Masukan nama pengguna
Dia Menggali Kubur Sambil Bernyanyi
Cerpen Habel Rajavani
DIA menggali kubur lagi. Seperti warga kota lain aku ikut bertanya-tanya, siapa lagi yang akan mati dan dikuburkan di situ? Saya berharap yang mati hari ini adalah saya, dan yang dikuburkan di sana adalah saya.
Dia menggali kubur lagi sambil menyanyi. Lagu yang sama. Kadang dengan irama mars. Kadang seperti himne. "Cangkul cangkul cangkul yang dalam.... menanam jagung di kebun kita...."
Begitu terus, kadang ia lagukan lagu itu dalam gumam yang samar-samar, atau dengan senandung yang pilu menyayat kalbu.
Lagi kanak-kanak ciptaan Ibu Sud. Itu lagi favorit saya waktu sekolah dasar. "Ayo, kawan... kita bersama... Ambil cangkulnya, ambil pangkurmu... kita bekerja tak jemu-jemu." Aku diam-diam suka ikut mengikutinya bernyanyi, apabila kudengar dia bernyanyi ketika lewat di depan rumahku.
Mereka seakan-akan terkurung di kota kecil ini. Tak bisa ke mana-mana dan bersama-sama seperti hanya menunggu giliran untuk mati dan dikuburkan di pemakaman umum itu.
Dia, penggali kubur tua itu, seperti juru bicara malaikat maut, atau seperti pengirim sinyal dan jadwal kematian. Setiap kali dia menggali kubur, segera disusul oleh kematian salah seorang dari mereka, para penduduk kota kecil ini.
Tak ada yang ingat persis sejak kapan dia menggali kubur. Sudah sangat lama, kata orang. Tak ada lagi orang yang lebih tua dari dia di kota ini. Samar-samar, dari cerita yang tak bisa diyakini benar kebenarannya, ada cerita bahwa pada suatu ketika di kota itu tak ada lagi yang mau menjadi penggali kubur.
Lalu orang-orang memintanya melakukan pekerjaan itu. Mula-mula dia menolak. Selama tak ada yang menggali kubur, mayat-mayat warga kota dimakamkan dengan cara menumpuknya di satu lubang besar yang dalam di pinggir area taman makam kota itu. Dilempar begitu saja. Si tua marah dan menerima pekerjaan itu sambil mengutuk.
“Saya tidak akan bekerja untuk kalian yang mati, kalian yang akan mati karena pekerjaan saya,” katanya.
Waktu itu tak ada yang paham apa yang dia maksudkan, dan tak ada juga yang peduli. Yang penting sejak itu ada penggali kubur. Dan dia menolak untuk menerima gaji. Dan dia tak bisa dihentikan.
Sejak itu mereka seperti dikepung oleh ancaman. Menunggu kematian. Walikota tua sudah lama mati. Tak ada yang mau menggantikannya. Kota itu berjalan tanpa penguasa.
Dia menggali kubur lagi. Kali ini tiga lubang kubur. Akan ada tiga orang dari penduduk kota yang akan segera mati dan dikuburkan di sana? Siapa?
Sia-sia menghindar. Keluarga Rompirompeng, pernah diam-diam meninggalkan kota, hendak pindah ke kota lain. Di perbatasan kota mobil mereka menabrak tebing. Empat orang di mobil itu jadi mayat. Penduduk kota itu membawanya kembali untuk dikuburkan di empat liang kubur yang sudah digali oleh si penggali kubur tua sejak seminggu sebelumnya.
Penduduk kota ini seakan terteror sepanjang waktu oleh seorang penggali kubur tua itu. Ada yang diam saja, pasrah menunggu. Ada yang gelisah tak tenang.
Pernah ada seseorang yang tak tahan dan dengan sedemikian marahnya mendatangi si penggali kubur dengan pedang terhunus.
Waktu itu si penggali kubur sedang menggali kubur. Si penyerang tertebas pedangnya sendiri dan dikuburkan di lubang yang seakan-akan digali untuknya itu.
Pernah juga ada seseorang pensiuan tentara. Dulu dia penembak jitu. Istrinya meninggal karena keracunan makanan kedaluarsa, pada sore hari, ketika pagi harinya si penggali kubur menggali sebuah lubang kuburan. Itu lubang pertama yang dia gali setelah selama sebulan lamanya dia tak menggali apa-apa.
Si pensiunan tentara menyalahkan si penggali kubur.
Hari itu, ia membidik si penggali kubur yang sedang menggali dari atas pohon di hutan kota yang mengelilingi kuburan. Hari tiba-tiba hujan. Petir menyambar. Sang pensiunan tentara mati tersambar petir.
Ada banyak kejadian yang seperti itu.
Aku datang ke kota ini karena penggali kubur itu. Cerita tentang dia kubaca di www.decak.com. Aku ingin segera mati. Hidupku tak ada harganya lagi untuk kulanjutkan. Aku ingin mati tapi tak ingin bunuh diri. Itu cara paling buruk untuk mati.
Di kota ini aku mencari rumah tak jauh dari kuburan. Setiap kali aku bisa melihat dia menggali kubur dan aku senang dengan harapan yang dikuburkan di sana adalah aku. Tapi, sudah setahun aku belum mati juga. Mungkin jatahku adalah satu dari tiga lubang kubur yang sudah digali itu.
Subuh itu, sehari setelah si penggali kubur bikin tiga lubang, sebuah kecelakaan mengejutkan kota itu. Sebuah mobil terbakar dan meledak di pom bensin, saat mengisi minyak. Perempuan yang menyetir mobil itu dan anaknya terbakar. Tak ada korban lain.
Aku tak pernah lagi terkejut dengan berita kematian. Biasa saja. Juga ketika mengetahui bahwa kedua korban adalah anak dan istriku. Dua orang yang membuat aku ingin segera mati. Buat apa mereka menyusulku ke kota ini? Dua lubang terisi. Aku kesal, karena itu berarti kesempatan saya untuk mati segera tinggal tersisa satu lubang.
Ataukah ini isyarat bahwa satu lubang itu adalah memang jatahku? Anak dan istriku datang untuk mengajak saya mati sama-sama? Mungkin saja begitu. Aku mempersiapkan kematianku dengan baik. Aku membersihkan kamar. Aku ingin mati dalam tidur yang tenang. Dan aku tertidur.
Aku terbangun dengan tenang. Lho, aku belum mati? Aku melihat ke pemakaman, orang-orang sedang memakamkan seseorang.
Siapa yang mati? Aku bertanya pada seseorang yang lewat di depan rumahku. Orang yang menjawab dengan girang, "Penggali kubur. Dia bunuh diri malam tadi."
Maka, habislah harapanku. Tak ada lagi penggali kubur di kota itu dan harapanmu untuk mati seperti ketika aku datang ke kota ini pun musnah. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Anak dan istriku, mereka yang menyebabkan aku datang ke kota ini sudah lebih dahulu mati.
“Tuan, jadilah penggali kubur yang baru,” kata seorang warga kota.
Kupikir menarik juga tawaran itu. Setidaknya ada yang kukerjakan di sini. Soal mati toh bisa kapan saja. Semua orang pasti akan mati. Saya menerima tawaran itu.
Aku menggali lubang kubur pertama, sebagai percobaan. Aku menggali sambil menyanyi seperti penggali kubur yang sudah mati itu. Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam… menanam jagung di kebun kita…
Apakah ada yang mati setelah satu lubang kubur selesai kugali? Sehari berlalu, dua hari berlalu, seminggu berlalu, hampir sebulan tak ada yang mati… Aku pikir, seperti warga kota berpikir, kutukan itu sudah tak ada lagi…
(Pembaca yang budiman, pengarang cerita ini mengambil alih fungsi narator, karena tokoh cerita kita tak bisa melanjutkan ceritanya. Dia mati, dan dimakamkan di lubang kubur pertama dan yang terakhir yang dia gali. Itulah akhir dari cerita ini.)
© Habel Rajavani, 2024