Masukan nama pengguna
"Bagaimana kerjaan bisa runing kalau kakak gak bisa gunain laptop," perempuan itu naik pitam, nada suaranya meninggi, begitu pun dengan raut wajahnya merah padam, ia marah di ruang rapat.
"Tapi...."
"Tidak ada kata TAPI, semua pekerjaan harus di laptop," tegas perempuan itu.
Ardi pun hanya bisa terdiam mendengar itu, tidak ada upaya membantahnya, Ardi segan. Walaupun sebenarnya, ia menyadari bahwa pekerjaan kantor dapat dikerjakan di posel pintar miliknya, tanpa harus bulak balik buka laptop.
Namun perempuan itu, ucapannya seperti titah seorang raja kepada panglima prajurit, tidak bisa diganggu-gugat. Padahal dalam benak Ardi telah terbayang apa yang harus ia kerjakan. Apalagi di tengah briefing job desk pekerjaan beberapa hari kebelakang. Perempuan itu ada bilang, "Tugas kamu hanya memasukkan nama ke spreadsheet sebagai database," jelas perempuan itu dan Ardi masih mengingatnya.
Maka Ardi pun memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan kantor tersebut di smartphone tanpa perempuan itu ketahui, "Pekerjaan seperti ini, di handphone juga bisa dikerjakan," gumam Ardi dalam hati saat itu.
Sialnya Ardi ! hanphone satu-satunya yang menjadi modal ia bekerja rait dicopet pencuri. Seingat Ardi terakhir ia ada megang hanphone ketika ia tengah berada di warung makan Mpo Lela. Warung makan yang bersisian dengan kantor tempat Ardi bekerja itu. Jaraknya sekitar 6 atau 8 Meter saja dan hanya lima langkah jalan kaki ukuran usia orang dewasa.
"Mpo makan siang," kata Ardi karena memang waktu itu jam makan siang.
Namun secara tiba-tiba Ardi diapit dua perempuan yang berpura-pura memilih lauk pauk dalam sebuah etalase disamping kiri dan kanannya.
"Makan sama apa?"
"Ikan gabus," kata Ardi.
"Ikan gabus ibu," kedua perempuan itu berbarengan menyahut.
Sepontan Ardi merasa bingung dengan tingkah kedua perempuan itu, "Kok bisa samaan gini," gumam Ardi.
Terkejutnya Ardi, waktu pesanan makan siangnya diserobot seorang perempuan disebelah kiri dan perempuan sebelah kanan pun ikut-ikutan. Ardi yang berada di tengah merasa heran dan aneh, "Bukannya aku yang lebih dulu pesan," perasaan Ardi mengatakan demikian.
"Ini punya ku," kata seorang perempuan berambut pendek.
"Kamu setelahku," sahut seorang perempuan bertato pada lengan kirinya, tidak mau kalah.
"Stop," tegur Ardi.
"Bukannya aku yang pertama pesan?"
"Aku dulu..."
"Aku..."
Dan sejak kejadian rebutan makan siang itu, handphone Ardi hilang. Ardi menduganya bahwa kedua perempuan itu adalah pelakunya. Keduanya bersekongkol untuk mengambil hanphone miliknya. Yang saat itu, Ardi menyadari hanphonenya memang terselip di saku belakang.
Sayangnya, apa yang Ardi keluhkan tentang kurang terbiasanya bekerja di laptop karena hanphone miliknya hilang satu minggu lalu, tidak mendapatkan respon mengenakkan.
"Handphone mu yang hilang itu, bukan tanggungjawab saya, biasa atau tidak biasa kamu kerja di laptop, pekerjaan harus tetap selesai," perempuan itu mengeras.
Ardi hanya menunduk diam dan tidak memiliki keberanian untuk membantah perempuan itu. Meskipun sebenarnya dalam batinya memberontak, "Ngerjain sambil santai gak masalah kali."
Dan dengan sangat terpaksa Ardi mengatakan, "Baik." Padahal, Ardi berharap pihak kantor memberikan fasilitas handphone kapasitas tinggi RAM 16 GB bukan laptop.
Sebenarnya ini adalah hari ke-18 Ardi bekerja di salah satu NGO (Non Government) yang bekerja menyelenggarakan sebuah event sosial. Dan selama Ardi menjalankan tugas kantor sebagai seorang Admin. Ia belum menemukan titik terang berapa gajih yang ia akan peroleh sebetulnya.
Sedangkan pihak kantor menuntut Ardi bekerja secara profesional. Ini yang membuat Ardi sedikit merasa geram, ia akui keberadaannya di kantor lantai dua puluh, Jakarta itu. Sebelumnya memang telah dijanjikan akan dikontrak selama satu tahun, dengan gaji di atas UMR Jakarta yang hanya berkisar 4 Jt-an.
Itu pun karena perempuan itu ada bilang, "Kontrak satu tahun, gaji diatas UMR Jakarta," katanya kepada Ardi dalam saluran whatsapp satu bulan lalu.
Ardi tergiur dan segera berangkat ke Jakarta. Hanya saja kali ini, konsentrasi Ardi buyar di ruang rapat itu. Pikirannya kusut, Ardi terlihat bingung dan tidak konsentrasi. Penyebab utamanya karena perbekalan Ardi yang ia bawa dari desa berangsur menipis. Ditambah uang dalam dompetnya pun tersisa tinggal empat ribu rupiah.
"Bagaimana makan siang?" Ardi risau.
"Ardiii...," tegur perempuan itu.
"I-iyaa kak," Ardi tergagap dan terbangun dari lamunan.
"Saya perhatiin kamu, terlihat bingung, dan kurang konsentrasi, kenapa?"
"Engga ka," Ardi enggan berterus terang.
Perempuan itu mengarahkan pandangannya kepada Ardi, sorot matanya yang tajam membuat Ardi ciut. Entah apa yang ada dalam benak perempuan itu tetangnya, Ardi tidak ingin mengetahuinya.
Namun Ardi sedikit memahami bahwa orang yang lahir di akhir bulan Agustus cenderung keras kepala dan menginginkan sesuatu hal yang sempurna. Ardi menemukan itu dalam sebuah literatur majalah yang mungkin belum tentu kebenarannya. Hanya saja, melihat sikap perempuan itu Ardi semakin yakin dengan apa yang tertulis pada literatur majalah tersebut.
Ardi mengetahui tanggal lahir perempuan itu 28 Agustus karena lima tahun lalu pernah bertemu dalam sebuah proyek bersamanya bertajuk 'Gerakan Muda Untuk Indonesia Beragam'
Secara kebetulan Ardi adalah seorang aktivis pluralisme. Ardi begitu konsen terhadap isu-isu toleransi, kesetaraan, dan HAM. Bagaimana membentuk paradigma di tengah masyarakat Indonesia yang beragam untuk dapat hidup berdampingan secara harmonis, tanpa ada kebencian yang mengikat pada setiap individunya. Itu menjadi perhatian serius bagi Ardi.
Pada waktu itu, proyek tersebut melibatkan perwakilan seluruh pemuda/i dari seluruh Indonesia, bertempat di puncak Bogor selama satu minggu. Dan di malam perjumpaan, setiap peserta duduk melingkar bersebelahan termasuk Ardi. Kemudian satu per satu saling memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya Annoor dari Padang," kata perempuan itu. Dan sejak malam itu, Ardi mengetahui bahwa sosok perempuan mungil di sampingnya adalah Annoor.
Pada mulanya, Ardi hanya mengetahui namanya kemudian setelah itu nomor kontaknya, universitas, makanan favorit, hobby, dan mengetahui akun sosial media satu sama lain. Dari situlah Ardi mengetahui tanggal lahir beserta tahunnya.
Nyatanya komunikasi Ardi dan Annoor terjalin cukup intens selepas proyek di Puncak Bogor itu berakhir karena Ardi merasa punya kesamaan visi misi dalam pergerakan sosial yakni menciptakan masyarakat yang ideal di dunia ini.
Itulah alasannya Ardi datang kembali menemui Annoor dengan proyek yang berbeda. Selain terdapat kesamaan visi misi, juga terselip perasaan ingin memiliki. Itu nyata dirasakan Ardi.
Namun Ardi menilai, Annoor setelah lima tahun tidak komunikasi dengannya. Ia sekarang terkesan bersikap sangat elitis mungkin karena menjaga reputasi di kantornya.
Tapi Ardi memiliki pandangan lain, Annoor terkesan menjaga jarak dengannya karena ia tengah menjaga perasaan seseorang. Tiada lain pria itu adalah sahabat Ardi sendiri.
Ardi mengetahui hal itu ketika Annoor dengannya, pergi bersama untuk merayakan pertemuan setelah lima tahun tidak berjumpa. Lebih tepatnya satu hari setelah kedatangan Ardi ke Jakarta.
"Sudah sampai di mana?" Annoor nelpon.
"Di Tanah Abang," jawab Ardi.
"Kalau gitu tunggu di sana," pintanya.
Annoor pun datang membawa sebuah mobil, menjemput Ardi di Tanah Abang. Ardi menunggu di samping pedagang kaki lima yang berjualan siomay.
Tak berapa lama Annoor pun datang ke titik lokasi melalui bantuan goole map, kemudian meminta Ardi untuk segera masuk mobil. Di dalam mobil itulah, Ardi melihat ponsel Annoor yang diletakkan pada car holder mobile phone pada layar handphonenya muncul pesan whatsapp,
"Baru pulang ini." Dan pesan tersebut dari seorang bernama Mylove.
Dengan sangat cepat dan trampil, Annoor membalasnya, "Kaka cape?" itu yang membuat Ardi nyesek dan cemburu.
Ardi tahu betul siapa seseorang yang tengah berkomunikasi dengan Annoor, terlihat dari foto profilnya cukup menggambarkan bahwa ia adalah Saprudin sahabat Ardi.
Dari situ Ardi mulai menghela nafas, mempertanyakan tujuan ke Jakarta untuk bekerja bersamanya dan kemudian menikah dengannya. Namun ekspektasi Ardi hancur di hari pertama ia datang ke Jakarta.
Setelah masuk kerja, Ardi mulai mengetahui bahwa sikap elitis Annoor didorong oleh posisi cukup strategis dirinya sebagai sekretaris. Sedangkan Ardi hanya sebagai staff harian di bawah Annoor.
Wajar jika Annoor kerap menegur Ardi termasuk di ruang rapat bersama para staff siang itu. Hanya saja, Ardi menyesali tidak ada kejelasan tentang tanda tangan kontrak serta nominal gaji yang akan didapatnya.
Di tengah rapat sedang berlangsung, Ardi izin pamit kebelakang. Annoor dan para staff menduga, Ardi mungkin pergi ke toilet sebentar. Setelah rapat selesai, Annoor melihat Ardi belum juga kembali.
"Di mana Ardi?"
"Mungkin di toilet."
Annoor yang sedari tadi merasakan ada keganjilan atas sikap Ardi yang tidak biasanya. Mencoba untuk menghubungi Ardi melalui telpon, "Ardi kamu di mana?"
"Maaf, aku kerja di tempat lain."