Cerpen
Disukai
0
Dilihat
17,075
Gadis Kecil dan Perawat Tanaman yang Bicara Pada Bunga-bunga
Drama

Gadis Kecil dan Perawat Tanaman yang Bicara Pada Bunga-bunga

Cerpen Habel Rajavani

  SETIAP kali Siska menyanyi di atas panggung, di mana pun itu, dia selalu ingat Pak Ram, penjual tanaman di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya. Siska menyanyi di Jakarta, di Singapura, di Kuala Lumpur, di London, di Paris, di New York, di man-mana…

Dulu, setiap kali pulang ke rumah lamanya itu untuk mengunjungi papanya, Siska selalu menyempatkan diri untuk juga menemui Pak Ram.

Ketika Pak Ram meninggal, dia sedang tampil di festival musik klasik di Singapura. Papanya yang mengabarkan padanya. "Tadi Papa dengar pengumuman di masjid. Ini Papa mau ke sana, takziah," ujar papanya lewat telepon.

Siska membayangkan tanaman-tanaman yang dijual oleh Pak Ram. Melati bali itu, dan kembang sepatu jingga itu, pohon kemboja itu, juga tekomaria itu….

 Siska, ketika masih kecil yakin benar bahwa dia tak bisa menyanyi. Sementara mamanya percaya benar ada bakat besar dalam diri anak perempuannya itu.

Mamanya dulu penyanyi soprano di kota itu. Penyanyi yang punya potensi besar. Keinginannya untuk mengembangkan bakat besarnya itu kandas. Cerita klise. Keinginan anak dan orangtua berbeda.  Ayahnya mememaksanya untuk menekuni bidang lain.

Bisnis keluarga lebih penting dari segalanya.

Dialah satu-satunya anak yang bisa diharapkan. Abangnya jadi gitaris dan bikin grup jazz. Main ke mana-mana keliling dunia.

Semula mamanya Siska mengira ia masih akan bisa menjalankan pekerjaannya mengelola bisnis keluarga sambil tetap menyanyi. Perhitungan yang salah. Bisnis menyita seluruh waktunya, bahkan ia merasa seluruh hidupnya habis tersedot ke bisnis, bisnis, bisnis, dan bisnis….

Itu sebabnya, seperti pelampiasan, seperti balas dendam, pemenuhan hasrat yang tak bisa didapatkan, maka Siska oleh mamanya diarahkan benar untuk menjadi penyanyi. Mamanya tahu bakat anak perempuannya itu jauh lebih besar daripada dia dulu.

"Siska tidak bisa menyanyi, Ma... Suara Siska jelek, Ma..." katanya setiap kali Mamanya mengajaknya ke tempat kursus vokal.

Setiap kali pula mendengar penolakan itu, Mamanya jengkel dan marah. Semakin jengkel dan marah mamanya, Siska semakin menolak. Pada titik puncak perselisihan ibu dan anak itu, Siska mogok menyanyi, tak mau latihan, bahkan tak mau bicara.

Ibunya sampai membawa ke psikiater. Siska tetap tak mau buka mulut, kecuali di sekolah. Di rumah Siska bungkam. Ia menghabiskan banyak waktu di taman belakang yang luas itu.


Sendirian.

Taman itu dipelihara oleh Pak Ram, penjual tanaman yang meminjam lahan pengembang di ujung komplek, yang juga melayani jasa perawatan taman. Setiap sabtu, Pak Ram datang ke taman itu. Ia selalu membawa bekal gorengan. Bakwan jagung, tahu isi, pisang tempe, risol, uli, cireng,... digoreng kecil-kecil.

Siska tak pernah mengenal rasa makanan itu. Dia menatap takjub pada Pak Ram yang tampak menikmati benar setiap potong gorengan itu. Siska seperti melihat makanan terlarang. Ibunya menjauhkan Siska dari semua makanan semacam itu. "Nanti suaramu rusak..." kata Mamanya.

Karena itulah, Siska diam-diam ikut makan gorengan Pak Ram.

Ia ingin merusak suaranya.

Pak Ram di mata Siska adalah sosok yang unik. Ia selalu bicara pada tanaman-tanamannya. Setiap kali ia membersihkan tanaman, memangkas, merapikan cabang, dia selalu memulai dengan menyapa tanaman-tanaman itu.

Halo, kemboja!

Selamat pagi, kembang sepatu!

Hai, melati bali….

Aduh, bunga kantil, kenapa daunmu rontok?

Nah, kamu kenapa sirih gading kepanasam di sini, lihat daunmu terbakar.

Mula-mula Siska melihat itu sebagai perilaku aneh. Orang kok bicara sama tanaman. Apa dia gila ya? Begitu pikir Siska. Tapi semakin diperhatikan jelas Pak Ram tidak terganggu jiwanya. Dia sehat dan waras belaka.

"Tanaman itu hidup, Neng Siska. Mereka punya nyawa juga seperti kita. Mereka memang tak bicara, tapi mereka mendengar dan mengingat apa yang kita katakan," kata Pak Ram.

Siska tertawa.

Ia pikir lucu juga Pak Ram. Tapi lama kelamaan ia percaya juga pada apa yang dipercaya Pak Ram itu. Ia mulai bicara pada kembang berbunga kecil, menggantung dan tak pernah mekar penuh itu. Memang begitulah bentuk bunganya. Kembang itu hadiah dari Pak Ram. Siska menyukai tanaman itu.     

Mamanya menganggap Siska terkena gangguan jiwa. Suatu hari mamanya membuang tanaman kembang itu. Mamanya juga tak lagi memakai jasa perawatan taman Pak Ram. Siska semakin bungkam.

Siska kecil belum siap untuk tahu apa yang terjadi di kantor mamanya. Ketika kakeknya terserang stroke, semua urusan bisnis keluarga menjadi tanggung jawab mamanya. Papanya dan mamanya semakin kehilangan waktu bersama. Diam-diam mamanya terlibat hubungan gelap dengan rekan bisnisnya.

Sedikit demi sedikit, kelak Siska tahu betapa rapuhnya hubungan papanya dan mamanya. Ia dan juga bukan alasan keduanya bertahan. Ia juga sumber pertengkaran. Apalagi kemudian ia lebih dekat dengan papanya, dosen teknik yang berkarir bagus di kampus tempatnya kuliah dan mengajar, dan mengutak-atik motor di bengkel kecil miliknya.

Dan kecelakaan itu terjadi. Mamanya meninggal dalam mobil bersama lelaki lain itu. Kecelakaan tunggal. Mungkin lelaki itu mabuk. Bisnis keluarga kakeknya pelan-pelan meredup dan runtuh. Aset habis disita untuk membayar tagihan. Kakeknya meninggal karena stroke ...

Pak Ram kembali bekerja merawat taman atas permintaan Papanya. Taman rumah itu tak pernah dirawat semenjak Mamanya melarang Pak Ram datang. Papanya tak mengerti apa-apa tentang tanaman, kecuali suku cadang dan onderdil motor. Setelah mengurangi jadwal mengajar, papanya tak pernah bisa jauh dari surga kecilnya itu: bengkel modifikasi motor. Apa yang dulu selalu diremehkan oleh mamanya.

"Bu Novia, maafkan saya. Saya harus merawat ibu," kata Pak Ram bicara pada pohon melati bali.

Ia menganggap pohon itu adalah Novia, mamanya Siska. Pak Ram juga menanam kembali kembang berbunga kecil, hadiahnya untuk Siska yang dibuang oleh Novia.

Pak Ram dulu memungut tanaman itu dari tempat sampah ketika dibuang ibunya Siska,  Merawatnya, membiakkannya, dan kini menanamnya kembali di kebunnya.

Dan mengembalikannya ke taman, menanamnya di sebelah kembang melati bali itu.

Kepada Siska ia bilang, "bicaralah padanya," ia menunjuk melati bali itu, "ia mendengarkan untuk ibumu. Dia akan menyampaikannya pada ibumu."

Siska tak hanya bicara pada tanaman yang kata Pak Ram mendengar untuk almarhum ibunya. Siska juga menyanyi. Dengan suara yang ia sendiri tak percaya bisa semerdu itu.

"Mama benar. Aku punya suara yang bagus, Mama," kata Siska.

Pak Ram tersenyum. Ia sedang duduk istirahat dengan sekantong gorengan. "Mau?" ia menawari Siska. Siska mengambil sepotong. Lalu sepotong lagi. Dan itulah kenangan terakhir Siska pada Pak Ram....

"Papa, apakah melati bali dan kembang berbunga merah kecil di halaman belakang kita sedang berbunga?"

"Iya, lebat sekali..."

“Papa, nanti siapa yang merawat tanaman-tanaman itu?”

“Biar papa saja yang merawat. Papa sudah belajar sama Pak Ram. Papa sekarang juga bicara dengan tanaman-tanaman itu…”

Mata Siska merebak basah.

Ia ingin lekas-lekas pulang.

 

© Habel Rajavani, 2019-2024


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi