Cerpen
Disukai
0
Dilihat
973
Gamophobia
Slice of Life

Aku tidak pernah membenci pernikahan. Aku justru iri pada mereka yang bisa melakukannya dengan tenang dan mantap. Menikah, membangun rumah, punya anak. Hidup yang katanya sebagai orang dewasa.

Sering kali aku berpikir, dari mana mereka belajar semua itu, kapan mereka tahu kalau mereka siap, dan bagaimana cara mereka membawa cinta ke dalam akad. Sementara, aku tidak memiliki satu pun keberanian tersebut. Membuka fase baru hidupku, menuliskan lembaran cerita dengan seseorang. Bahkan setelah puluhan ulang tahun berlalu, aku tetap seperti anak kecil yang takut dimarahi guru karena lupa membawa PR.

Aku tumbuh dalam rumah yang sepi. Bukan karena tidak ada suara, melainkan karena tidak ada kehangatan. Ayahku pendiam. Ibuku menjaga segalanya tetap rapi, termasuk emosinya. Kami makan dalam dingin, tidur dalam keteraturan, dan tumbuh dalam ekspektasi. Aku tidak tahu cara berbicara tentang perasaan. Tidak tahu rasanya didengar tanpa dihakimi.

Anehnya, saat dewasa, aku malah menjadi orang yang mahir menyembunyikan segalanya. Aku terbiasa melakukan apa pun sendiri, termasuk menyembuhkan luka.

Hari-hariku bagaikan rutinitas terjadwal. Ketika teman-temanku mulai pacaran di SMA, aku hanya duduk di tribun menjadi barisan supporter. Aku punya rasa, punya ketertarikan terhadap seseorang. Hanya saja, ketakutanku lebih besar. Takut salah bicara, takut terlihat bodoh, tetapi tidak takut ditolak. Aku lebih takut pernyataan cintaku diterima. Sebab, aku tidak tahu cara menjalani hubungan setelahnya. Kadang, pikiranku sudah menjadi rumit sebelum menjalani sesuatu.

Entahlah. Belenggu terus merantai hatiku hingga kini.

Ketika satu per satu dari mereka menikah di usia 25, 28, 30, aku hanya ikut tersenyum, memberi amplop, dan pulang dengan dada kosong. Lalu, merenung.

Bagaimana mereka bisa yakin untuk sama-sama duduk di pelaminan?

***

Aku bukan takut mencintai. Aku justru takut gagal mencintai dengan benar. Di kepalaku, rumah tangga adalah ruang yang rapuh. Sekali suara meninggi, dinding bisa retak. Sekali harapan tak terpenuhi, jendela bisa tertutup rapat. Pikiranku sudah berat mencari solusi agar bisa bertahan dalam ruang tersebut, padahal kaki belum selangkah pun memasukinya.

Aku tidak pernah melihat contohnya. Tidak pernah tahu caranya bertumbuh di dalam kebersamaan yang penuh celah, tetapi tetap saling memilih.

Overthinkingku bukan sekadar kebiasaan. Ia seperti makhluk yang tinggal bersamaku, berbisik dari balik bahu.

"Apa kamu yakin bisa jadi pasangan yang stabil?"

"Apa kamu bisa bersabar saat pasanganmu sedang hancur?"

"Apa kamu tidak akan menyakiti, seperti mereka yang diam tapi melukai?"

Kata orang, cinta akan mengajari. Sayangnya, aku masih terkungkung dalam jeruji sunyi untuk mendaftar sebagai muridnya.

Setiap kali ada perempuan yang mencoba dekat, aku panik. Ada yang baik. Sabar. Hangat. Namun, begitu ia bicara tentang "besok", aku mulai menghitung ketidaksiapanku. Aku menebak-nebak berapa tahun lagi sampai aku paham caranya memberi rasa aman, bukan sekadar hadiah ulang tahun.

Satu per satu pergi, bukan karena aku menolak mereka, melainkan karena aku tak pernah cukup hadir untuk mereka bisa menetap. Akhirnya, semua mengira aku terlalu pemilih. Terlalu menutup diri. Padahal, aku hanya takut. Takut tak layak dipilih, bukan takut ditinggalkan.

Suatu malam aku membaca definisi tentang yang mungkin tengah kualami di usia matangku. Gamophobia: ketakutan irasional terhadap pernikahan atau komitmen.

Aku menatap layar ponsel lama sekali. Irasional? Mungkin.

Tidak. Perasaanku nyata. Aku tidak sedang menunda, hanya belum mampu membuka pintu gelapku. Menatap dunia dalam ikatan. Mengatasi keresahan yang lebih dulu datang sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Aku masih seperti kompas yang goyang di tangan gemetar, ketika teman-teman sudah memiliki arah. Mereka sudah tahu ke mana akan pergi, sedangkan aku masih belum menuliskan lokasi tujuan di peta.

Dari sisa-sisa grup WhatsApp yang sepi, hanya Bagas yang masih rutin mengirim pesan. Dia sudah menikah, punya dua anak, dan tetap menjadi penghiburku. Dia kerap menyindirku tentang umur, tentang status, tentang kesendirian. Dan aku selalu menanggapi dengan tawa, tak pernah sakit hati.

Sore ini, dia mengajak bertemu di sebuah warung kopi. Namun, sudah 30 menit berlalu, dia bilang masih di dalam perjalanan.

Sambil menunggu, aku mengingat yang pernah dia ucapkan setelah beberapa bulan dia menikah. Katanya, dia sendiri tidak pernah siap menikah, tetapi kesiapan justru hadir ketika jalinan itu direkatkan. Dia menambahkan hidup selalu menerima proses.

Dia benar. Tak ada manusia yang lahir langsung bisa berlari. Tak ada yang mahir menaiki sepeda tanpa terluka dan merasa terjatuh. Aku paham teori hidup, tetapi tak cukup kuat untuk menghitung peluang menciptakan gol dari garis penalti.

Bagas datang dengan wajah setengah sibuk dan setengah pasrah. Napasnya sedikit tersengal. Dari caranya duduk, aku tahu dia baru saja lari dari urusan rumah tangga yang tak sempat selesai.

“Kayaknya capek banget, Gas?” tanyaku, agak satir.

“Makanya nikah dan punya anak, biar ngerti rasanya nyari alasan buat izin ketemu lu,” balasnya sambil meraih gelas kopiku. Padahal, dia yang mengajak bertemu.

Dia merebahkan badan di kursi, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari saku jaketnya.

“Nih, undangan. Dari orang yang dulu naksir lu,” jelasnya, menyodorkan dengan tangan lesu.

Aku menatap kertas itu. Tidak langsung menyentuhnya. Seolah kalau aku buka, akan ada yang berubah selamanya.

Nama di sudut kanan atas tak asing, Tiara. Orang yang dulu pernah mengajakku bicara lebih jauh, tetapi kemudian kuberi jarak yang tertata. Dia baik, bahkan terlalu baik hingga aku harus menepis sendiri perasaanku terhadapnya.

Bagas menatapku. Akhirnya, aku buka undangan itu. Embos emas. Senyum dua orang yang tampak yakin, dengan dibalut kalimat yang membuatku hening sesaat: “Menuju satu tujuan, dengan satu hati.”

Bagas mulai memesan kopi. Dia berceloteh mengenai pekerjaan, mengenai teman-teman kuliah, dan mengenai dunia yang makin sibuk dan tubuh yang makin malas. Semakin banyak kata yang keluar dari mulutnya, semakin jauh suaranya terdengar. Aku tenggelam dalam pandanganku sendiri.

Kupikir ini bukan tentang Tiara. Bukan tentang dia memilih orang lain, tetapi tentang sesuatu yang tak kumiliki, yaitu keberanian untuk melangkah dan arah yang jelas.

Pertemuan dengan Bagas menjadi salah satu penawar sepiku. Membuatku merasa belum sepenuhnya ditinggalkan oleh sekitar.

Aku pulang. Menyetir pelan. Jalanan malam terlihat samar di balik kaca berembun. Suara dari radio mengalun syahdu, tetapi pikiranku lebih bising dari lagu apa pun yang diputar. Tanganku tetap memegang kemudi, tetapi yang sedang berjalan justru pikiranku sendiri—mundur, menyimpang, dan berkali-kali hampir tersesat.

Di lampu merah, lajuku terhenti. Mataku menangkap sepasang kekasih, atau mungkin suami-istri, yang begitu mesra. Mereka duduk di atas motor. Si laki-laki menggenggam kemudi motor dengan satu tangan. Di belakangnya, si perempuan membungkuk sedikit, menyuapi potongan ayam goreng dari kotak kecil di pangkuannya. Sesekali si laki-laki menoleh, tertawa dengan mulut penuh, sementara si perempuan sibuk menahan tumpahan saus agar tak mengotori jaket. Mereka terlihat remeh dan lucu. Namun, intim. Tanpa repot, tanpa teori. Seolah sedang mengajari cara berbagi kasih, menggenggam beban bersama.

Lampu hijau menyala. Aku injak pedal perlahan. Jalanan terbuka. Entah kenapa, dadaku tetap terasa sempit, seakan ada sesuatu yang masih tertinggal di persimpangan tadi.

Aku memarkir mobil perlahan di sudut garasi rumahku. Di ruang tengah, cahaya televisi masih menyala dengan volumenya rendah. Ayah dan Ibu duduk di sofa. Biasanya mereka sudah tidur selepas Isya.

Aku mengayun kaki nyaris tanpa suara, tak ingin mengganggu mereka. Nyatanya, mereka sedang menungguku.

Ayah menoleh, dan langsung menodongkan pertanyaan bertaut amarah bernada datar. “Sampai kapan kamu mau hidup kayak anak muda terus? Nongkrong, pulang malam, nggak jelas. Umurmu sudah berapa? Hah?”

Aku diam. Ada sesak yang merayap ke dada.

Ibu ikut bicara. Lembut, tetapi tak kalah tajam. “Kenapa sih kamu masih kayak gini? Ibu cuma takut kamu nanti sendirian. Umur terus jalan, Satya. Hati orang tua tuh nggak pernah tenang kalau anaknya nggak punya siapa-siapa yang akan menemani, mengurus, merawat.”

Aku menarik napas. Berusaha sabar. Hanya saja, kalimat-kalimat itu sudah terlalu sering mampir, dan malam ini aku kelelahan jadi orang yang selalu mengangguk.

“Aku bukannya nggak mau, Bu, Yah. Aku cuma belum tahu caranya.”

Ayah memandangiku beberapa detik. Wajahnya kaku.

“Apa susahnya, Satya? Semua orang juga belajar sambil jalan. Tapi kamu nggak jalan-jalan. Kamu terlalu banyak mikir. Kebanyakan alasan.”

“Karena dari dulu aku memang harus cari jalan sendiri untuk semua hal dalam hidupku.” Suaraku keluar lebih keras dari yang kukira.

Aku menunduk sesaat. Tanganku bergetar.

“Ayah dan Ibu selalu menuntut aku harus ini, harus itu. Tapi nggak pernah ngajarin gimana caranya. Aku harus tahu sendiri semuanya. Harus kuat sendiri. Harus siap sendiri. Harus ngerti apa yang bahkan nggak pernah diajarkan,” tuturku, sendu. Pun, mungkin agak terlalu.

Ibu terdiam. Ayah bangkit.

“Satya, berani sekali kamu ngomong seperti itu di rumah ini. Seolah yang kamu nikmati sekarang bukan hasil dari kerja keras orang tua, seolah kamu tumbuh sendiri tanpa kami.”

Suara itu menggelegar. Keras. Penuh luka. Menyayat dua sisi yang tak saling mengerti.

Aku ingin bilang bahwa aku bersyukur. Bahwa aku tahu mereka berjuang. Namun, apa gunanya semua itu kalau aku terus merasa gagal hanya karena belum menikah?

“Aku nggak minta dilonggarkan. Aku cuma minta dimengerti. Aku juga pengin bisa, Yah. Tapi aku takut gagal. Takut nyakitin orang. Takut nggak bisa jaga. Karena aku sendiri masih belajar menjaga diriku.”

Ibu mulai menangis. Ruang tamu memanas, padahal biasanya dingin dan senyap.

“Kami cuma pengin kamu bahagia,” ucap Ibu, terisak.

Aku tak menjawab. Karena kebahagiaan versiku mungkin tidak sama dengan versi mereka.

Karena bahagia yang belum selesai di dalam, tak bisa dipaksakan dari luar.

Aku masuk kamar. Menutup pintu. Semua suara masih tertinggal.

Di keheningan yang tidak pernah benar-benar hening, aku meringkuk di ranjang lama. Masa remaja berputar di kepala. Ingin rasanya mengulang, memperbaiki dari awal kelemahan terbesar dalam diri ini, saat ini.

Mungkin, selama ini bukan cinta yang kutakuti, melainkan cermin yang harus kutatap saat aku mencinta—menampakkan versi diriku yang belum sembuh, belum siap, belum tahu cara hadir sepenuhnya. Aku tumbuh di ruang yang dingin dan rapi. Jadi, ketika dunia mengajak membangun rumah bersama, aku masih gemetar di depan pintunya. Mungkin langkahku lambat, tetapi bukan berarti aku tak berjalan. Aku hanya sedang belajar menjadi utuh, sebelum kelak berani menjadi tempat berteduh bagi orang lain.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)