Masukan nama pengguna
Rawa Bakau dan Misteri Pemburu Biawak
Cerpen Habel Rajavani
DAHAN Bakau kering yang dipikulnya terasa kian berat. Lumpur rawa yang ia tempuh kini makin dalam. Akar napas pohon api-api semakin rapat saja, membuat setiap langkah harus dipertimbangkan benar.
Hampir setengah tungkai kakinya terbenam. Pundaknya terasa sakit dan ia ingin sekali meletakkan beban itu, sebentar saja, ia menaksir sudah menempuh hampir separo perjalan dari hutan rawa ini menuju ke rumah, dan itu membuatnya bertahan untuk tidak berhenti dulu, sampai tiba di tegalan yang dibentuk secara alami oleh rawa. Ia takmendengar lagi suara ayahnya yang tadi berjalan di depannya.
Suara jejak kaki di lumpur semakin sayup terdengar.
Ayahnya pasti sudah mencapai tepi hutan bakau ini, pikirnya. Ia berusaha mempercepat langkah. Tapi, tenaganya semakin terkuras. Tiba-tiba ia merasa telapak kakinya teriris. Pasti ia menginjak kulit simping, kerang bercangkam tajam.
Sakit.
Perih.
Sebab, nganga luka di telapak kakinya bersentuhan dengan lumpur rawa yang asin. Tapi, ia terus saja berusaha melangkah. Meski kini dengan kaki kanan yang luka, dan itu membuat langkahnya pincang. Beban potongan dahan kayu bakau dipundaknya kian berat saja.
Ia memindahkan potongan dahan kayu bakau itu ke pundak kiri, lalu ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi. Kedua pundaknya kini punya beban sakit yang sama. Bajunya yang tak terkancing telah jatuh dengan keringat.
Langkahnya makin pelan dan berat. Potongan kayu ini terlalu besar untukku, pikirnya. Mestinya ayahnya tadi memberi potongan yang lebih pendek. Tapi ia tak mau menyalahkan ayahnya. Sebab tadi ia ditanyai dulu sebelum memikul potongan dahan kayu bakau kering ini.
‘’Sanggup, Ayah!’’ ujarnya setelah menimbang-nimbang kayu yang sudah dipotong Ayahnya, yang kini dalam perjalanan ke rumah kian terasa berat. Ia sampai kini sudah sampai di bagian lain hutan bakau itu. Tak lagi berlumput tapi seperti bergilir tumbuhan semak jeruju kini menghadang ke depan. Ia harus hati-hati memilih jalan jika tak ingin tertusuk duri-duri yang hunus di tepi-tepi daun tanaman itu.
Luka di kakinya menimbulkan sakit yang lain. Tak lagi perih akibat air rawa yang asin, tapi sakit oleh desakan tanah liat. Ia tetap saja berjalan pincang. Ia ingin melihat dan membersihkan luka itu, tapi percuma saja pikirnya kemudian. Sebelum sampai ke rumah luka itu akan tetap kotor oleh lumpur. Sebenarnya alasan utama adalah tak mau meletakkan kayu yang dipikulnya. Aku mau kuat seperti kuat, ujarnya dalam hati.
Sejak kecil ia sering ikut Ayahnya mencari kayu bakar di hutan rawa itu. Dulu ia hanya mencari buah pohon bakau yang bentuknya seperti pinsil dengan tutupnya. Atau berbagai buah pohon rawa lain yang bentuknya sangat menarik hatinya.
Ada yang seperti gasing, tandan pisang kecil, dan seperti hati ayam. Ia juga suka mencari kerang di lumpur. Satu-satunya yang ia takuti di rawa adalam biawak. Itik dan ayam di kandang belakang rumahnya sering dicuri oleh binatang pemakan daging itu.
Setelah agak besar ia mulai membawa potongan-potongan kayu kecil. Yak ada yang lebih membanggakan daripada keberhasilan memikul potongan kayu bakau kering itu hingga di rumah.
Lewat pedang jeruju, ia merasakan hari sudah semaki gelap. Godaan untuk meletakkan kayu yang dipikulnya kian besar. Tak ada salahnya meletakkan beban itu sebentar, pikirnya.
Tidak, itu artinya aku kalah, pikirnya lagi.
Sementara pikirannya berdebat dengan pilihan-pilihan itu, ia terus melangkah, meski langkahnya makin perlahan dan makin tertatih-tatih. Hampir saja tadi ia menginjak perangkap biawak. Umpan bangkai ayam membusuk di jerat itu. Di hutan rawa bakau ini, tersebar banyak sekali perangkap itu.
Beberapa kali ia pernah melihat lelaki tua pemburu biawak yang pendiam itu. Dialah yang memasang jerat-jerat itu. Setiap biawak yang tertangkap langsung ia belah, untuk diambil kulitnya. Lelaki tua itu hidup dari menjual kulit-kulit binatang tangkapannya, pikirnya. Pisau itu, pisau yang selalu tergantung tanpa sarung di pinggangnya pasti sangat tajam. Ia sering melihat pemburu biawak memikul kulit-kulit biawak hasil buruannya. Ia tak pernah tahu berapa tepatnya jumlah biawak yang masuk perangkapnya setiap hari, tapi banyak. Bertumpuk-tumpuk di punggung lelaki pemburu itu, sehingga ia terbungkuk.
Tak ada yang tahu persisnya siapa lelaki itu. Bagi anak lelaki yang memikul dahan kayu bakau kering itu, pemburu biawak itu selalu seperti begitu saja muncul dari rimbunannya hutan bakau. Ia selalu berpakaian gelap. Dan selalu pulang ketika senja sudah berubah sempurna jadi gelap.
Biawak-biawak itu seperti tak pernah habis. Setiap hari ada saja yang tertangkap. Setiap hari ada saja penduduk desa yang kehilangan unggasnya sebab dicuri oleh biawak-biawak itu. Karena itu, orang-orang kampung ini sebenarnya merasa tertolong oleh lelaki tua pendiam pemburu biawak itu. Tapi ada juga yang bilang, setelah menguliti biawak lelaki ini bisa menghidupkan lagi daging-daging biawak itu menjadi beberapa ekor biawak. Itulah sebabnya biawak di kampung itu seperti tak pernah habis.
Suara jangkrik-jangkrik dan serangga hutan makin riuh terdengar. Suara burung raja udang, murai batu dan sesekali elang makin melengkapi ritual senja di hutan bakau itu. Ia sendiri melangkah nyaris tanpa suara, kecuali dengus napasnya yang kelelahan. Dan sesekali bunyi tanganya menepuk nyamuk yang menggigit bagian-bagian tubuhnya yang terbuka. Dari arah punggungnya pantai mengirimkan suara-suara hempasan ombak.
Senja tak pernah lama. Segalanya berjalan bergegas. Suara-suara unggas dan serangga hutan bakau itu lindap, perlahan-lahan senyap. Tinggal kerlap-kerlip kunang-kunang di daun-daun pohon di hutan itu. Ia terkenang tugas di rumah. Menyalakan lampu minyak tanah, mengisi air tempat wudhu, menutup jendela, dan mengiapkan obat anti nyamuk bakar. Ia bergegas berjalan segegas yang ia dapat.
Sebenarnya ia sudah tertatih.
Akhirnya ia letakkan juga potongan dahan bakau…
Tidak! Ia tidak jadi meletakkan beban itu ketika melihat dimana ia kini berada. Ia sangat heran, kenapa tiba-tiba saja sudah berada di kuburan.
Lari? Campakkan dahan pohon bakau kering ini?
Oh, tidak. Tidak mungkin. Ia ingin berbalik arah.
Tapi kakinya seperti terikat. Ia terpaku, didepannya kuburan. Dibelakangnya sisa jingga langit yang ditinggalkan senja. Sayup-sayup dari mesjid kampung ia mendengar suara imam yang memimpin salat magrib, seperti wirid…berarti magrib sudah usai. Kenapa ia tak mendengar azan tadi?
Ada batu nisan yang seperti baru ditancapkan. Siapa yang dikubur tadi?
Ia merasa ada seseorang berjalan perlahan di belakangnya. Datang dari arah tenggelamnya matahari. Ia ingin berpaling, tapi seolah ada yang menahan lehernya yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan tegang. Dahan kayu bakau kering masih dipikulnya.
‘’Tak usah menoleh…’’suara itu begitu jelas terdengar. Suara besar seorang lelaki tua. Agak parau, dan seperti berasal dari kerongkongan yang dalam.
‘’Aku lelaki tua pemburu biawak,’’ lanjut suara itu, ‘’aku tak akan menganggumu, Anak.’’
‘’Kau harus menolongku, Anak,’’ suara itu tiba-tiba perlahan dan seperti penuh harap. ‘’Tak usah menjawab, aku tahu kau pasti mau menolongku. Aku sering melihatmu bermain di hutan bakau.’’
‘’Apa yang harus aku lakukan Pak…’’ ia bertanya setelah berhasil mengatasi ketegangan yang menyergap sejak ia tiba-tiba bersesat ke kuburan ini.
Ada nafas lega yang dihembuskan oleh lelaki pemburu biawak itu. Ia masih berada di belakang anak lelaki yang masih saja memikul dahan kayu bakau kering itu.
‘’Tolong hancurkan semua perangkap biawak di hutan itu. Aku tak memerlukannya lagi.’’
Setelah itu senyap. Anak lelaki yang memikul potongan dahan bakau kering itu tiba-tiba merasa sendiri. Desir angin mempertegas suasana sepi. Ke mana lelaki pemburu biawak itu tadi? Lalu kakinya terasa ringan, ia bergegas pulang.
“Kemana saja kau, Sur? Main bola dulu ya?’’ perempuan yang sedang menyiapkan makan malam untuk keluarganya itu menegur anak lelaki tertuanya. Mansur, anak lelaki itu baru saja meletakkan potongan kayu bakau di belakang rumah.
‘’Ayah kemana, Bu?’’ anak lelaki tak mempedulikan pertanyaan ibunya. Ia menyambar handuk, dan ember.
‘’Ke mesjid. Kamu belum sembahyang magrib, Sur?’’
‘’Ayah belum pulang?’’
‘’Katanya langsung tahlilan di mesjid. Lekas kau mandi.’’
‘’Ada yang meninggal, ya?’’
‘’Pak Jamin, si pemburu biawak. Kasihan, ia tak punya keluarga yang bisa mengurus. Mayatnya pun ditemukan beberapa hari setelah ia meninggal sendiri di gubuknya di tepi hutan bakau.’’
Anak lelaki itu teringat kejadian di kuburan yang baru saja dialaminya. Ia teringat pesan yang ia terima…
‘’Siapa namanya, Bu?’’
‘’Siapa?”
“Pemburu biawak itu?”
“Pak Jamin. Sudahlah tak baik menyebut-nyebut nama orang yang sudah meninggal. Lekaslah kau mandi. Sebentar lagi ayahmu datang.’’
Mansur bergegas pergi sumur.
© Habel Rajavani, 2024