Masukan nama pengguna
"Bagaimana kerjan bisa runing kalau kakak gak bisa gunain laptop," perempuan itu naik pitam, nada suaranya meninggi, begitu pun dengan raut wajahnya merah padam, ia marah di ruang rapat.
"Tapi...."
"Tidak ada kata TAPI. semua pekerjaan harus di laptop," tegas perempuan itu.
"Kenapa saya harus kembali ke tempat ini lagi," gumamku dalam hati kesal.
Dua tahun lalu, sebelum penyesalan datang kembali menimpa diriku. Aku sempat berada di tempat ini, di gedung lantai tiga di Jakarta Pusat. Namun waktu itu belum ada perempuan itu. Ia masih kuliah di Surakarta, Solo.
Keberadaanku di gedung ini karena kemahiranku dalam menyajikan karya jurnalistik. Itu satu alasan Yunandar ketua kordinator publikasi nasional salah satu NGO (Non Government) di Jakarta Pusat, ada menghubungiku. Aku mengenal Yunandar karena pernah ikut dalam pelatihan jurnalistik bersamanya secara daring. Itu awalnya.
Hingga suatu waktu, aku diiming-imingi menjadi karyawan tetap sebagai jurnalis humas di salah satu NGO di Jakarta Pusat itu bersamanya. Aku secara stuktral berada di bawahnya. Ia adalah ketua dan aku hanyalah pelayan ketua.
Aku dijanjikan olehnya gaji UMR (Upah Minimum Regional) Jakarta berkisar 5 Jutaan. Itu yang membuat aku tertarik, karena memang tujuanku mendapat penghidupan dari hasil menulis.
Terbayang dalam benakku di rumah waktu itu. Lima bulan aku kerja di sana, langsung terbersit niat untuk melamar Fatimah wanita pujaanku.
Khayalan nyatanya hanya sebatas lamunan, setelah semua jobdesk telah aku kerjakan selama tiga bulan lamanya di gedung lantai tiga ini. Mulai dari liputan lapangan, mengedit tulisan dari daerah, hingga merekap semua data kantor yang seabreg itu.
Uang lima juta yang aku harapkan itu tidak tercium baunya. Tidak juga ada obrolan tentang itu, kerja, kerja, dan kerja itu obrolan setiap rapat. Lalu bagimana dengan cincin lamaran yang telah aku bayangkan untuk Fatimah, pertemuan dua keluarga yang begitu aku idamkan itu. Seketika hal itu menjadi sebuah mimpi buruk bagiku.
Jangankan untuk memikirkan cincin buat lamaran. Untuk beli makan di warteg saja aku mikir dua kali. Perbekalanku hampir habis, karena uangku berangsur menipis. Aku dianggap seorang manusia pemakan janji, AKU MANUSIA PEMAKAN NASI.
Aku hanya dijanjikan dan terus dijanjikan, "Uang pasti turun," katanya. Aku jawab saja, "Mau sampai kapan saya dibuat menunggu?" Aku menjawab itu sedikit kesal hanya aku tahan saja. Takutnya meluap-luap seperti lahar gunung krakatau, aku mencoba menarik nafas dan sabar.
Aku berharap mendapatkan jawaban yang membuat risauku terobati. Setidaknya ucapan satu kata 'sabar' untukku. Namun ini tidak, ia tidak menjawab pesanku sama sekali. Jelas sudah dalam pikiranku langsung menyimpulkan. Ia kepala media itu benar-benar tidak memikirkan bagaimana nasib karyawannya. Sedangkan ia terus saja menuntut agar pekerjaan harus dikerjakan secara profesional. Aku marah waktu itu dan mengirimkan pesan lagi untuknya;
"Maaf sebelumnya jika saya lancang kalau tidak sanggup membayar karyawan lebih baik jangan menjanjikan. Pekerjaan sudah saya kerjakan, saya meminta upah dan bayaran atas apa yang saya kerjakan. Saya ingin ketemu dan membicarakan tentang ini."
Malangnya aku, pesan terakhir yang aku kirim di jalan sambil pulang. Hingga aku sampai di rumah, pesan itu tidak ia tanggapi, ia hanya membacanya. Dan mungkin mengabaikannya sebagaimana pesan masuk dari seorang operator, tidak penting.
Aku sungguh kecewa, dadaku sesak dan panas rasanya. Itu karena menahan rasa sakit, upaya dan kerja kerasku selama tiga bulan lamanya tidak dihargai. Aku mencoba sabar, menahannya dengan menggenggam handphone milikku dengan sangat kuat. Menahan untuk tidak mengatakan kata-kata umpatan kepadanya, berusaha menahan dengan mengeratkan gigi hingga terdengar berdecit saking kesalnya.
"Anjing!" Aku teriak tidak dapat membendung rasa kecewa bercampur kesal kepadanya. Aku seperti telah dikhianati selama ini, aku hanya dimanfaatkan untuk eksistensi dia dan NGO sialan itu.
Aku sungguh sangat kecewa dan di tengah kekecewaanku itu. Beruntungnya kesadaranku ada mengetuk untuk mengendalikan diri. Aku sadar dan menyadari bahwa kemerahanku ini berasa percuma, tidak akan berdampak baik juga, tidak akan uang itu turun memenuhi dompetku yang kempes ini, pilpahit memang terpaksa harus aku telan.
Aku hanya bisa mengatur nafas mencoba untuk menenagkan diri, menghirup dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari mulutku. Aku lakukan itu sebanyak tiga kali. Sampai kondisi diriku tenang dan stabil, barulah aku merasa nyaman dan perlahan mulai mengikhlaskan atas semua yang telah terjadi.
Meski ini terasa sulit bagiku tapi mungkin pekerjaan yang lebih baik akan ada di depan sana dan tengah menantiku. Aku senantiasa terus mengsugesti pikiranku dengan penuh optimistik. Walaupun aku sebenarnya bingung hendak melangkah ke mana lagi.
Uangku yang tersisa itu habis, ku digunakan untuk ongkos pulang. Dan aku pulang dari Jakarta hanya membawa baju kotor dan pikiran runyam memenuhi isi kepala.
Aku yang masih berusaha berdamai dengan diriku atas keadaan yang tengah menimpaku. Itu membuat aku hanya terlihat berbaring lemas di atas tempat tidurku. Hingga suara handphone milikku membuat aku terkejut.
"Kriiinnnggg..."
Fatimah pujaan hatiku rupanya menelpon. Seakan dia mengetahui situasi diriku yang sedang membutuhkan sebuah sandaran. Atau kedua telinga yang siap mendengarkan semua kekecewaan ini.
"Sayang." Katanya membuat aku merasa nyaman dan sejenak melupakan pikiran yang ruwet itu.
"Iya sayang." Ucapku sedikit lemas.
"Suaranya lemas gitu, kamu sakit?" Tanya dia perhatian.
"Engga sayang, aku..."
Belum juga aku memulai bercerita. Dia disebrang sana memotong, katanya;
"Aku pingin cerita!?" Ucapnya terdengar sendu.
"Cerita apa?" Aku pun penasaran.
"Tapi kamu jangan marah." Ucapnya membuat perasaanku mulai tidak enak mendengarnya.
"Iya, apa? Mau cerita apa?"
"Janji ya kamu gak bakal marah?"
"Iya." Kataku terpaksa mengiyakan meskipun aku sedikit deg-degan saat mendengarnya.
"Hmmm..." Dia ragu mengatakannya.
"Hmm, apa? Hmmmmuach kamu mau bilang gitu." Kataku sedikit bercanda.
"Aku dilamar."
"A-P-A DILAMAR?" Aku sungguh terkejut mendengarnya hingga terperanjat dari atas tempat tidur.
"Hmm..."
"Terus kamu menerimanya?" Tanyaku spontan.
"Iya. Itu karena kamu bulan kemarin gak datang ke rumah. Ayah nungguin dan nanyain kamu. Tapi kamu gak ada balasan apa pun. Ayah pikir kamu memang gak serius." Jawabnya.
Aku hanya diam mendengar itu. Tidak mengeluarkan satu patah kata pun, bantinku hancur. Dan andai kamu tahu situasinya Fatimah, mungkin ayahmu akan mengerti dan memahaminya.
Dengan berat hati, aku mengucapkan,
"SELAMAT YA, SEMOGA KAMU BAHAGIA DENGANNYA." Jawabku sambil mematikan telpon itu. Tanpa aku sedikit pun ingin tahu siapa lelaki yang datang ke rumahnya.
Itu adalah peristiwa dua tahun lalu dan aku masih mengingatnya. Sekarang aku berada di sini, di gedung lantai tiga untuk kedua kalinya. Keberadaanku sekarang untuk proyek pembuatan sebuah buku bersama perempuan itu.
Ini adalah rapat ketiga dengannya membahas tentang proyek buku itu. Tiga kali rapat dan ia terkesan marah-marah kepadaku. Nada suaranya meninggi setiap kali kami berdua kontak mata, tatapan matanya pun begitu menyala seperti singa hendak menerkam mangsanya. Aku sedikit heran dan rasanya itu tidak pantas untuk ia lakukan. Itu karena aku memiliki alasan tersendiri tentang itu.
Di ruang rapat itu, ia terdengar merendahkanku di depan staff kantor yang lain. Perempuan itu mengatakan;
"Ya masa untuk kerjaan seperti ini kamu tidak bisa. Anak sd yang baru belajar berhitung juga pakai laptop mereka bisa. Masa harus diajarin dulu, gimana kerjaan mau kelar." Katanya.
Aku hanya terdiam menunduk, menyadari bahwa dia, perempuan itu memiliki posisi jabatan berada di atasku. Ia layaknya seorang anak raja bebas bicara semuanya. Dan memerintah seenak jidatnya.
Perempuan itu aku mengenalnya lima tahun lalu. Aku bertemu dengannya dalam sebuah kegiatan bertajuk, 'Anak Muda Toleran' di Puncak Bogor. Aku terlibat kegiatan itu, disebabkan adanya suatu kepedulian atas suatu nilai kehidupan yang harus aku perjuangan.
Itu bermula karena suatu pengamatan pribadi atas situasi bangsa Indonesia yang multikultural. Akhirnya aku menenggelapkan diri untuk menggali lebih dalam terhadap nilai-nilai pluralisme itu sendiri.
Maka aku pun menulis sebuah essai tentang pandanganku terhadap suatu perbedaan di tengah situasi bangsa Indonesia ini. Essai ini adalah salah satu syarat untuk dapat ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
Aku pun senang dan bangga ternyata essaiku lolos dan aku siap untuk diberangkatkan ke Puncak Bogor. Di sana telah menunggu 29 peserta dari perwakilan seluruh Indonesia termasuk di dalamnya perempuan itu.
"Saya bukan gak bisa," sanggahku lembut.
"Itu alasan kamu saja, buktinya sekarang kamu terlihat bingung." Timpalnya.
Para staff kantor yang lain hanya saling memandang ketika kami berdua adu mulut. Tidak ada upaya untuk membela diriku atau mengalihkan topik obrolan lain, mereka segan pada perempuan itu.
Padahal aku masih mengingatnya di tengah briefing jobdesk pekerjaan beberapa hari kebelakang bersama perempuan itu. Ia ada mengatakan bahwa tugas kakak hanya memasukkan nama ke spreadshet sebagai database dan mengedit tulisan jika ada kata yang typo katanya.
Aku putuskan saja untuk mengerjakan pekerjaan kantor itu di handphone. Memang tidak sepengetahuan perempuan itu, aku diam-diam melakukannya karena ingin mengerjakan sambil rebahan. Dalam benakku yang penting pekerjaan bisa selesai.
"Pekerjaan seperti ini, di handphone juga bisa dikerjakan," gumamku dalam hati selelas briefing dengan perempuan itu tempo hari.
Sialnya diriku ! Ponsel pintar satu-satunya yang menjadi modal aku bekerja itu, hilang. Seingat diriku, terakhir ada megang hanphone ketika aku tengah berada di warung makan Mpo Lela.
Warung makan yang bersisian dengan kantor tempat saya bekerja itu. Jaraknya hanya lima langkah jalan kaki sekitar 10 Meteran.
"Mpo makan siang," kataku memesan makanan karena memang waktu itu istirahat jam makan siang.
Namun ketika aku tengah berdiri di depan etalase menunggu dilayani Mpo Lela. Secara tiba-tiba aku diapit dua perempuan berpakaian kaos berwarna hitam serasi. Keduanya berpura-pura memilih lauk pauk dalam sebuah etalase disamping kiri dan kananku.
"Makan sama apa?" Tanya Mpo Lela kepadaku.
"Ikan gabus," kataku.
"Ikan gabus ibu," kedua perempuan itu berbarengan menyahut mengeluarkan kata yang sama sepertiku.
Sepontan aku merasa bingung dengan tingkah kedua perempuan itu, "Kok bisa samaan gini," gumamku.
Terkejutnya aku, waktu pesanan makan siangku secara tidak solan diserobot oleh seorang perempuan yanh berada di sebelah kiri. Lalu entah kesurupan apa atau karena memang lapar banget perempuan sebelah kananku pun ikut menarik piring yang di atasnya ada nasi dan ikan gabus itu.
Aku yang berada di antara kedua perempuan itu, karena aku berada di tengah. Tentu, melihat sikap kedua perempuan itu merasa heran dan aneh, "Bukannya aku yang lebih dulu pesan makan?" Perasaanku memberontak mengatakan itu.
"Ini punya ku," kata seorang perempuan berambut pendek di sebelah kiriku menarik piring itu. Namun seorang perempuan di sebelah kananku. Ia bertato di wajahnya tidak mau kalah dan menarik piring itu lalu mengatakan;
"Kamu setelahku." Katanya.
Aku yang berada ditengah, merasa risih.
"Stop," tegurku menghentikan kegaduhan di siang bolong itu.
"Bukannya aku yang pertama pesan?" Protesku kepada kedua perempuan itu.
"Tidak aku dulu..."
"Aku..."
Dan sejak kejadian rebutan makan siang itu, handphoneku hilang. Aku menduganya, kedua perempuan itu adalah pelakunya. Keduanya bersekongkol untuk mengambil hanphone milikku yang terselip di saku belakang.
Nahasnya! Ketika aku mengeluhkan bahwa aku bingung bukan karena kerjaan di kantor yang diberikan. Aku terlihat bingung karena aku tidak biasa bekerja di laptop, selama ini pekerjaan itu aku kerjakan handphone. Tapi itu malah hilang. Aku terbiasa bekerja di handphone itu.
"Saya bingung bukan karena kerjaan. Saya hanya tidak terbiasa kerja di laptop. Dan secara kebetulan handphone yang menjadi alat untuk bekerja hilang satu minggu yang lalu. Jadi...."
"Sssttttt...Handphone kakak yang hilang itu, bukan tanggungjawab saya, biasa atau tidak biasa kakak kerja di laptop, pekerjaan harus tetap selesai. Lalu bagimana sekarang mengedit tulisan yang typo itu kalau bukan di laptop?" Perempuan itu mengeras.
Aku hanya bisa menghela nafas, tidak akan ada lagi mengerjakan tugas kantor sambil rebahan. Aku harus duduk di atas kursi dengan laptop itu. Akh, rasanya malas bagiku.
Dengan sangat terpaksa aku mengiyakan apa yang dikatakan, "Iya baik dikerjain di laptop. Siap dikerjain di laptop." Kataku dengan wajah murung.
Jika aku boleh mengatakan yang sesujurnya. Ini adalah hari ke-18, aku di gedung lantai tiga ini. Dan selama itu pula, aku belum ada tanda tangan kontrak. Tapi tugas kantor telah banyak aku kerjakan. "Apakah aku akan dibayar kali ini?" Tanyaku dalam hati harap-harap cemas.
Jika dua tahun lalu aku ke sini karena Yunandar kepala media itu ada mengontakku. Namun kali ini, aku dikontak oleh perempuan itu. Ia menjanjikan bahwa manajemen sekarang tidak seperti dua tahun lalu. Karyawan di sani pun tidak hanya dia seorang. Namun ada tujuh orang dengan posisi yang berbeda. Sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya.
Selain itu, perempuan itu pun menjanjikan akan dikontrak selama satu tahun, dengan gajih UMR Jakarta. Aku jelas tergiur, biarlah yang lalu biarlah berlalu. Maka aku pun meninggalkan pekerjaanku sebagai seorang pendagang dimsum dan memilih ke Jakarta untuk menekuni hobiku menulis yang akan dibayar itu.
Namun kali ini, konsentrasiku buyar di ruang rapat itu. Pikiranku kusut, aku terlihat bingung dan tidak konsentrasi menyimak obrolan di ruang rapat. Penyebab utamanya karena perbekalanku sama dengan kejadian dua tahun lalu. Perbekalan dari desa berangsur menipis. Ditambah uang dalam dompetku pun tersisa tinggal empat ribu rupiah.
"Bagaimana makan siang?" Aku risau.
"Kakak, bisa menyimak dulu sebentar!" Tegur perempuan itu.
"I-iyaa," Aku tergagap dan terbangun dari lamunan.
"Saya perhatiin kakak, terlihat bingung, dan kurang konsentrasi, kenapa?"
"Engga ka, lanjut saja." Aku bilang.
"Lanjut gimana kakak gak konsentrasi gini," Tegur perempuan itu lagi.
Perempuan itu mengarahkan pandangannya kepadaku, sorot matanya begitu tajam menatapku, aku dibuat ciut. Entah apa yang ada dalam benak perempuan itu tetangku, aku tidak lagi peduli.
Tapi aku mencoba memahami bahwa orang yang lahir di akhir bulan Agustus cenderung keras kepala dan menginginkan sesuatu hal yang sempurna. Ya, 28 Agustus perempuan itu lahir. Aku ingin sekali menggibah perempuan itu.
Aku mengetahui itu dalam sebuah literatur majalah yang mungkin belum tentu kebenarannya. Hanya saja, setelah melihat sikap perempuan itu, aku semakin yakin dengan apa yang tertulis pada literatur majalah tersebut. Ia keras kepala!
Ini adalah pertemuan kedua kalinya dengan perempuan itu setelah kegiatan di Puncak Bogor. Selama ini komunikasi dengannya secara virtual. Aku memang sempat dekat dengannya, selepas pertemuan di Puncak Bogor itu.
Aku masih mengingat betul waktu itu. Di malam perjumpaan, setiap peserta duduk melingkar bersebelahan. Kemudian satu per satu saling memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya Annoor dari Padang," kata perempuan itu. Dan sejak malam itu, Aku mengetahui bahwa sosok perempuan mungil di sampingku adalah Annoor.
Pada mulanya, aku hanya mengetahui namanya. Kemudian setelah itu nomor kontaknya, universitas, makanan favorit, hobby, dan mengetahui akun sosial media satu sama lain. Dari situlah aku mulai mengetahui tanggal lahir beserta tahun perempuan itu. Ia dua puluh tahun usianya, lima tahun lebih muda dariku.
Aku menyadari komunikasi dengan Annoor memang terjalin cukup intens selepas pertemuan di Puncak Bogor itu. Aku merasa memiliki kesamaan visi misi dalam pergerakan sosial dengannya. Yakni menciptakan masyarakat yang ideal di dunia ini. Dengan saling mencintai dan menghormati satu sama lain.
Itulah alasannya, aku datang kembali ke gedung lantai tiga ini. Selain karena hobbi ku menulis, ada Annoor. Aku menganggap bahwa manajemen di sani telah begitu baik. Dan aku pasti dibayar, Annoor pasti memperjuangkan hal itu.
Namun setelah aku di Jakarta. Annoor setelah lama tidak komunikasi denganku. Ia sekarang terkesan bersikap sangat elitis. Mungkin karena menjaga reputasinya di kantor ini.
Tapi aku berpandangan lebih dari itu, Annoor terkesan menjaga jarak denganku. Padahal ia mengetahui aku suka padanya, sering aku mengungkapkan isi hatiku kepadanya bukan hanya sekali mungkin ada seratus kali. Hanya saja kali ini, ia tengah menjaga perasaan seseorang. Tiada lain pria itu adalah sahabatku sendiri.
Aku mengetahui hal itu ketika Annoor datang menjemputku di Tanah Abang. Ia datang menjemputku ketika aku baru tiba di Jakarta.
"Sudah sampai di mana?" Annoor nelpon.
"Di Tanah Abang," jawabku.
"Kalau gitu tunggu di sana," pintanya.
Aku menunggu di samping pedagang kaki lima yang berjualan siomay. Tak berapa lama Annoor pun datang ke titik lokasi melalui bantuan goole map, kemudian memintaku untuk segera masuk mobil.
Di dalam mobil itulah, aku melihat ponsel Annoor yang diletakkan pada car holder mobile phone pada layar handphonenya muncul pesan whatsapp,
"Baru pulang ini." Dan pesan tersebut dari seorang bernama Mylove.
Dengan sangat cepat dan trampil, Annoor membalasnya, "Kaka cape?" itu yang membuatku nyesek dan cemburu.
Aku tahu betul siapa seseorang yang tengah berkomunikasi dengan Annoor, terlihat dari foto profilnya cukup menggambarkan bahwa ia adalah Saprudin sahabatku.
Dari situ aku hanya menghela nafas, mempertanyakan tujuan ke Jakarta untuk bekerja bersamanya dan kemudian menikah dengannya. Namun ekspektasiku justru hancur di hari pertama aku datang ke Jakarta.
Setelah masuk kerja, aku mulai mengetahui bahwa sikap elitis Annoor didorong oleh posisi cukup strategis dirinya sebagai sekretaris. Sedangkan aku hanya sebagai staff harian di bawah Annoor.
Wajar jika Annoor kerap menegurku termasuk di ruang rapat bersama para staff siang ini. Hanya saja, aku menyesali tidak ada kejelasan tentang tanda tangan kontrak serta nominal gaji yang akan didapat. Aku masuk kedalaman lubang yang sama kedua kali gumamku kesal.
Tekanan pekerjaan yang tidak sebanding dengan nominal yang diberikan. Membuat aku enggan duduk lama-lama di ruang rapat. Dan di tengah rapat sedang berlangsung itu, aku izin pamit kebelakang.
Annoor dan para staff mungkin menduga, aku hanya pergi ke toilet sebentar. Setelah rapat selesai, Annoor ada menelponku, katanya;
"Kakak Ardi, kamu di mana?" Tanya Annoor dalam saluran telpon.
"Maaf, aku kerja di tempat lain."
Aku pergi meninggalkan gedung lantai tiga dengan membawa perasaan yang sama seperti dua tahun silam. Aku menangis?! Tentu tidak, karena tidak ada satu keledai pun yang menangis saat jatuh ke lubang yang sama kedua kalinya. Aku memang BODOH.