Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,468
Murat
Romantis

Si bule itu sudah dua tahun katanya tinggal di Indonesia. Pantas saja ia betah, istrinya mojang Bandung. Istrinya cantik tapi kok mau sama si bule. Padahal si bule itu hanya tukang kebab kaki lima. Jauh-jauh ke negeri orang, pulang hanya dapat suami tukang kebab. Di sini juga banyak lajang jualan kaki lima. Tapi mungkin ukuran yang membuat perempuan itu memilih si bule Turki. Apalagi kalau bukan daging mentah yang nikmat.


"My wife, itu orang ada looking me terus kenapa?"

"Kamu kan orang asing, wajar."

Aku Sri, dua tahun lalu aku memilih untuk mengadu nasib menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita di Turki. Niat awal, hanya untuk mengumpulkan uang dari hasil bekerja di sana. Kemudian aku kembali ke Indonesia dengan uang hasil jerih payahku.

Tapi terkadang rencana tidak sesuai harapan. Aku pulang tidak hanya membawa uang dari Turki. Namun juga pria di sampingku Murat, yang sekarang menjadi suamiku.

Nyatanya setelah semua itu terjadi, ternyata dalam hidup hanya ada dua pilihan; meratapi penyesalan atau berusaha menyadari kesalahan untuk kemudian berubah menjadi jauh lebih baik. Bukan aku tidak bersyukur mendapat suami orang asing. Pernikahan ku dengan Murat seperti seumur hidup aku berzinah dengannya.

Itu semua memang salahku, aku kurang punya banyak informasi tentang negara yang ingin aku tinggali kala itu. Aku menduga Turki adalah negara yang menerapkan nilai-nilai Islam dalam bernegara. Tapi dugaanku salah, Turki adalah negara sekuler.

Bukan berarti di sana tidak ada seorang penganut muslim yang taat. Mungkin saja ada, hanya saja lagi-lagi aku yang kurang memilih dan memilih sircale pergaulan dan justru terjerumus ke dalam lingkar pergaulan toxic.

Pertemuan pertamaku dengan Murat di sebuah taman di Istambul. Ketika itu aku sedang menikmati udara di sana bersama seorang teman perempuan Yuli Sulilawati dari Madiun, Jawa Timur.

Tiba-tiba Murat datang minta kenalan, aku berkenalan dengannya. Karena kebetulan aku masih singel belum memiliki tambatan hati. Aku pikir memang sudah seharusnya aku membuka hati agar seseorang mau mengisinya. Murat malam itu ngobrol denganku bersama Yuli juga.

Aku langsung terpesona pada pandangan pertama. Beberapa kali kedua mata kami bertemu, bola matanya coklat dan indah. Vibra suaranya sangat maskulin, aku suka. Kemudian Murat mengajak kami berdua ke club malam. Pulang dari sana, Murat memintaku menemaninya di salah satu apartemen miliknya.

Aku mengiyakan tanpa sedikit pun keberatan, karena aku terpesona dan sedikit mabuk. Sedangkan Yuli, ia pulang ke penginapannya seorang diri. Di situlah di apartemen itu, aku melakukannya bersama Murat untuk pertama kali. Dan memamg itu adalah pengalaman pertamaku. Rasanya aku seperti melayang dan sesekali terasa nyeri tapi itu nikmat, aku mendesah hebat.

"They masih looking us, mywife."

"Sudah biarin, kan kita memang lagi jualan."

Setelah berada di Indonesia, Aku dan Murat suamiku setiap malam berjualan kebab khas Turki di alun-alun Bandung. Mungkin tidak pernah terpikirkan oleh Murat sebelumnya akan berjualan kebab. Ia terpaksa resign dari pekerjaannya sebagai staff kantor di salah satu perusahaan furniture.

Alasannya, karena aku mengancam dirinya akan bunuh diri. Jika tidak ikut bersama ku ke Bandung. Aku merasa upayaku akan sia-sia, Tapi Murat pada akhirnya luluh dan mau ke Indonesia bersama ku. Itu semua karena aku hamil. Selepas kejadian malam itu, kami senantiasa melakukannya setiap kali ketemu.

Hanya saja setelah di Indonesia kami berdua kerap mengalami cemoohan. Terutama kepada anakku, dikatakannya anakku sebagai anak haram karena hasil hubungan terlarang. Murat sempat mengeluh setelah mengetahui maksud cemoohan tersebut dan mengatakan, "Mengapa tidak kembali saja ke Turki. Di sana masyarakatnya tidak terlalu peduli dengan status seseorang."

Namun aku memilih untuk bertahan, "Murat sayang di sini masyarakatnya cukup religius. Jadi wajar saja mereka kerap menggunjing demikian." Aku mencoba untuk menenangkan.

Aku menyadari alasan masyarakat mencemooh kami karena kami tidak memiliki buku nikah. Salahnya aku, pernah ditanya salah seorang warga, ibu Anita namanya. Ia menanyakan, "Katanya kamu nikah di Turki ya?" Ia penasaran. Aku jawab saja, "Iya."

Aku memang nikah di sana, pemerintah di Turki memiliki kebijakan tersendiri tentang hal ini. Apalagi aku seorang warga asing, aku kira akan sulit dan ribet. Ternyata tidak begitu menyulitkan.

Persyaratnya hanya menetap minimal 42 hari di Turki sejak pengajuan dokumen. Dan berkas yang aku bawa pun waktu itu hanya akte kelahiran dan sebuah sertifikat yang menyatakan aku tidak memiliki halangan untuk menikah.

"Nikah di sana pakai penghulu?" tanya bu Anita lagi. Aku sedikit berdiam diri, mengingat kembali memori indah sewaktu pernikahan bersama Murat suamiku. Kataku, "Pegawai resmi pemerintah yang menikahkan."

Aku menjawab singkat saja, takut bu Anita tidak mengerti dan salah paham. Di sana dalam urusan pernikahan pemerintah memudahkan karena adanya kebijakan upacara sipil istilahnya. Bagi pemerintah, upacara keagamaan dalam pernikahan itu hanya sebagai opsional saja.

"Tapi ada buku nikahnya?" bu Anita kembali bertanya. Aku cuma menggelengkan kepala waktu itu.

Tidak butuh waktu lama, gosip tentang pernikahan kami pun tersiar di kalangan ibu-ibu di tempat tinggalku. Telingaku mendengar ibu-ibu itu menggunjing aku dan suamiku Murat. Kesalnya aku, ibu-ibu itu menggunjingku dengan mengatakan, "Pasangan penzinah yang tidak punya buku nikah."

Padahal aku dan Murat tercatat sebagai suami istri sah di pemerintah kota Istambul. Di sana memang tidak berlaku buku nikah. Aku geram kepada Murat dan langsung mengajaknya untuk bikin buku nikah.

Kami pun ke Kantor Urusan Agama. Sialnya, Jhon tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk. Sedangkan agar bisa keluar buku nikah penting memiliki Kartu Tanda Penduduk, Fotocopy Ijazah, Kartu Keluarga, dsb.

Itulah mengapa aku dengan Murat seperti berzinah seumur hidup karena tidak memiliki buku nikah. Kami di Turki sana, kami adalah sepasang suami istri meskipun tidak ada buku nikah. Aku hanya bisa menghela nafas.

Dan beruntungnya, anakku Eren Murat masih berusia satu tahun. Ia tidak terlalu mengerti bahkan mungkin memang tidak mengerti sama sekali. Apa yang disematkan masyarakat kepadanya sebagai seorang anak haram. Namun seiring berjalannya waktu aku cukup khawatir dengan mental anakku kedepannya.

Nyatanya bukan hanya mendapatkan tekanan dari masyarakat. Keluarga ku pun tidak menyukai Murat. Itu karena Murat tidak pernah pergi ke masjid. Keluarga ku mengira bahwa Murat adalah seorang muslim. Aku pun awalnya seperti itu. Hanya saja setelah Murat bercerita, aku jadi mengerti siapa Murat.

Murat pernah bilang waktu itu katanya, "Aku tidak memilih agama mana pun, bagiku semua agama bagus. Hanya saja aku memilih untuk tidak tersematkan identitas agama dalam diriku. Aku tidak membenci agama, tidak sama sekali." ungkap Murat padaku.

Keluarga ku semakin marah kepada Murat karena Murat tidak mau menjadi seorang mualaf. Ayahku marah dan membentaknya bahkan sampai mengusirnya, "Jika kamu tidak mau di-Islam-kan, untuk apa kamu ada di rumah ini. Pulang sana ke negara mu Turki." Ucap Ayah. Sedangka kala itu aku hanya terdiam karena dihadapkan kepada situasi sulit, bagiku; ia adalah ayahku dan Murat adalah suamiku.

Keesokan harinya, pasca pertikaian ayah dan Murat. Warga kampung ada menggeruduk rumah kedua orang tua ku. Dan secara kebetulan kami berdua masih tinggal bersama kedua orang tua. "Murat keluar kamu dari kampung kami," teriak warga dari luar.

Aku terkejut, mengapa ini bisa terjadi. Murat selama ini, ia berprilaku baik. Tidak meresahkan masyarakat. Apalagi sampai membuat onar, Murat tidak melakukan itu.

Ayahku waktu itu keluar, "Ada apa ini?" ayah bertanya. "Murat suaminya Sri, mabuk di warung Ratna." Ungkap warga. Aku terkejut dan langsung menemui Murat di kamar. "Kamu mabuk di warung Murat?" aku bertanya serius. "I tidak mabuk, cuma bawa botol minum dan meneguknya di sana." Jelas Murat.

Aku pasrah waktu itu dan memeluk Murat. Seakan aku sebentar lagi akan kehilangan Murat. Dugaanku benar, ayah beserta warga kampung marah betul. Kemudian meminta Murat angkat kaki, bukan hanya dari rumah saja. Tapi warga turut mengusir Murat dari kampung.

Aku memohon kepada ayah untuk memaafkan Murat. Aku bilang, "Ayah Murat suamiku tidak mabuk, ia hanya meminum air berwarna." Kataku memohon. "Iya, itu alkohol Sri." Bentak ayah. "No alkohol." Suamiku terdengar membela diri. Tapi ayah menyuruhnya untuk diam, "Diam kamu Murat."

Ayah rupanya tidak membukakan pintu maaf bagi suamiku. Tidak juga mendengarkan klarifikasi Murat. Ayah kekeh dengan pendiriannya agar Murat angkat kaki dari rumah ini, "Kamu merusak nama baik keluarga kami, pergi kamu dari rumah ini." Ayah benar-benar mengusir Murat.

Aku membantah kala itu, "Jika Murat pergi dari rumah ini aku pun akan pergi." Aku mengancam ayah. Tapi ayah bukan seorang yang mudah digertak, ayah tetap dengan pendiriannya.

Akhirnya, kami bertiga; aku, Murat, dan Eren Murat anakku angkat kaki dari rumah. Ibu menangis hebat melihat aku pergi kala itu, "Sri jangan dengarkan apa kata ayahmu." Ibu merintih. Aku tak kuasa meneteskan air mata. Itu karena ia adalah ibu yang melahirkanku. Aku merasakan bagaimana sakitnya melahirkan namun aku memang harus memilih jalan hidupku.

Aku mengatakan kepada ibu, "Maafkan anak perempuanmu ini ibu, yang aku cari adalah kebahagian dan aku bahagia bersama Murat." Aku pun pergi dan meninggalkan rumah dengan sebuah mobil yang aku beli dari hasil kerja di Turki.

Sebuah mobil yang kami restoran menjadi food truck agar bisa kami gunakan untuk berjualan. Sekaligus tempat kami bertiga tidur di dalamnya. Dan tidak terasa kami sudah satu tahun tinggal di mobil dan tidak pernah pulang ke rumah, aku nyaman bersama Murat.

"Mywife...," suamiku Murat memanggilku. Mengisyaratkan pandangannya kepada kedua orang yang tidak ia kenal.

Aku menolehnya, dan mengamati dengan seksama dua orang yang tengah memperhatikan kami berjualan. Dari kejauhan kedua mataku dengan jelas melihatnya. Kedua orang itu, ternyata tetangga rumahku Abidin dan Jaelani.

Yang mana, dua orang itu paling vokal mengusir Murat dari kampung halaman waktu itu. Aku merasa mulai tidak nyaman dengan kehadirannya. Dan biarpun malam ini masih pukul 20:15 WIB. Aku meminta kepada Murat untuk bergegas dari sini, pergi menjauh tidak hanya dari pandangan kedua orang itu. Melainkan lebih dari itu menjauh dari kota Bandung.

"Sayang, kita berkemas yuk?"

"Why?"

"Bandung mulai tidak nyaman," ungkapku.

"Where we go?"

"Majalengka."

....








Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)