Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,844
Mengarang Itu Tidak Gampang, Tuan
Komedi

Mengarang Itu Tidak Gampang, Tuan

Cerpen Habel Rajavani


MEREKA duduk berempat.

Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi. 

Saya duduk di sebelah meja mereka. Saya mendengar mereka berdebat. Kedai kopi sedang tidak terlalu ramai. Rupanya mereka sedang bekerja sama membuat sebuah Kisah. Yang mereka perdebatkan adalah siapakah yang telah memberi sumbangan terbesar pada keberhasilan kerjasama mereka itu.

           Saya saat itu sedang membaca membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Agaknya, orang yang ingin menjadi pengarang harus lebih tabah daripada yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain. Seorang dokter boleh bekerja di rumah sakit atau membuka praktek sendiri, apabila ijazah kedokteran sudah dalam kantongnya. Tidak demikianlah dengan seorang pengarang. Tidak ada universitas yang dapat memberikan ijazah sebagai pengarang kepadanya, walaupun di mana-mana terdapat Fakultas Sastra. Fakultas-fakultas itu hanya mengajarkan teori, tetapi praktek mesti dicari pengarang sendiri...

           Sambil membaca saya mendengarkan juga pembicaraan di sebelah meja saya.

           "Tentu saja saya yang punya peran paling penting," kata Si Tokoh. "Apakah ada kisah kalau tak ada tokoh? Tak ada tokoh, tak ada kisah," kata Si Tokoh.

           "Okelah, tak ada kisah, tak ada tokoh. Tapi, kalau cuma tokoh, tanpa alur cerita, tokohnya mau bikin apa? Cuma narasi sendirian? Tanpa plot tokoh mati. Tidak pernah bisa bikin kisah apa-apa," kata Si Plot.

           "Sebentar dulu, Tuan Tokoh dan Tuan Plot. Anda berdua bicara soal tokoh dan plot, tentang diri tuan berdua. Anda berdua bergerak dalam cerita dari waktu ke waktu. Artinya kalian memerlukan saya. Kalian harus memastikan diri dalam kurun waktu mana kalian berada," kata Si Waktu, "Anda jangan menyepelekan saya, dong. Tanpa saya cerita tak ada konteksnya. Dan cerita tanpa konteks adalah cerita yang tak berpijak, cerita yang pondasinya goyah."

           "Ah, sebuah kisah kadang hanya menyebut 'pada suatu hari', atau 'pada zaman dahulu'. Jadi waktu sangat tidak penting. Waktu hanya pelengkap saja," kata Si Tokoh.

           "Nah, apa yang kau sebut sebagai contoh tadi justru adalah bukti betapa pentingnya waktu. 'Pada suatu hari' dan 'pada zaman dahulu' itu adalah saya, adalah waktu. Mana bisa disepelekan. Kalau cerita memilih waktu yang salah terjadi anakronisme, dan itu cacat besar dalam cerita. Runtuh semua logika cerita," kata Si Waktu.

           "Tunggu dulu. Kalian lupa sama saya?" kata Si Lokasi. "Lupa ya? Tokoh, Plot, Waktu, kalian boleh bikin kisah apa saja. Tapi kisahnya mau dihadirkan di mana?"

           "Ya, bisa di mana saja. Di negeri antah berantah. Di sebuah kerajaan. Di negeri dongeng."

           "Nah, di manapun itu, artinya kalian perlu lokasi. Perlu saya, 'kan? Ingat, Tuan-tuan, di scene skenario itu, saya dan Tuan Waktu yang dituliskan. Begitu salah satu dari kami berganti maka scene berganti. Apa artinya? Artinya kami penting." 

           Saya tidak bisa membayangkan pembicaraan mereka itu akan berakhir seperti apa. Sebenarnya perdebatan mereka itu menarik sekali. Tapi, saya punya urusan lain. Saya ingin menyelesaikan membaca buku yang dulu saya beli di kedai buku bekas di Graha Bakti Budaya, TIM, Jakarta. Setelah menumbukkan puntung rokok ke asbak, saya membayar kopi dan saya pun keluar dari kedai itu.

Saya lihat mereka berempat masih saja berdebat. Semakin lama tampak semakin seru. Saya bertanya-tanya, sebenarnya mereka bekerja untuk siapa? Pasti ada seorang pengarang yang sedang memberdayakan mereka untuk menulis kisah.

 

***

 

           TENGAH malam Drusba datang ke rumah saya. Wajahnya nol. Seperti sedang kehilangan sesuatu yang penting. Saya tidak bertanya. Saya biarkan saja dia duduk bingung, saya lanjutkan membaca buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... Selain daripada itu fakultas-fakultas itu bukan hendak membentuk mahasiswa-mahasiswanya menjadi pengarang melainkan untuk mendidik agar mereka menjadi ahli sastra atau guru. Namun demikian tentu seorang pengarang yang mendapat kuliah di fakultas-fakultas serupa itu banyak manfaatnya. Kebanyakan di antara kita meski mencari sendiri. Akan tetapi pun mereka yang telah menamatkan universitas itu mesti terus mencari sebab pengarang adalah pencari ...

           "Bel, kau tak bertanya apa masalah aku?" akhirnya Drusba buka suara.

           "Tak aku tanya pun kau akan cerita sendiri. Kau kalau tak ada masalah tak akan datang ke rumahku ini, kan?"

           Drusba terdiam.

           "Baiklah, apa masalahmu?"

           Drusba pun berkisah tentang rencananya menulis sebuah kisah.

Tapi rencana itu tak pernah berhasil ia wujudkan sebab Si Tokoh, Si Plot, Si Waktu, dan Si Lokasi yang ia ajak kerja sama membuat kisah itu diam-diam berkomplot mengkhianatainya.

“Wah, kok bisa begitu?” tanya saya.

“Saya belum bisa menguasai mereka, ternyata. Susah sekali menjinakkan mereka.”

“Pengkhiatannya gimana tuh maksudmu, Drus?”

Drusba bilang dia ingin menulis sebuah cerita yang kuat. Apa itu cerita yang kuat? Ia bertanya, lalu ia jawab sendiri, yaitu cerita yang bikin pembaca kepo, alias penasaran, alias curious. “Hanya itu yang bikin pembaca terus menikmati cerita kita. Begitu pembaca tak penasaran lagi maka cerita kita dicampakkan, penonton keluar dari bioskop.”

           Dalam hatiku betul juga pendapat kawanku Drusba itu.

           “Lalu kenapa kau merasa mereka mengkhianatimu, Drus?”

           “Mereka sudah saya beri tugas masing-masing, eh, mereka malah berebut siapa yang paling berperan dalam cerita saya itu. Saya kesal, saya marahi mereka, eh mereka malah pergi dan saya tak tahu sekarang mereka berada di mana…”

           Saya langsung teringat melihat dan mendengar mereka berdebat di kedai kopi. Saya katakan itu pada Drusba. Memang benar, kataku, bahwa mereka memperdebatkan siapa yang paling berperan dalam cerita. Saya katakan itu pada Drusba. Saya tak tahu kalau mereka sebenarnya sedang ada kerjasama dengan kawan saya ini. Saya katakan itu pada Drusba.  

           "Lantas kemana mereka pergi?"

           "Saya tak tahu."

           Drusba terdiam lagi.

           Lama.

           "Kau baca apa, Bel?"

           "Kau mau baca?"

           “Tak perlu. Kau bacakanlah buatku.”

           Saya membaca dengan suara keras, buku "Seni Mengarang" Aoh K Hadimadja, terbitan Pustaka Jaya, Cetakan Kedua, 1978: ... dalam menulis hendaknya jangan ditunda-tunda. Kalau kita menunda karangan -- lebih-lebih untuk masa yang lama -- suka sulit kita mengumpulkan lagi pikiran dan semangat untuk melanjutkannya. Maka seberapa dapat menulislah dalam satu jalan. Tetapi yang paling penting, kita harus hidup dalam ciptaan, dan jika pikiran sudah begitu hidup tidak mungkinlah jiwa mati. Itulah salah satu segi yang cemerlang dalam penghidupan pengarang bahwa jiwanya tidak mati, bahkan tidak mau melempem. Jiwa pengarang selalu memancarkan cahaya yang berbinar-binar....

           "Drus...." Tak ada jawaban. "Drus?"

Kurang ajar. Kemana dia? 

           Aku lihat Drusba tak ada lagi. Kelakuan. Begitulah Drusba. Dia bisa tiba-tiba datang lalu perlu menghilang begitu saja.

  

ⓒ Habel Rajavani, 2024



 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi