Cerpen
Disukai
26
Dilihat
15,196
GADIS SUDRA
Drama

Seberapa besarkah rasa cintamu itu?

Mengaku mencintai Illahi tapi melupakan saudaramu sendiri 

Mengaku mencintai nabi tapi memutuskan silaturahmi

Mengaku islami tapi memilih-milih saudaramu sendiri

Seperti itukah wujud cintamu?

Hablum Minallah...Hablum Minannas

Maka celakalah bagi pemimpin yang melupakan rakyatnya

Ulama yang memilih-milih umatnya

Dan orang-orang mukmin yang memisah-misahkan saudaranya 

Dalam golongan kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra

Bahwa orang-orang sepertiku terlahir dibumi tapi tak pernah wujud didunia

Karena kalian tak pernah memandangku dan menganggapku ada….

Dari seorang gadis yang luar biasa ….

Dan kini yang bisa kulakukan hanyalah terbaring lemah menatap nyala lilin yang bergoyang dipermainkan angin.

 Ada wajah emak disitu, dinyala lilin itu.

 Mungkin jika aku terlahir normal seperti gadis-gadis cantik lainnya hidupku tak akan begini. Mungkin jika kedua kakiku bisa berfungsi sebagaimana layaknya, aku tak akan bersedih dan kepayahan untuk hidup didunia ini. Bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupku sendiri.

 Tapi inilah aku. Seorang gadis yang ditakdirkan terlahir cacat dan tak bisa berjalan dengan normal sejak lahir. Yang terlahir dari rahim seorang wanita miskin yang kupanggil emak tanpa pernah sekalipun memandang dan mengenal bapakku.

 Karena kata emak, bapakku telah lari dengan wanita lain sejak aku masih bayi.

 Mungkin dia malu mengakuiku sebagai anaknya dan lebih memilih perempuan lain dengan meninggalkan aku dan emak begitu saja.

 Tapi aku tak pernah mengeluh dan berharap bapak kembali pada kami. Emak mengajarkanku untuk menerima keadaan dan takdir yang diberikan Allah. Emak selalu menasehati dan membesarkan hatiku. Kita boleh saja bersedih dengan keadaan dan kekurangan kita. Tapi jangan sampai keluhan itu kita tujukan untuk menggugat kebijaksanaanNYA.

 Itulah sebabnya aku tak terlalu memikirkan bapak yang telah pergi meninggalkan kami. Karena ada emak yang selalu ada untukku.

 Emak hanyalah seorang pemulung. Dan aku membantu emak membersihkan dan memisahkan barang-barang yang emak bawa.

 Aku pernah sekolah dulu walau tak tamat sd. Aku berhenti karena tak memiliki biaya. Juga karena aku selalu diolok-olok teman-temanku akan kekurangan dan asal usulku.

 Tapi aku senang membaca. Aku selalu membaca setiap buku dan majalah yang emak temukan, terutama buku dan majalah islam.

 Dari situlah aku belajar. Dari situlah banyak yang aku dapatkan. Dengan diterangi lampu 15 watt yang juga satu -satunya penerangan digubukku ini, tiap malam aku selalu membaca sebelum tidur dengan ditemani emak yang ikut mendengarkan karena aku sengaja mengeraskan suara tiap kali membaca agar emak ikut mendengarnya. 

Emak bilang tak perlu meratap bersedih karena ditakdirkan menjadi orang miskin. Bahwa miskin dan kemiskinan itu akan tetap ada. Menghapusnya sama sekali tiadalah mungkin karena itulah kodrat dunia. Segala yang tercipta selalu berpasang-pasangan. Tua. Muda. Miskin. Kaya. Karena itu, menghilangkan sesuatu yang sudah menjadi kodrat kehidupan dunia tiadalah mungkin.

 Karena itulah emak menerima takdir hidup yang diberikan Tuhan dengan hati ikhlas. Emak tak pernah mengeluh. Emak tak pernah mengemis. Emak bahkan tak pernah menerima zakat ataupun sedekah saat lebaran menjelang. Emak bukannya menolak zakat. Tapi emak tak pernah sengaja datang ke mesjid-mesjid untuk sekedar mengemis-ngemis mendapatkan zakat walau kami punya hak keatas harta yang dibagikan itu sebagai orang miskin.

 Lagipula, untuk apa mengejar-ngejar sesuatu yang tidak diniatkan orang untuk kita? Tak ada ulama yang sengaja datang menemui kami memberikan zakat. Tak pernah ada orang kaya yang sengaja mendatangi kami menyerahkan sedekah. Mereka semua lebih suka memberikan bagian-bagian itu untuk umat mereka sendiri.

 Padahal masing-masing dari kita bertanggung jawab terhadap saudara-saudara kita sendiri, baik yang memiliki tali persaudaraan maupun tidak. Mereka, para ulama dan orang-orang yang diberikan segala bentuk kelebihan, bertanggung jawab akan hartanya pada Allah akan nasib kaum para fuqara dan masakin. Seorang pemimpin harus selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Seorang ulama yang tak akan merasa tenang jika ada umatnya yang merintih kelaparan. Tak akan masuk surga bagi seorang pemimpin dan seorang ulama sebelum ditanyakan oleh Allah akan umatnya. Bahwa ada dua perkara dalam ibadah yang dilakukan selama hidup didunia yang harus kita kerjakan secara beriringan, Hablum Minallah and Hablum Minannas 

Kedua ibadah itulah yang harus kita kerjakan selama kita masih bernyawa. 

Kedua ibadah itu ada dalam hubungan vertical pada Allah sang Pencipta dan kita hambanya. Dan hubungan horizontal antara umat manusia dalam bentuk ukuwah silaturahmi sebagai makhluk sosial. Kita akan mengalami kehinaan dan keresahan serta kesusahan kapan saja dimana saja bila tidak memenuhi dua syarat utama itu. 

Tapi tak semua manusia mau menjalin hubungan horizontal dengan manusia lainnya tanpa mesti memilih-milih. Tak semua dari mereka mau menyadari dan mengakui bahwa ada hak orang-orang miskin didalam setiap harta yang mereka miliki. Tak semuanya mau dengan ikhlas dan rela berinfak membantu saudara mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bersedekah membantu kesulitan orang lain dan berzakat karena menyadari ada hak kami orang-orang miskin dan para fakir disetiap harta yang mereka miliki. 

Dan orang-orang seperti kami tak pernah dikunjungi saat lebaran tiba untuk mendapatkan sedikit rezeky seperti yang difirmankanNYA. Atau sekedar mendapatkan sedikit daging saat lebaran haji tak pernah aku dapatkan. 

Mereka, para ulama sekarang ini lebih suka menyambut panggilan Allah dalam perkataan belaka. Dalam ceramah semata. Menyambut seruan rasul hanya sampai batas sanjungan dan pujian. Memuja zaman keemasan islam masa lalu. Mengagumi keteladanan rasul. Mengumbar kepahlawanan para sahabat nabi dengan sangat berlebihan hingga melupakan kewajiban dimasa ini. Bahwa kita tidak hidup dizaman rasulullah. Dan tak hanya melafaskan kekaguman dan pujian semata. Kita hidup dizaman kita, zaman dimana begitu banyak saudara kita yang wajib ditolong. Zaman dimana kita hidup dan berkewajiban membagi kehidupan kita pada mereka. Bukan hanya sekedar berceramah memuji zaman kegemilangan islam semata hingga melupakan kenyataan hidup dizaman ini. Tapi memahami keteladanan nabi dan mewujudkannya dalam kehidupan kita sendiri. 

Aku terbatuk. Angin mulai bertiup kencang kedalam gubuk ruliku. Nyala lampu minyak tanah kembali bergoyang dipermainkan angin.

Sudah beberapa hari ini lampu digubukku ini tak menyala.

Penerangan di gubuk ku telah diganti dari satu satunya lampu listrik ke lampu minyak tanah karena aku tak mampu membayarnya.

Mungkin penyakit inilah yang merenggut nyawa emak dulu. Penyakit yang sama yang kini ku alami. Demam berkepanjangan. Menggigil. Seluruh badan berbintik-bintik merah. Dan emak dulu sering muntah-muntah. 

Aku tak sempat membawa emak berobat. Dan kenyataannya aku tak berdaya membawa emak berobat. Emak meninggal saat aku menyeret langkahku mencari pertolongan orang-orang.

Tapi begitu susahnya memohon pertolongan orang-orang. Mereka cuek. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mungkin mereka beranggapan bahwa aku hanya akan menyusahkan mereka saja. Dan kenyataannya memang aku adalah orang yang menyusahkan. Mereka sudah terlalu susah dan tak ingin semakin disusahkan oleh orang-orang sepertiku. 

Kemanakah hilangnya hati nurani? Kemanakah perginya cinta dan kasih sayang Illahi? Bahwa ada begitu banyak peringatan yang dirayakan umat manusia dibumi ini. Hari kemerdekaan. Hari kasih sayang. Hari pahlawan. Tapi adakah hari untuk memperingati orang-orang miskin sepertiku? Atau hari kelaparan? 


(Al-Balad 10-20) Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi makan pada hari kelaparan. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.


 Emak mengajarkanku sikap ikhlas dan pasrah diri. Sikap ikhlas menyerahkan diri kepada Illahi bukanlah seperti ringannya kapas yang melayang kemana saja angin bertiup. Bukan pula seperti kerasnya batu yang tak bergerak. Sikap penyerahan diri itu adalah kesanggupan dan kemampuan kita menjalankan semua perintah Allah dengan sungguh-sungguh bersama segala kelemahan dan keterbatasan kita. 

Dulu aku bisa berlaku seperti itu. Tapi setelah emak tiada, hidup terasa berat untukku. Aku terpaksa memaksakan kekuatan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tapi aku tak kuat berjalan jauh menyerat langkah untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Aku terpaksa mengutip sisa makanan yang dibuang untuk mengisi perut. Aku terpaksa sekali-sekali mengemis, sesuatu yang tak diinginkan emak karena emak tak ingin aku menjadi orang miskin peminta-minta.

Tapi aku tak punya pilihan.

Kemana orang-orang beragama? Kemana para ulama? Apa mereka hanya bisa berkoar-koar dispeaker mesjid yang selalu kudengar tapi tak pernah mendatangi orang-orang sepertiku? Apa mereka hanya bisa berceramah memberikan kata-kata indah tapi tak pernah memandang dan menganggapku ada? Apa mereka mau membantuku? Apa aku harus dibiarkan sendiri begini disini? Bahwa sudah menjadi kewajiban mereka seperti yang telah difirmankan Allah. Apakah sama orang yang terlahir buta dengan orang yang bisa melihat? Apakah sama orang yang sepanjang hidupnya menjadi beban pada orang lain dengan orang yang terlahir dan hidup sempurna sepanjang hidupnya? 

Tidak! Sama sekali tidak! 

Aku menghela nafas. Tak akan ada orang yang mau membantuku yang terlahir dan ditakdirkan menjadi beban buat orang lain. Bahkan seorang ulamapun belum tentu mau mengangkat derajad duniawiku. Apa ada seorang ulama yang mau menikah dengan seorang gadis cacat, jelek, miskin dan hanya akan menjadi beban untuknya? Bahkan untuk sekedar menjadi madu dalam polygamy yang mereka lakukan sekalipun mereka tak akan mau. Masih banyak gadis-gadis cantik, kaya dan sempurna yang lebih indah dimata untuk dinikahi daripada gadis cacat sepertiku.

Wajah emak kembali muncul diterangnya nyala lilin. Kali ini tersenyum sambil mengulurkan tangan seolah mengajakku pergi. 

Padahal islam tak mengenal kasta dalam ajarannya. Tapi mengapa umatnya malah mengamalkannya? Tidakkah hati merasa berdosa dan nurani merasa bersalah bila menutup mata berlaku cuek dan tak perduli?

Wajah emak terlihat sangat cantik. Cantik sekali. 

Kini aku bisa melihat tubuhku sendiri yang terbujur kaku disamping lampu minyak tanah. Aku tak mengharapkan apa-apa lagi. Aku hanya ingin jasadku mendapatkan penghormatan terakhir saat kembali ke bumi. Aku hanya ingin jasadku mendapatkan apa yang didapatkan umat muslim lainnya saat meninggal dunia. Dimandikan. Dikafankan. Disholatkan. Dan kemudian dimakamkan dengan sepantasnya. Aku tak ingin jasadku menjadi santapan hewan malam yang selalu melolong menggonggong. Aku ingin jasadku mendapatkan perhatian dari para penghuni bumi.

Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa memandang jasadku. Semoga ada seseorang yang menemukannya sebelum membusuk dan tinggal tulang belulang. Semoga ada seorang insan Allah yang mau dan iklhas memandikan, mengkafankan dan menyolatkan untuk kemudian mengkebumikannya karena sudah merupakan kewajiban bagi mereka yang masih hidup didunia kalau tidak ingin mendatangkan dosa bagi mereka karena telah membiarkan mayat seorang hamba Allah terbengkalai sia-sia.

 Aku hanya ingin berlari mengejar emak yang menungguku dibalik cahaya terang yang sangat indah itu….


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)