Masukan nama pengguna
Sudah dua bulan Yudi menganggur. Ia dipecat dari pekerjaannya sebagai satpam di sebuah bank pemerintah di desanya. Tuduhannya berat. Ia dianggap mematikan CCTV, berkonspirasi, menutup celah untuk mengungkap identitas para perampok.
Malam itu bertepatan dengan sehari sebelum malam takbir Idulfitri. Yudi baru saja menyelesaikan sahur terakhir. Ketika ia hendak mencuci gelas, suara ketukan keras di pintu menggetarkan rumah kecilnya. Sekawanan polisi datang tanpa banyak bicara, menggiringnya ke kantor. Tatapan panik istri dan anaknya mengiringi—lebih menyayat dari borgol yang menggantung di saku salah satu polisi.
Para tetangga berkerumun cepat. Mereka tercengang, tetapi tak butuh waktu lama untuk bisik-bisik menyebar. Label sudah ditempelkan di dahi Yudi sebelum ada penetapan.
Di kantor polisi, Yudi bersikeras bahwa ia telah mengunci semua pintu dan memastikan CCTV aktif sebelum pulang jam sembilan malam. Ia yakin tidak melonggarkan pengamanan sedikit pun.
Polisi menetapkan status Yudi, sementara, masih sebagai saksi, belum ada bukti kuat yang mengarah pada keterlibatannya. Saat fajar menyingsing, ia dipulangkan. Sayangnya, stigma telanjur menyebar liar, dan tak ada yang peduli pada kebenaran.
Hidup Yudi seperti ditelanjangi di depan kampung sendiri. Warga tak lagi menyapanya. Uang tabungan menipis. Pesanan jahitan istrinya kian mengering.
Yudi mencoba kerja serabutan di desa sebelah. Ia mengumpulkan rumput untuk pakan ternak, membersihkan kebun, hingga membantu montir di bengkel. Sayangnya, hal tersebut tidak bertahan lama. Rumor merambat, mengikuti ke mana pun ia melangkah. Semua orang yang memperkerjanya dihantui rasa waswas, lebih percaya pada siulan angin.
Yudi sering berdialog dengan dirinya sendiri sebelum tidur. Di beranda, di kasur, atau bahkan di kamar mandi. Ia mempertanyakan banyak hal: harga sebuah nama baik, makna keadilan, dan tentang betapa lemahnya posisi orang kecil saat ditimpa tuduhan. Hari demi hari berjalan seolah menyusuri barisan sembilu.
Suatu malam, ia berjalan kaki menyusuri jalanan desa yang sepi. Saat jam menunjukkan pukul delapan malam, ia berhenti di depan bank tempatnya dulu bekerja. Ia duduk di teras sembari melonggarkan paru-paru.
Matanya menyapu situasi sekitar, lengang dan sunyi. Kenangan dan harapan mengisi sanubari. Terselip juga rasa kesal serta kecewa karena tak diberi ruang untuk menunggu hasil penyelidikan polisi.
“Masih betah kamu teh nongkrong di sini?” suara yang familiar tiba-tiba mengejutkannya. “Ngapain duduk-duduk di sini malem-malem?”
Yudi menoleh. Kang Aidil, sahabat sekaligus rekan kerjanya, berdiri dengan tatapan tajam.
“Saya cuma ikut duduk, Kang. Pegel habis jalan kaki,” ujar Yudi dengan suara halus.
“Capek? Atau lagi mantau situasi?” Aidil menyunggingkan senyum sinis. “Atau lagi cari target baru, ya?”
Yudi menahan napas. Ia sudah berusaha hormat terhadap sahabatnya, tetapi justru menerima sindiran yang mengarah pada fitnah.
“Kalau saya salah, saya udah dipenjara atuh, Kang. Tolonglah Kang, jangan seperti itu sama saya!” Yudi sedikit meninggikan suaranya.
Aidil mendengus. “Polisi kan masih nyelidikin kasus kamu. Kalau salah satu perampoknya ada yang ketangkep, pasti kamu juga dibawa.”
Perih. Yudi tercekat. Ia tak menyangka tuduhan itu datang dari Aidil—orang yang dulu ia bantu masuk kerja, yang kerap ia pinjami uang, yang dulu selalu datang mengeluh ketika kesusahan.
Yudi bangkit perlahan. Ada bara di dadanya, tetapi ia tahu, membalas hanya akan menambah luka. Ia memilih pergi, meski langkahnya terasa seperti menyeret beban yang tak terlihat.
“Iya. Pulang sana. Jangan balik ke sini lagi!” teriak Aidil, menyeringai.
Yudi berjalan pulang dengan gumpalan getir di dalam batin. Rasanya bagaikan dikhianati berkali-kali. Tak ada yang lebih menggores, selain ketika orang yang pernah dibantu sepenuh hati, justru berbalik berdiri paling depan untuk menjatuhkan vonis.
***
Keesokan harinya, sang istri membangunkan Yudi dengan nada panik. Katanya, ada ambulans dan mobil polisi berjejer di pelataran bank. Warga pun terlihat memadati. Namun, ia tak tahu ikhwal yang tengah berlaku sebab tak berani untuk mendekat.
Yudi langsung terjaga. Ia mencuci muka, mengganti pakaian, lalu berlari ke lokasi.
Benar saja. Kerumunan warga menyesak hingga ke badan jalan. Garis polisi membentengi area. Ambulans melaju pergi dengan sirine yang masih memekik nyaring. Sebagian warga mengucap, “Innalillahi.”
Kaki Yudi menyusup barisan warga. Di dekatnya, dua pria tengah berbincang lirih, suara mereka nyaris tenggelam oleh riuh kendaraan yang lalu-lalang. Salah satu dari mereka menggelengkan kepala pelan, ekspresi wajahnya bercampur antara tak percaya dan ngeri.
“Bayangin aja, dalam dua bulan ada dua kali perampokan,” katanya dengan nada resah. “Yang terakhir ini lebih gila. Satpamnya ditembak langsung.”
Temannya mengernyit. “Iya. Sadis banget.”
“Tiga peluru. Pas di dada,” tambah pria itu, vokalnya menurun, seakan memendam rasa takut.
Yudi mendadak lemas. Satpam? Bukankah hanya Aidil yang bekerja setelah ia diberhentikan secara tidak hormat?
Ia mencoba mendekat untuk memastikan, tetapi polisi menghalau. Tak lama, seorang petugas mengenalinya dan mengajaknya ke kantor.
Yudi mengelak. Ia tidak tahu apa pun. Namun, polisi mengatakan hanya ingin mendapatkan keterangan sebelum peristiwa perampokan disertai pembunuhan terjadi. Rekaman CCTV menunjukkan ia berbicara dengan korban malam sebelumnya. Ya, korban itu: Kang Aidil.
Di kursi yang sama—tempat ia dulu dicecar dalam kasus yang belum usai—Yudi kembali terduduk. Kepalanya limbung, nyaris pingsan. Polisi kesulitan menenangkannya.
Kemudian, salah satu penyidik menghampiri Yudi, membuka fakta baru: Aidil-lah yang mematikan CCTV saat perampokan pertama terjadi. Ia menjelaskan seorang warga melihat Aidil mondar-mandir di sekitar bank malam itu, seolah memastikan situasi aman.
Beberapa bukti pun telah ditemukan di ruang keamanan. Dari rekaman yang berhasil dipulihkan menunjukkan Aidil masuk ke dalam bank pada pukul sembilan malam lebih lima menit. Ia mengutak-atik sistem kontrol sebelum kamera mendadak gelap. Jejak sidik jarinya juga tertinggal pada panel pemutus arus.
Polisi juga menjelaskan mereka hendak menjemput Aidil untuk diperiksa lebih lanjut. Namun, nasib nahas lebih dulu menyapa Aidil. Diduga, ia dibungkam oleh para perampok itu yang mengendus keterlibatannya sudah terlacak aparat penegak hukum.
Yudi terdiam. Ingatannya melayang ke malam sebelum perampokan pertama terjadi. Ia bertemu Aidil di gerbang. Saat ditanya, Aidil mengatakan ada barang yang tertinggal. Langkahnya tergesa. Wajahnya tampak tak biasa. Matanya mengawasi sisi kanan dan kiri.
Yudi ingin bertanya lebih jauh. Hanya saja, sesuatu dalam dirinya menahan, Mungkin karena sudah terlalu lama mengenal Aidil. Mungkin karena tak ada yang patut dicuriga dari sahabatnya tersebut.
Kini, potongan-potongan itu mulai tersusun. Sungguh tak dinyana, orang yang paling ia percaya malah menjadikannya sasaran peluru yang salah.
Aidil, yang selama ini tampak bersih, ternyata merancang segalanya serapi seragamnya. Bahkan mungkin, ia juga yang memprovokasi manajer agar memberhentikan Yudi.
Yudi masih ingat pagi itu. Ia datang seperti biasa, mengenakan seragam, menekan absen digital, dan menyapa rekan-rekan sekilas. Tak ada firasat apa-apa. Semuanya terlihat normal, kecuali satu hal: sikap sang manajer.
Tanpa penjelasan panjang, manajer memanggil Yudi ke ruangannya. “Kamu diistirahatkan. Meskipun statusmu masih sebagai saksi, tetapi kamu dianggap telah lalai.”
Yudi tersentak. Sebelum akhirnya hanya bisa menerima dan pasrah, ia sempat membela diri, memohon, menjelaskan ulang kronologi malam itu dengan sedetail mungkin—bahwa sebelum ia pulang, ia sudah memastikan semua prosedur dijalankan. Semua pintu dikunci rapat.
Yudi menatap kosong ke depan. Napasnya bergema di hidung. Di dalam dirinya, perasaan pahit mengalir tanpa bisa dicegah.
Dunia, pikir Yudi, ternyata tidak selalu menunjukkan rupa asli manusia. Banyak topeng yang menutupi sifat dan perilaku. Sahabat bisa menjadi dalang, pemimpin bisa berlindung di balik formalitas, dan kebenaran bisa dikalahkan oleh yang lebih cepat membisikkan cerita versinya sendiri.
Entahlah. Yudi tak tahu harus merasa lega atau hancur. Ia pulang diantar polisi. Untuk pertama kalinya, langkahnya tak dibayangi sorot curiga warga. Akan tetapi, hatinya masih menyimpan dua kunci: satu untuk membuka kebenaran yang nyaris terkubur, satu lagi untuk luka yang masih menganga.