Masukan nama pengguna
Dua jam telah berlalu sejak suami saya Eman Maulana tanpa sepengetahuan saya. Ia diam-diam menggamit dinginnya kedua tangan malaikat maut.
"Ihhh. Bukankah itu sangat menakutkan Kinara?"
"Iya ibu menakutkan sekali, berani betul memegang tangan malaikat maut."
"Mau ibu lanjutkan ceritanya?"
"Iya ibu, Kinara masih belum ngantuk."
Saya yakin suami saya memberontak kala itu. Jelas-jelas ia tidak menginginkan malaikat maut datang menjemputnya. Saya pastikan, suami saya dan malaikat terjadi adu pendapat, saya membayangkannya mungkin demikian ;
"Mari pak Eman lewat sini. Waktunya telah tiba." Kata malaikat maut ramah.
"Kamu siapa ada urusan apa kamu menemui saya?"
Suami saya terkejut waktu itu. "Sayang kamu kenapa?" tanya saya sedikit panik karena saya melihatnya, ia suami saya itu terlihat ada menunjuk-nunjuk ke arah saya tanpa satu patah kata pun. Bibirnya kaku, sorot matanya penuh ketakutan, aku hanya bengong.
Tapi anehnya, saya tidak melihat siapa pun di ruang makan hanya kami berdua pagi itu. Mungkin keberadaan malaikat maut itu menjadikan suami saya sulit untuk bicara, saking ia takutnya.
Saya menengok kebelakang memastikan ada seseorang. Saya tidak melihat siapa pun. Kedua mata saya hanya melihat sebuah kompor, lemari es, dan peralatan dapur lainnya.
Jelas seketika itu saya langsung panik, "Sayang jangan becanda deh," saya kira ia becanda tapi dari gelagat suami saya itu. Ia sedang tidak bercanda. Saya menduganya kala itu, suami saya mungkin tengah memprotes malaikat maut hingga akhirnya suami saya tidak sadarkan diri, ia meninggal.
"Saya adalah malaikat maut yang akan mengantarmu ke alam baka."
"Tidak mungkin, saya tidak mau mati. Saya tidak mau meninggalkan istri saya seorang diri."
"Tapii pak Eman..."
"TIDAK, lagian saya belum menciumi kedua pipi istri saya, membelai rambutnya, dan memeluknya dalam selimut tanpa sehelai busana, mengapa ini harus terjadi?"
"Sudah pak Eman mari lewat sini, akan sangat sia-sia bapak protes juga. Hari yang dinanti telah tiba."
"Tapi isteri saya yang cantik itu. Saya dapatkannya dengan susah payah, harus bekerja siang dan malam, saya...."
"Mari pak Eman lewat sini, manusia diciptakan ke dunia hanya untuk bersenda gurau. Ide-ide gila itu, pencapaian-pencapaian itu, dan istri yang pak eman cintai itu..."
"Diaaaammmm...."
"Mari pak Eman lewat sini, ini tidak akan sakit karena kematian sejatinya terlahir kembali."
Suami saya kemudian kejang-kejang, saya tambah panik, "Apa ada makanan menyangkut di tenggorokannya hingga ia tersedak dan kejang-kejang?" pikiran saya ke mana-mana karena saking paniknya kala itu. "Sayang kamu kenapa?" dan suami saya menghembuskan nafas terakhir dalam pangkuan saya.
Ingin saya meluapkan amarah kepada malaikat maut itu, memakinya lalu memukul dan menamparnya sepuas hati. Ia anggap saya ini siapa? saya adalah istrinya dan telah menemaninya selama bertahun-tahun. Tapi luput dari jam, hari, tanggal, bahkan tahun, saya tidak menduganya.
"Ibu bagaimana marah ke malaikat maut?" Kirana tertawa.
"Bagaimana ya, ibu juga kurang tahu tapi mungkin kita akan tau."
Tapi saya sadar, bahkan suami saya pun sama sekali tidak pernah menduga, ia dijemput paksa malaikat maut di usianya ke-45 tahun.
"Ayah dulu meninggal di usia berapa ibu?"
"Kalau gak salah 45 tahun Kinara."
"Oh, gtu. Kalau gitu lelaki itu ayah dong ibu?"
"Kenapa ibu diam saja?"
"Ibu..."
Usia memang tidak ada yang tahu. Dan saya kira masalah akan berakhir setelah suami saya dikebumikan. Nyatanya, bagi sebagian orang di luar sana kematian suami saya itu adalah suatu kesempatan baginya.
Satu jam setelah suami saya dikebumikan. Dan air mata pun belum sempat mengering, Ayah datang menemui saya, katanya; "Ada seorang lelaki yang ingin ketemu."
Saya terkejut, "Siapa lelaki yang datang di saat rumah ini dalam keadaan berduka," gumam saya dalam hati sedikit kesal.
"Siapa lelaki itu?" tanya saya sambil mengusap air mata.
"Dia ada di ruang tamu, temui dulu gih sebentar." Pinta ayah.
"Tidakkah ayah melihat anak mu ini tengah berduka?" saya membentak ayah.
"Nak sudahlah jangan larut dalam kesedihan," kata ayah.
"Apa ayah bilang? Larut dalam kesedihan, Eman suami saya baru satu jam dikebumikan. Wajar jika saya menangisi kepergiannya. Apakah ayah tidak memiliki perasaan?" bantah saya pada ayah.
"Kalau kamu tidak mau menemuinya, biar lelaki itu menemui mu di disini."
"Ayah..."
Dan benar saja, lelaki itu datang ke kamar menemui saya. Ia seseorang yang tidak aku kenal, badannya gemuk, berjanggut lebat, dan botak. Seorang lelaki yang tidak saya sukai.
"Aku ke sini untuk melamarmu, maukah kamu aku lamar?" ucap dia terus terang.
Saya tidak mengerti dengan semua orang di tempat ini. Tidakkah mereka memiliki perasaan kepada seseorang yang ditinggalkan.
"Kamu tidak melihat saya tengah bersedih? Kamu tidak melihatnya, kamu buta apa gimana?"
"Bukankah air mata itu adalah air mata kebahagiaan?"
"Kebahagiaan dari mana, suami saya telah meninggal."
"Saya tahu."
"Kalau kamu tahu mengapa kamu melamar saya di saat saya tengah bersedih, mengapa?"
"Bukankah di kampung kita ini, tidak ada air mata kesedihan. Kematian adalah suatu kejadian untuk terlahir kembali. Lalu mengapa kamu harus bersedih? Bagi masyarakat di sini air mata itu adalah air mata kebahagiaan. Sebagaimana ketika bayi lahir, air mata seorang ibu itu menetes dan air mata itu adalah air mata kebahagiaan." Jelas lelaki botak yang pandai berbicara itu.
"Apakah setiap air mata yang menetes itu adalah air mata kebahagiaan? Dari mana kamu tahu bahwa air mata ku ini adalah air mata kebahagiaan?"
Lelaki itu terdiam seakan ia seperti tengah berpikir untuk kemudian memberikan jawaban yang memuaskan kepada saya.
"Jawab !? Mengapa kamu diam saja."
"Dari mana kamu mendapatkan pertanyaan itu? Di tengah masyarakat kita tidak ada pertanyaan seperti itu. Air mata yang menetes karena ditinggalkan seseorang yang dicintai adalah air mata kebahagiaan."
"Mengapa aku harus ada di tengah masyarakat yang aneh seperti ini."
"Jika kamu menolak lamaranku, maka kamu akan kena sangsi sosial dari masyarakat."
"Lalu aku harus takut?"
"Kamu menantangnya?"
"Ya, aku melawan."
Namun di tengah kami berdua sedang berdebat. Ayah datang menemui kami, katanya; "Nak, perempuan itu tidak ada harga dirinya jika disampingnya tidak ada sosok seorang lelaki."
"Tapi ayah..."
Aku mencoba untuk mendebat, hanya saja tidak ada kekuatan untuk mengatakan apa pun, aku lemas. Dan itu menandakan bahwa saya setuju dengan lamaran lelaki botak ini. Tanpa pernah aku mengatakan 'iya'.
Keesokan harinya, keluarga berkumpul di tengah rumah, saya didandani layaknya seorang perawan. "Di mana calon istri ku?" suara tidak asing terdengar kedua telinga ini. Dan saya tahu suara itu, rasa kesal tiba-tiba menjalar menguasai jiwa ini.
Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam benak ini tentang pernikahan dengan seorang lelaki yang bukan pilihan saya harus terjadi. Bayangkan saja, menikah dengan seseorang yang tidak aku sukai bagaimana akan tercipta suatu kebahagiaan. Saya hanya bisa terdiam, dan membiarkan air mata itu mengalir dengan sendirinya, berusaha memberontak pun hanya akan sia-sia.
"Apakah ini nasib seorang perempuan, hanya jadi bahan pemuas nafsu belaka, tidakkah aku berhak memilih siapa yang berhak dan pantas ada disampingku, bukankah jalan hidupku di dunia ini aku yang menentukan karena aku sendiri yang menjalani. Tapi mungkin aku ini seorang janda."
"Kinara? Nak kamu sudah tidur rupanya."
"Andai kamu tahu cerita ini adalah cerita ibu, ini adalah diary ibu, ibu mu adalah pembunuh ayah mu, si botak biadab itu."
***
Wanita itu berjalan seorang diri seperti tidak tentu arah. Pakaiannya pun compang-camping, rambutnya kusut tidak terawat, dia berjalan tanpa alas kaki. Menyedihkannya, sepanjang jalan ia diteriaki, "Gila, gila, dan gila. Ia memang wanita gila."
"Siapa dia? Masih muda sudah gila."
"Itu Kinara."
"Kinara yang membunuh ibu kandungnya itu?"
"Ya."
Ibunya yang waktu itu membacakan cerita di samping Kinara agar ia segera tidur. Entah apa buku yang ibunya ceritakan. Yang jelas, didekat mayat ibunya ada buku diary ibunya. Mungkin cerita itu adalah diary ibunya yang dibacakan di kedua kuping anaknya Kinara.
Ibunya adalah pembunuh ayahnya, si botak biadab itu. Ibunya menjuluki ayahnya demikian dalam buku diarynya. Nahasnya, Kinara tidak benar-benar tertidur kala itu. Ia masih mendengar ibunya berbicara. Ibunya, sebelum meninggalkan Kinara di kamar seorang diri sempat mengatakan. "Andai kamu tahu nak, ibu ingin sekali membunuh mu." Perkataan itu terdengar oleh Kinara.
Kinara bangun dan langsung membunuh ibunya. Anehnya, Kinara tidak menyadari melakukan itu. Seperti ada dorongan dari roh halus yang menggerakkan tangannya.
Ketika ibunya dalam keadaan sekarat. Kinara mengucapkan; "Bu maaf, mungkin memang sudah takdir ibu mati di tangan Kinara." Sangat mengerikan anak perempuan ini.
Kinara setelah kondisi dirinya sadar sepenuhnya. Barulah dia menyesal dan hingga sekarang dia gila karena penyesalannya itu.
"Tapi Kinara cantik ya?"
"Dia memang cantik, wajahnya mirip seperti ibunya. Bentuk fisik yang menyerupai ayahnya hanya jari kelingkingnya saja, sedikit bengkok. Aku kakekya dan aku tahu betul cucu satu-satunya dan perempuan itu.
"Ya, aku tau itu. Dan maafkan anak lelaki ku."
"Siapa si Botak biadab itu?"
"Ya."
"Aku memaafkannya tapi tidak tahu cucu dan anak perempuan ku."
"Aku harap keduanya mau memaafkan."
"Semoga saja."
***
"Ibu maafkan aku ibu maafkan, maafkan, maafkan hahahaha..."
Ya, aku yang telah membunuh ibu. Aku Kinara anak perempuan yang ibu Laida Ardiyah cintai. Seorang anak perempuan dari setetes nutfah si Botak biadab itu. Aku tidak sengaja membunuh ibu, aku khilaf, aku menyesal, ibu bangun ibu, aku sekarang ada di samping ibu di tanah kuburan ibu. Ibu....
Andai ibu tahu waktu itu, si Botak biadab itu masuk ke dalam raga ku yang kosong. Menggerakkan tubuhku, kedua kaki, dan mengayunkan kedua tangan ku untuk memukul ibu dari belakang. Aku tidak menyadari perbuatan itu. Aku benar-benar tidak menyadarinya. Ibu apakah masih ada pintu maaf bagiku ibu? Apakah masih ada ?
Jika masih ada biarkan aku menemuimu untuk kesekian kalinya di alam baka sana ibu. Aku sungguh sangat menyesal, dan benar kata ibu. Si Botak biadab, ayah ku itu. Ia adalah lelaki yang biadab. Ia biarpun sudah mati tapi ingin membalaskan dendam dan aku yang menjadi perantaranya. "Nak, ini ayah maukah kamu membunuh ibu mu, ayah sakit hati." Bisiknya waktu itu ibu. Aku tidak akan pernah memaafkannya ibu, biarkan ia gentayangan dan tidak pernah menemukan jalan pulang.
Ibu aku sejak tidak ada ibu, badanku tidak terawat. Aku kadang mendapatkan pelecehan karena katanya aku cantik seperti ibu. Aku pernah mengandung anak seseorang karena aku telah diperkosa. Tapi pada akhirnya keguguran karena banyak lelaki yang ingin menikmati tubuh ini ibu. Ibu aku harus bagaimana?
"Ibu, ibu, ibu..., ibuku maafkan aku ibu."
KIRANA ITU ADALAH TAKDIR DARI JALAN HIDUPMU. MANUSIA DI DUNIA INI MEMBAWA TAKDIRNYA SENDIRI.