.

"Bagaimana jika nanti ia kenapa-napa?" Saya seakan mulai mengkhawatirkan kondisinya.

"Sutrisna...."


***

Sore hari, selepas leleuitan itu. Saya duduk di beranda rumah dan sedikit melamun. Saya membayangkan betapa perkasanya ketua Sutrisna menggunakan cangkul miliknya di ladang tadi. Tubuhnya seperti dilumuri minyak mengkilap terkena sinar matahari, ia sangat berkeringat. Dan nampak jelas! Ia sebagai seorang lelaki sesungguhnya di mata saya. Semakin cangkul itu ia ayunkan, maka semakin berdebar perasaan ini. Apakah ini sebuah petis yang aneh dalam diri saya? Ia pekerja keras, itu yang saya sukai.

Ternyata, setelah menyaksikan apa itu leleuitan. Saya menjadi lebih memahami, rupanya demikian prosesinya. Ini sebuah konsep bertani yang menarik, menurut saya. Leleuitan itu, tidak menguras tenaga, begitu pun kantong para petani juga. Itu karena lahan dikerjakan secara bersama-sama, biarpun tanpa upah. Kerja keras dibayar dengan makan bersama. Saya bersama istrinya pak Kartono memasak siang tadi. Kami makan bersama selepas para lelaki selesai dengan pekerjaannya. Dan katanya, besok giliran ke ladangnya pak Kartono. Saya semakin bersemangat untuk terus terlibat.

Saya cukup optimis bahwa leleuitan akan menjadi sebuah aktivitas yang memberikan kekuatan tersendiri bagi masyarakat di dusun Cibugang Geureum. Terlepas dikemudian hari akan berbenturan dengan para tengkulak serakah itu. Namun hidup! Nyatanya memang erat kaitannya dengan keberpihakan, saya menyadari itu.

Meskipun begitu, saya pun merasa siap untuk menghadapinya. Bahkan, hingga situasi terburuk sekali pun. Saya sudah mempertimbangkan akan hal itu. Namun lamunan saya buyar oleh suara yang tidak asing;

"Nak, kamu seharian ini habis dari mana?" Ayah tiba-tiba mengejutkan saya dari belakang.

"Eh, ayah! Lia habis dari dusun Cibugang Geureum ayah." Sahut saya menoleh kebelakang ke arah ayah.

"Mari masuk nak, ada yang ingin ayah bicarakan." Ucapnya nampak serius.

"Ada apa ayah?" Saya pun segera bergegas mengikuti ayah ke dalam rumah.

"Dari dusun Cibugang Geureum kamu dari siapa?" Tanya ayah di atas sofa.

"Dari teman yah." Jawab saya sedikit gugup.

"Siapa namanya?" Tanya ayah.

Saya terdiam, enggan rasanya mengungkapkan nama itu. Saya takut pada ayah.

"Sutrisna kan?" Kata ayah membuat saya kaget. Dari mana ayah tahu, gumam saya.

"Ayah tahu apa yang kamu kerjakan selama ini. Dan jika kamu suka sama Sutrisna. Jujur ayah jauh lebih setuju dari pada dengan Rendi."

Saya semakin bingung dengan perkataan ayah, "Ayah?" Tegur saya.

Namun ayah kembali menyahut, "Tadi siang, Rendi ada datang ke rumah. Nanyain kamu bahkan katanya ia sempat nyusul ke dusun Cibugang Geureum, kamu ketemu dengannya?" Tanya ayah. Dan saya hanya menggelengkan kepala, saya masih bingung.

"Rendi cerita," lanjut ayah.

"Katanya kamu mau nikah dengan Sutrisna 15 Februari, itu kan lima hari lagi. Benarkah itu? Kalau kamu berbohong tentang itu. Ayah suka bahwa kamu sekarang telah berubah. Mengetahui mana laki-laki yang cocok untuk mendampingi mu."

"Ayah, Rendi ada ke sini?"

"Dia ada ke sini, bercerita tentang email yang kamu kirim. Dan ayah pun membaca itu."

"Dan jika memang itu adalah pilihan kamu, ayah setuju. Ayah punya firasat baik bahwa Sutriana adalah lelaki-laki bertanggung jawab," pungkas ayah.

Saya hanya terdiam ketika ayah mengatakan hal itu. Saya menunduk malu, "Bagaimana jika ayah tahu yang sebenarnya. Memang, terdengar indah perkataan ayah, cuman! jika ayah tahu bahwa anak mu dengan Sutrisna itu hubungannya belum sampai seserius yang ayah maksud." Gumam saya dalam hati was-was.

"Jadi kapan ayah dikenakan atau keluarga Sutrisna ada ke sini?" Tanya ayah. Dan itu membuat terbelangak bingung, "Apa?" Ucap saya kaget.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)