Masukan nama pengguna
Greg terbilang anak cerdas. Sejak SD hingga SMP, dia menjadi juara kelas. Dia tetap PD, meskipun Madya ayahnya hanya seorang koki hotel melati di bilangan Semarang. Sementara, Surti ibunya hanya membuka warung lotek di rumahnya yang sederhana.
Sejak diterima sebagai siswa di salah satu SMA favorit di Semarang, Greg tidak lagi naik trans bila pergi ke sekolah. Dia mengendarai motor baru yang dikredit Madya dari dealer terdekat. Sekalipun kurang suka dengan sikap ayahnya yang sedikit memanjakan, dia tidak tega untuk menolak motor sebagai hadiah ultahnya ke-18. Dia tidak ingin mengecewakan ayahnya.
Pada bulan pertama masuk sekolah, Greg telah menarik perhatian banyak guru. Karena kecerdasannya melampaui siswa pada umumnya. Dia tidak hanya pandai Bahasa Inggris, namun pula Matematika. Selain itu, dia memiliki ketertarikan dengan Teater. Salah satu kesenian yang tidak hanya mengajarkan tentang seni panggung, akan tetapi pula memberikan pelajaran tentang hidup.
Berkat kecerdasan dan ketertarikan terhadap seni teater, Greg menjadi magnit yang menarik perhatian kawan-kawan sekelasnya. Terlebih para siswi yang mendambakan seorang pacar berwajah ganteng, berkepribadian emas, dan berotak brilliant. Hingga tidak heran bila Tanti, Vida, dan Mita bersaing ketat untuk mendapatkan cinta darinya.
Sungguh Greg telah menjadi kumbang pujaan di antara bunga-bunga kelas yang baru mekar. Sekalipun begitu, dia hanya menganggap bahwa Tanti, Vida, dan Mita tidak lebih kawan biasa. Sama sekali, dia tidak menaruh hati pada mereka. Sekalipun demikian, dia tetap berbaik hati pada mereka. Tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya.
“Seharusnya kau segera menentukan pilihan, Greg!” Toni yang merupakan kawan akrab Greg memberikan nasihat di bangku taman sekolah sewaktu jam istirahat. “Tanti, Vida, atau Mita.”
“Ya. Aku harus memilih kalau aku tak memilih mereka!”
“Tak memilih salah satunya, berarti kau menyiksa ketiganya.” Toni melontarkan jawaban dengan bahasa yang berbau filosofis dan matematis. “Kalau kau memilih salah satunya, maka hanya dua yang menjadi korban.”
“Kau bodoh!” Greg menjawab dingin. “Tetap tiga.”
“Yang satu siapa?”
“Aku.”
“Tak paham aku dengan jawabanmu.”
“Makanya kau harus banyak belajar.”
Serupa raja hitam yang disekak mati di atas papan catur, Toni terdiam. Tanpa memperdulikan Toni yang masih keras berpikir, dia meninggalkan bangku taman. Memasuki ruang kelas untuk mengikuti pelajaran demi pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya.
***
Bel sekolah berdering. Menandakan jam pelajaran hari itu telah usai. Seluruh siswa berhamburan ke luar dari setiap kelas. Sebagian mereka menuju ruang parkir. Sebagian lainnya berjalan ke arah orang tua mereka yang tengah menjemput dengan mobil atau motor. Bagi mereka yang tidak punya motor dan orang tuanya tak terbilang berduit hanya berjalan kaki menuju jalan raya. Mereka pulang ke rumah dengan naik trans.
Di jalanan panas yang sibuk, Greg mengendari motornya dengan hati-hati. Dia tidak pernah main gas pol pada motornya, sebagaimana pengendara moge yang selalu bangga bila disebut raja jalanan. Dia selalu mentaati rambu-rambu lalu lintas. Menghentikan motornya bila ada pejalan kaki yang tengah melintas Zebra Cross. Selalu meminta keselamatan dari Tuhan saat memasuki terowongan Tol Krapyak yang diyakini sebagai sarang hantu. Makhluk-makhluk astral yang diakui banyak orang sering usil pada pengguna jalan.
Saat melintasi terowongan Tol Krapyak, Greg teringat tentang cerita dari dunia astral. Dunia yang ditinggali hantu-hantu yang sering menampakkan diri pada pengguna jalan di setiap malam keramat. Hantu-hantu yang diyakini sebagai arwah gentayangan dari para korban kecelakaan lalu-lintas.
Selepas terowongan Tol Krapyak, hati Greg kembali tenang. Namun jantungnya sontak berdegup kencang saat mobil angkot berhenti mendadak di depannya. Sambil mengatur napasnya untuk meredakan denyut jantungnya, ia berdoa. Mengucap syukur bahwa Tuhan masih melindunginya dari kecelakaan.
Tanpa harus mengomel pada sopir angkot yang ugal-ugalan, Greg kembali menjalankan motornya. Menuju rumahnya yang tinggal 3 kilo meteran. Sesudah menstandarkan motornya di halaman, dia memasuki rumah. Menuju ruang belajarnya untuk meletakkan tas punggung hitam berisi buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis di kursi depan meja kayu. Dengan langkah setengah terburu, dia menuju ruang makan. Karena rasa lapar, lotek masakan Surti ibunya amblas di perutnya.
Greg beranjak dari kursi. Berjalan ke arah warung lotek milik Surti yang terletak di samping kanan rumah itu. Berjalan di antara orang-orang yang tengah makan siang. Menuju dapur untuk membantu ibunya. Mencuci gelas, piring, garpu, dan sendok yang digunakan oleh para pelanggan. Mereka adalah sopir angkot dan bus kota yang penghasilannya selalu pas-pasan.
“Greg.” Surti yang kembali dapat bernapas longgar sesudah melayani para pelanggan itu berdiri di belakang Greg. “Berhentilah bekerja! Biarlah pekerjaan ini, aku yang membereskannya. Istirahatlah! Bukankah nanti habis Isyak kau harus kembali ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler?”
“Benar, Ibu,” jawab Greg ringan. “Tapi, aku harus membantu Ibu. Berkat kerja keras Ibu dan Ayah, aku dapat melanjutkan sekolah.”
“Tapi, aku tak mau sekolahmu gagal! Gara-gara kau selalu membantuku sepulang sekolah.”
“Percalah! Aku tak ingin mengecewakan Ibu dan Ayah.”
Surti yang sejak mula suka bekerja keras namun hidupnya selalu pas-pasan itu merasa bangga saat mendengar jawaban Greg. Karena baginya, kekayaan sejati dari orang tua ketika anak berusaha mewujudkan cita-cita luhurnya. Bukan anak yang selalu terlibat dalam tawuran antar pelajar sepulang sekolah.
Surti kembali ke warungnya yang mulai sepi. Sementara, Greg kembali ke ruang belajar sesudah menyelesaikan pekerjaan ibunya. Sejenak dia membuka-buka buku pelajaran sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang. Tidur dengan telanjang dada di saat Semarang serasa dibakar matahari.
***
Dering nyaring jam weker di meja belajar dengan jarum pendek tepat pada angka 7 membangunkan Greg dari tidur sore. Seusai mandi, dia melajukan motornya menuju sekolah. Mengikuti pelajaran ekstra kurikuler teater yang dibina Daru Gondrong. Seorang teaterawan kawakan yang semula pernah menuntut ilmu teater di Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta.
Greg paling awal tiba di sekolah. Tigapuluh tiga siswa di sekolah itu yang mengikuti pelajaran ekstra kurikuler teater belum ada yang menampakkan batang hidungnya. Bahkan Daru Gondrong yang selalu bilang bahwa modal bermain teater adalah kedisiplinan itu belum juga datang.
Sambil menunggu kawan-kawannya dan Daru Gondrong, Greg yang baru saja memarkir motornya di ruang parkir melangkah ke arah taman berlampu agak remang. Taman di mana dia sering menghabiskan waktu istirahat untuk ngobrol dengan Toni. Salah seorang kawan kelas yang telah menjadi sahabat karibnya.
Suasana sekolah terasa senyap. Tidak seorang pun yang tampak melintas di teras deretan kelas-kelas. Tidak tampak Mbah Jaya, si tukang kebun yang biasanya membersihkan sampah setiap sore di lapangan upacara di tengah bangunan sekolah. Tidak ada makhluk bergerak yang tampak di matanya, selain kucing hitam yang berjalan gontai melintas lapangan upacara itu.
Angin bertiup membawa bau serimpi. Bulu kuduk Greg meremang. Bau yang dia yakini bersumber dari pohon Randu di luar pagar bumi sekolah. Aroma yang sering ditangkapnya sejak tercatat sebagai siswa di sekolah itu.
Hasrat hati, Greg ingin meninggalkan taman. Namun sebelum mengangkat pantatnya dari bangku; muncullah Toni, Tanti, Vida, Mita, dan Wulan. Tak lama kemudian, Daru Gondrong beserta beberapa siswa kelas 11 dan 12 yang mengikuti ekstra kurikuler teater berdatangan satu persatu. Mereka kemudian berkumpul di lapangan upacara untuk memulai latihan. “Maaf semuanya, aku datang terlambat!”
Daru Gondrong yang berdiri di tengah lingkaran peserta ekstra kurikuler teater itu membuka pembicaran. “Di tengah perjalanan, aku kebanan. Tapi, baiklah. Sekalipun molor, kita tetap latihan. Sebelum latihan olah tubuh; kita latihan pernapasan, olah vokal, dan meditasi. Di dalam latihan pernapasan, kita tarik napas perlahan-lahan melalui lubang hidung. Napas kita simpan di diafragma. Kita keluarkan secara lembut lewat lubang mulut. Ada pertanyaan?”
“Menurut buku Drama Turgi karangan Rendra yang saya baca bahwa waktu menyimpan napas dua kali lipat waktu menghirup dan menghembuskannya.” Greg yang masih mencium bau serimpi itu angkat bicara. “Benarkah demikian, Bang Daru?”
“Tidak salah.” Daru Gondrong tampak senang atas pertanyaan Greg yang telah mengandung jawabannya. “Sesudah melakukan pernapasan yang benar sebagaimana dikatakan Greg, kita berlatih vokal. Latihan vokal memiliki mata rantai dengan latihan pernapasan. Sewaktu menghembuskan napas yang sebelumnya tersimpan di diafragma; kita sertai dengan melafalkan huruf vokal O, A, I, U, dan E panjang secara berurutan. Mari kita mulai dengan latihan pernapasan terlebih dahulu!”
Dengan serempak, seluruh peserta ekstra kurikuler teater itu mengikuti bimbingan Daru Gondrong. Berlatih pernapasan dan vokal dengan duduk bersila di hamparan rumput. Suasana senyap di dalam lingkungan sekolah kembali tercipta, sesudah mereka menyelesaikan latihan vokal dan mulai memasuki latihan meditasi.
Pada saat meditasi, Greg sangat sulit untuk melakukan konsentrasi. Hidungnya terus mencium bau serimpi. Bulu kuduknya kembali meremang, manakala mata batinnya menangkap bayangan sesosok lelaki hitam yang bertengger pada pohon Randu.
Jantung Greg mendadak berdegup kencang manakala telinganya mendengar raungan panjang dari salah seorang peserta ekstra kurikuler teater. Saat keedua matanya terbuka, dia menyaksikan Tanti mengggeram-geram sambil berjalan merangkak. Mata Tanti membelalak. Menatap bengis padanya.
Mengetahui Tanti kesurupan, Daru Gondrong cepat mengambil tindakan. Mengusir makhluk astral yang menguasai jiwa Tanti dengan mengusap kepala dan tengkuknya sambil berkomat-kamit membaca doa. Sesudah makhluk astral yang diyakini bersumber dari pohon Randu itu keluar dari tubuh Tanti, Daru Gondrong memerintahkan Greg, “Tolong bawa Tanti ke taman! Agar mendapatkan oksigen yang cukup. Tubuhnya sangat lemas sekali.”
Menyaksikan Greg membopong Tanti ke taman untuk direbahkan ke salah satu bangkunya, sontak api cemburu membakar jiwa Vida dan Mita.
“Greg!”
“Ya, Bang Daru.”
“Tolong carikan Mbah Jaya!”
Tanpa melontarkan jawaban, Greg berlari ke arah bangunan kecil di samping toilet sekolah. Sesampai tempat tujuan, dia mengetuk pintu bangunan yang tertutup rapat. “Mbah Jaya! Mbah Jaya! Simbah ada di dalam?”
“Siapa?”
“Ini, Greg.”
Greg mendengar langkah kaki Mbah Jaya yang bersandal jepit dari dalam bangunan itu. Selang beberapa saat, pintu bangunan itu terbuka dengan deritan menyayat hati. Melihat wajah Mbah Jaya yang kusut dan mata masih memerah, dia menyimpulkan kalau tukang kebun itu baru saja terbangun dari tidur pulasnya.
“Ada Apa Nak Greg?”
“Mbah Jaya diminta datang Bang Daru ke taman.”
“Memangnya ada apa? Kelihatannya penting sekali!”
“Ya, Mbah! Segera ikut aku!”
“Tunggu sebentar! Aku mau cuci muka dulu.”
“Tak perlu, Mbah! Masalahnya sudah sangat gawat.”
Mbah Jaya mengikuti langkah Greg. Menuju taman. Di mana, Tanti masih dibaringkan di bangku taman. Melihat Tanti belum pulih ingatannya; Mbah Jaya mengusap tengkuk, kepala, dan kening gadis itu. Sesudah terbatuk-batuk dan mengeluarkan lendir dari mulutnya, Tanti tersadar. Merasakan tubuhnya tak bertulang. Wajahnya tampak sangat pucat.
“Terima kasih, Mbah.” Daru Gondrong menjabat tangan Mbah Jaya. Memalingkan wajahnya ke arah Greg. “Tolong antarkan Tanti pulang ke rumahnya. Tak mungkin, ia dapat melanjutkan latihan teater hari ini.”
“Sebaiknya latihan teater hari ini dibatalkan, Nak Daru!” saran Mbah Jaya. “Pesanku, jangan melakukan kegiatan sekolah pada malam Jumat Kliwon.”
“Memangnya kenapa?”
Mbah Jaya membisikkan kata-kata ke telinga kanan Daru Gondrong, hingga seluruh siswa tidak mendengarkan perkataan itu. Sesudah mendapatkan pesan dari tukang kebun sekolah itu, Daru Gondrong membubarkan latihan teaternya. Tidak hanya Greg yang telah mengantarkan Tanti ke rumahnya; namun pula seluruh siswa, Daru Gondrong, dan Mbah Jaya meninggalkan taman itu.
Sekolah kembali senyap. Suasananya seangker kuburan tua.
***
Jalanan menjelang senja menuju rumah Tanti padat merayap. Kesempatan itu digunakan Tanti yang sekian lama memendam rasa cinta pada Greg. Tanpa sungkan, gadis itu melingkarkan tangannya ke perut Greg. Sekalipun tidak suka dengan apa yang dilakukan Tanti, dia hanya terdiam. Dia takut kalau melepaskan tangan Tanti akan menimbulkan bahaya besar. Karena tubuhnya yang masih lemas, Tanti bisa terjatuh di jalan beraspal.
Motor Greg berhenti di luar pintu pagar besi yang melingkari rumah Tanti.
Sesudah membuka pintu pagar itu, dia yang telah turun dari motor segera membimbing langkah Tanti. Menuju pintu rumah bercat coklat yang kiri-kanannya dihiasi jambangan bunga.
Seorang pelayan perempuan paruh baya berkebaya hijau pupus muncul dari
dalam rumah bersama terbukanya pintu itu. Sebagaimana Tanti, pelayan itu mempersilakan Greg untuk memasuki ruangan tamu yang terkesan cukup megah. Seperangkat kursi kayu berukir coklat muda yang melingkari meja dengan papan kaca riben. Setiap kursi dilengkapi dengan bantal bersarung warna krem dan berenda benang emas.
Semula Greg sungkan untuk memasuki ruang tamu yang terkesan cukup megah itu. Namun karena Tanti terus mengiba, Greg terpaksa memasuki ruang tamu itu. Meletakkan pantatnya di salah satu kursinya. “Aku tak melihat Papa dan Mamamu, Tan? Kemana beliau berdua?”
“Papa sedang ada urusan bisnis di Singapura. Mama sedang jalan-jalan dengan Kak Teo di Bali. Sejak Senin, aku hanya tinggal di rumah berdua dengan Bik Inah. Karenanya….” Tanti sejenak terdiam. “Jangan cepat-cepat pulang ya, Greg! Temani Tanti ya!”
“Tidak, Tan. Aku harus pulang. Kasihan Ibu sendirian di rumah.”
“Bukankah Ayahmu sudah di rumah sesudah waktu Isyak?”
“Tidak selalu.” Greg berpikir sejenak untuk membuat alasan yang logis. “Malam ini Ayah tidak pulang. Hotel tempatnya bekerja sedang banyak tamu.”
Wajah Tanti tampak berselimutkan awan sebagaimana langit di luar. Harapannya untuk dapat berduaan dengan Greg tiba-riba runtuh seperti bukit kapur yang didera hujan lebat. Pandangannya yang kosong jauh dilemparkan ke luar. Melalui jendela kaca yang terbuka kordennya. Menatap langit berawan.
“Kenapa kau tampak sedih, Tan?”
“Aku tidak ingin kau cepat-cepat pulang.”
“Sudahlah, Tan! Bukankah besok pagi, kita masih bertemu?”
“Baiklah kalau kau ingin pulang segera. Hati-hati di jalan ya!”
Greg bangkit dari kursi. Meninggalkan Tanti. Meninggalkan Bik Inah yang baru saja menyuguhkan minuman susu jahe dan sepiring lumpia buatannya di atas meja. Meninggalkan rumah itu dengan motornya. Menyusuri jalanan yang masih padat merayap.
Jauh sebelum Greg melewati terowongan Tol Krapyak menjelang tengah malam, hujan turun. Tanpa mengenakan jas hujan, Greg nekad melajukan motornya. Setiba di terowongan itu, Greg geragapan. Manakala motornya akan menabrak seorang perempuan berbaju putih yang tengah menyeberang jalan.
Setiba di rumah, Greg yang telah membasuh rambut dan tubuhnya di kamar mandi dengan air hangat itu masih terbayang dengan sosok perempuan berbaju putih di terowongan Tol Krapyak. Seusai makan malam bersama Surti, bayangan sosok perempuan berbaju putih itu masih menggelayut di pelupuk matanya.
Sungguh malam itu, Greg merasa gelisah. Keluar-masuk ruang belajar. Serasa bayangan sosok perempuan berbaju putih mengikutinya.
“Kenapa kau tampak gelisah, Greg?” tanya Surti yang baru selesai mencuci piring di dapur. “Apa yang tengah kau pikirkan? Apakah kau perlu uang untuk membeli buku atau beaya sekolah lainnya?”
“Uang yang Ibu berikan seminggu lalu masih utuh. Bukan uang yang aku pikirkan, tapi sesosok perempuan berbaju putih yang menyeberang jalan di terowongan Tol Krapyak, Bu. Aku hampir menabraknya.”
“Berdoalah sebelum melewati terowongan itu!” pesan Surti. “Agar, kau tak diganggu oleh penghuni-penghuninya.”
Sebelum memberikan jawaban pada Surti, Greg meraih androidnya yang berdering dari atas meja belajar. Menerima panggilan WhatsApp dari nomer Tanti.
“Hallo, Tan?”
“Ini bukan Non Tanti, tapi Bik Inah.”
“Ada apa. Bik?”
“Gawat, Nak Greg.” Bik Inah sejenak terdiam, namun napasnya yang ngos-ngosan terdengar jelas oleh Greg lewat speaker androidnya. “Non Tanti pergi tanpa pemberitahuan. Pergi tanpa perbekalan. Aku mohon Nak Greg mau membantuku untuk mencarinya.”
“Sebaiknya Bik Inah tinggal di rumah saja. Biarlah aku yang mencarinya.” “Terima kasih, Nak. Terima kasih.”
Greg memasukkan androidnya ke dalam saku celana panjang. Usai berpamitan dengan ibunya, dia meninggalkan rumah dengan motornya. Karena tidak ingin bertemu lagi dengan perempuan berbaju putih di terowongan Tol Krapyak, dia mencari jalan alternatif menuju rumah Toni. Sahabat setianya yang selalu menemani di saat suka atau duka.
Menjelang jam sepuluh malam, Greg menginjakkan kaki di halaman rumah Toni yang luas. Mengetuk pintu tiga kali hingga Toni yang baru saja membaca buku pelajaran itu keluar dari ruang belajarnya. Membuka pintu. Mempersilakan Greg masuk ke ruang tamu.
“Kedatanganku di rumahmu ini bukan untuk bertamu, tapi ingin meminta bantuanmu. Mencari Tanti yang telah pergi dari rumah tanpa pamit. Tanpa membawa perbekalan.”
Mendengar penuturan Greg, Toni bergegas mengambil jaket yang disampirkan di kursi belajarnya. Tanpa berganti pakaian, Toni mengikuti langkah Greg menuju motornya yang diparkir di halaman. Seusai distarter, motor itu melaju ke arah kota. Sungguhpun hampir setiap sudut kota dirambah, mereka tak menemukan Tanti. Ambang subuh, mereka pulang dengan keputus-asaan.
***
Serasa baru memejamkan mata, android Greg berdering. Toni yang baru saja selesai mandi itu mengabarkan bahwa Tanti semalam kerasukan di sekolah, tidak jauh dari pohon Randu.
Bergegas Greg pergi ke kamar mandi. Menggosok gigi dan mencuci muka, rambut, tangan, dan kaki. Tanpa sarapan, dia pergi ke sekolah. Setiba di halaman sekolah, dia mendengar kabar dari Toni kalau Tanti telah terbebas dari gangguan roh penghuni pohon Randu.
Greg lega. Namun dalam benaknya, dia penasaran hingga timbul pertanyaan pada diri sendiri. “Kenapa Tanti yang semalam meninggalkan rumahnya tiba-tiba berada di sekolah, hingga dirasuki roh penghuni pohon Randu?”
Sepanjang jam pelajaran sekolah, Greg tidak dapat memusatkan perhatiannya pada setiap pelajaran dari guru-gurunya. Persoalan Tanti terus berkelebat di dalam benaknya. Karenanya, diamemutuskan untuk menemui Mbah Jaya sesudah jam pelajaran terakhir.
Waktu yang ditunggu Greg telah tiba. Seusai bel pelajaran terakhir berbunyi, dia menemui Mbah Jaya. Manakala suasana sekolah telah sepi dari seluruh penghuninya, dia menanyakan soal penghuni gaib pohon Randu yang semalam merasuki Tanti.
“Cerita tentang penghuni gaib pohon Randu itu panjang, Nak Greg.”
“Tak menjadi soal, Mbah. Aku siap mendengarkan.”
“Sewaktu masih berusia duapuluh tahun, aku sudah bekerja sebagai tukang kebun di sekolah ini. Seminggu baru bekerja, aku menyaksikan salah seorang siswa bernama Jasman bunuh diri di dekat pohon Randu pada ambang malam Jumat Kliwon. Dia bunuh diri lantaran cintanya ditolak mentah-mentah oleh Sumi kawan sekelasnya yang terbilang paling cantik di antara para sisiwi.
Sehari sesudah Jasman meninggal, Sumi yang dicintainya pun tewas karena kecelakaan lalu lintas di terowongan Tol Krapyak. Anehnya. Sepeninggal Jasman, aku sering mendengar suara raungan dan geraman yang bersumber dari pohon Randu itu.
Setiap malam Jumat Kliwon, hantu Jasman selalu berseru, “Aku akan merasuki pada setiap siswi yang wajahnya menyerupai Sumi.’ Sebab itu, Nak Greg. Tanti yang telah dirasuki arwah Jasman itu karena mirip dengan Sumi.”
Sontak Greg terperangah. Menjelang sore, dia berpamitan pada Mbah Jaya. Sepanjang perjalanan pulang, cerita Mbah Jaya itu terus mengiang di telinganya. Sampai tidur malamnya pun, cerita itu tidak juga hengkang. Mengganggu pikirannya sebagaimana seorang teroris.[]