Cerpen
Disukai
3
Dilihat
11,797
Eno Hamil (seperti) Wiwin Hamil
Drama

Eno Hamil (seperti) Wiwin Hamil

Cerpen Habel Rajavani


"Pak, aku hamil," kata Eno. 


Ia menyampaikan hal itu kepada bapaknya. Trisno terdiam sejenak. Ia pandangi anaknya sebentar lalu ia alihkan pandangan. Lalu memejam. Dadanya sesak. Dia teringat almarhum istrinya, Wiwin, ibunya Eno.


Situasi yang dihadapi Trisno saat ini persis apa yang terjadi dua puluh tiga tahun lalu. Saat dia masih pacaran dengan Wiwin. Mungkin bukan pacaran seperti orang memahaminya.


Trisno tentu saja sangat mencintai Wiwin. Bucin kalo kata anak sekarang. Dia rutin dan setia mengapeli Wiwin tiap malam minggu. Atau malam lain apabila Wiwin memintanya datang. 


Trisno memberi apa saja yang 8diminta Wiwin, sepanjang dia mampu. Trisno tentu saja tak bisa memenuhi semua apa diminta Wiwin. Sebagai staf senior bagian umum di sebuah pabrik maklon makanan kemasan penghasilannya lumayan tapi tentu tak besar.


Wiwin memanfaatkan posisi dan uang Trisno untuk kesenangannya saja. Ia tak pernah benar-benar mencintai Trisno. Di luar waktu-waktu kencannya dengan Trisno Wiwin juga mengencani lelaki lain. Trisno tahu tapi dia menutup mata dan berpikir suatu hari Wiwin akan berubah. Trisno cukup sabar menunggu hal itu terjadi.


Hingga suatu hari Wiwin menyampaikan kabar itu. "Mas, aku hamil....," kata Wiwin ketika mereka berkencan di teras dormitori pekerja di mana Wiwin tinggal. 


Persis seperti yang kini dikatakan Eno. Dan Trisno terdiam. Tak tahu harus bersikap apa.


"Siapa lelaki itu?" tanya Trisno.


Wiwin menyebut nama seorang lelaki tapi katanya dia tak terlalu yakin apakah benar dia yang menghamilinya. Yang pasti bukan Trisno. Karena Trisno tak mau melakukan hal itu sebelum mereka menikah. 


"Kamu akan meminta dia menikahimu?" kata Trisno.


"Saya tak tahu, Mas. Saya ragu apakah benar-benar dia...."


"Dia tahu kamu hamil?"


"Saya tak tahu bagaimana cara ngasi tahu dia tapi dia pasti tak mau mengakuinya..."


"Berapa kali kalian berhubungan?"


Wiwin terdiam.


"Lebih dari sekali?"


Wiwin mengangguk. "... eh, tapi, entahlah, Mas."


"Lelaki lain itu siapa?"

"Sudahlah, Mas, saya aborsi saja..."


"Jangan! Kamu menambah dosa lagi..."


"Tapi, Mas..."


"Saya akan menikahi kamu," kata Trisno.


Lalu mereka menikah dan lahirlah Eno, beberapa bulan kemudian. Trisno menyambut dengan gembira. Wiwin tampak biasa saja.


Eno tumbuh sebagai anak yang sehat. Trisno merasa ia lebih menyayanginya daripada Wiwin. Ia membesarkan Eno seperti anaknya sendiri. Ia membayar pembantu untuk merawat Eno.


Setelah menikah Wiwin tetap bekerja dan meskipun mereka tinggal serumah Wiwin tetap saja ambil kamar di dormitori. Awalnya sesekali tapi lama-lama Wiwin lebih sering tidur di sana. 


Eno baru berusia dua tahun ketika Wiwin hilang. Beberapa hari ia tak pulang ke dormitori lalu polisi menemukan mayatnya di hutan pinggiran kota. Tanda-tanda pada jasadnya menunjukkan ia dibunuh. Ada bekas penganiayaan. Tapi polisi tak pernah menemukan siapa pelakunya. Lalu disimpulkan dia dirampok.


Trisno sempat diperiksa sebagai saksi. Dia datang ke kantor polisi dengan tenang, sebagai suami yang kehilangan istri. Ia tidak melapor karena memang mereka sudah lama tak tinggal serumah.


"Saya merawat anaknya. Anak kami. Kami menikah tapi dia lebih senang tinggal di dormitori. Katanya dia masih betah di sana karena lebih dekat ke pabrik, dan dia berjanji akan pindah ke rumah saya nanti kalau dia siap... Saya mencintainya. Saya turuti semua maunya. Bagaimana mungkin saya membunuhnya?" kata Trisno kepada petugas polisi ketika pertanyaan mengarah ke kecurigaan padanya.


Trisno terbebas dari tuduhan. Ia memakamkan jenazah Wiwin dengan layak. Sesekali ia menziarahinya bersama Eno.


Trisno membesarkan Eno sendirian. Ia tak pernah menikah. Beberapa kali dia mendekati atau didekati perempuan tapi hubungan-hubungan itu tak berkembang jauh. Trisno tak terlalu beruntung dalam soal hubungan dengan lawan jenis.


Barangkali Trisno trauma karena pengalamannya dengan Wiwin. Bagaimana sungguh-sungguhnya dia mencintai Wiwin toh akhirnya perempuan itu dengan enteng berhubungan dengan lelaki lain. Kehadiran Eno yang dia sayangi seperti anak kandungnya malah mengingatkamnya pada trauma itu.


Eno tumbuh jadi gadis yang lincah. Setelah ambil D3 kesekretariatan, ambil beberapa khusus perawatan tubuh dan wajah. Ia bekerja di klinik spa. Karirnya di tempat kerja itu bagus. Kecantikan dan keramahannya membuat klinik spa itu maju pesat. Eno bisa menggaet banyak tamu pelanggan loyal. Sebagian besar dari negeri seberang yang berbondong-bondong datang di akhir pekan.


Trisno mungkin memang tak pernah punya kemampuan membangun hubungan yang baik dengan perempuan dewasa. Ia juga kikuk menghadapi Eno yang semakin matang sebagai perempuan. Apalagi Eno berkembang jadi orang yang agak bebas perilakunya. Dia santai saja beraktivitas di rumah hanya dengan celana dalam dan bra.


"Eno, kamu yang sopan, dong. Nggak malu kamu.Nggak pantas berkeliaran di rumah begitu..." tegur Trisno.


"Ah, di rumah sendiri ini, Pak. Lagian kan cuma ada Bapak...," kata Eno.


Masalahnya Trisno sadar bahwa Eno bukanlah anak kandungnya. Rahasia itu masih dia simpan. Eno tak pernah tahu hal itu. Apabila Eno tahu barangkali dia juga tak terlalu peduli.


Trisno terdiam. Masih terdiam. Ia perhatikan Eno tak menampakkan rasa bersalah. Trisno justru yang merasakan itu. Ia merasa bersalah.


"Siapa laki-laki itu, Eno?"


"Bapak pasti kenal dia," kata Eno. Lalu ia menyebutkan satu nama.


Trisno semakin terdiam.


Tentu saja dia kenal. Lelaki itu adalah atasannya di perusahaan. Lelaki dari negeri seberang itu. Eno pasti mengenalinya sebagai pelanggan di klinik spa.


"Tapi saya tak yakin dia..." kata Eno. Di telinga Trisno terngiang-ngiang suara Wiwin.


"Saya harus apa, Bapak?"


Trisno terdiam.


Lalu ia tinggalkan Eno. Sambil menghembuskan napas yang berat. Di kamar dia mencari nomor telepon seseorang lalu dia menelepon.


"Halo? Robert?"


"Siap, Bos! Ada perintah?"


Trisno lalu menyebut nama. Lalu setelah tawar-menawar Robert menyepakati angka yang disebut Trisno.


Robert adalah preman yang menerima pekerjaan informal. Pokoknya apa saja, pekerjaan yang tak bisa dibereskan oleh petugas sekuriti perusahaan. Ia bekerja dalam satu kelompok kecil yang bergerak efisien.


"Kerjakan dengan rapi. Seperti dulu kau bereskan Wiwin, ya..."


"Siap, Bos!"


Beberapa hari kemudian, surat kabar dan media daring lokal memberitakan hilangnya seorang pekerja ekspatriat di kota pulau itu. Beberapa hari kemudian korban ditemukan di hutan di tepian kota. Tak jauh dari lokasi di mana dulu mayat Wiwin ditemukan.


Trisno tak mengikuti berita itu. Baginya semuanya sudah jelas setelah Robert melapor dengan satu kalimat ringkas, "beres, Bos!"


Trisno sedikit lega. Tak lagi menyesal kenapa dia dulu tak sekalian membereskan lelaki ekspatriat, atasan tak langsungnya di perusahaan ketika dulu Wiwin menyebut nama lelaki yang menghamilinya. Nama yang sama disebut Eno melakukan hal yang sama padanya.


Yang dia pikirkan sekarang adalah apa yang dia harus lakukan pada Eno.


(c) Habel Rajavani, 2024.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)