Masukan nama pengguna
Tentang Seorang yang Ingin Melempar Tahi ke Wajah Koruptor
Cerpen Habel Rajavani
IA berlatih keras. Mula-mula ia membuat tiruan tahi yang pas untuk kebutuhannya. Tiruan tahi itu ia buat dari tanah liat, dicampur dengan pisang busuk yang dilumatkan lalu dicairkan dengan air dengan perbandingan yang pas sehingga ia menemukan cairan yang kekentalannya mirip dengan kotoran manusia yang keluar terburu-buru dari sistem pencernaan manusia lewat apa yang disebut dengan mencret.
Tiruan tahi itu lalu dia bungkus dengan kantong plastik tipis, yang cukup kuat untuk membungkus mencret artifisial itu, tapi juga akan menghasilkan cipratan yang hebat apabila menimpa wajah koruptor yang hendak ia lempar nanti.
Ia berlatih melempar dengan sasaran manekin bekas yang ia bawa pulang sebagai barang buangan toko di pasar Tanah Abang. Manekin itu ia beri peci dan dasi. Ia berdiri kira-kira enam meter dari manekin itu dan dari jarak itu ia lontarkan bungkusan tiruan tahi tadi. Lima lemparan pertama luput. Beberapa lemparan berikutnya mengenai dada dan bahu. Tentu saja ia belum puas dan sadar bahwa dia harus berlatih lebih keras.
“Harus kena wajahnya!” katanya pada dirinya sendiri.
Setelah berlatih keras lebih dari tiga bulan, ia pun yakin dengan kemampuannya melempar tahi. Pada latihan terakhir, semua lemparannya tepat mengenai wajah sasaran. Sekarang tugasnya adalah mencari siapa koruptor yang ingin dia lempar dengan tahi di wajahnya. Ini bukan pekerjaan yang sulit. Di negerinya perbendaharaan koruptor tak ada habisnya. Dari lurah sampai menteri, dari kepala BUMDES hingga direktur BUMN. Semua ada.
Dalam sebulan komisi antirasuah bisa menangkap 30 koruptor. Rata-rata seorang tiap hari. Seringkali pejabat yang ditangkap itu suami istri. Tak eksekutif, tak legislatif, semunya sama saja korupnya. Pejabat atau anggota dewan yang tertangkap basah dianggap sedang sial saja oleh teman-temannya. Partai pengusung pejabat korup itu pun dengan lihai berkelit. Di negerinya korupsi itu kayak arisan. Tiap hari menunggu siapa yang dapat giliran ditangkap.
Dia memutuskan untuk melempar koruptor yang sudah divonis bersalah. Itu untuk menghormati jugalah sedikit apa yang selalu disebut pengacara dan tim pembela koruptor itu sebagai asas praduga tak bersalah. Koruptor bukan koruptor sampai pengadilan memutuskan dia terbukti korupsi. Makanya, para tersangka korupsi itu masih bisa senyum-senyum di hadapan kamera televisi, melambai-lambaikan tangan seperti finalis Abang None, dan dengan fasih menjawab apapun pertanyaan wartawan dengan kalimat standar, “saya serahkan semuanya pada proses hukum. Kita ikuti saja…” Kita? Ah, kita katanya...
Dia membayangkan pada saat itulah dia melemparkan tahi ke wajah koruptor itu, yaitu pada saat si koruptor berada di depan kantor komisi antirasuah, sehabis mendengarkan vonis hakim tipikor, dengan jaket jingga, di hadapan kamera para wartawan.
Temannya bertanya kenapa ia ingin melempar tahi ke wajah koruptor? Ia bilang, ia ingin menebus rasa bersalahnya. Dulu dia pernah bekerja sebagai juru ukur di perusahaan Hutan Tanaman Industri atau yang terkenal dengan singkatan HTI nun di utara sebuah pulau besar di negerinya. Perusahaan itu milik seorang pengusaha besar. Untuk mendapatkan izin lahan sang pengusaha besar memasukkan nama anak penguasa di jajaran komisaris perusahaannya dan diberi sekian persen saham kosong. Maksudnya saham yang diperoleh tanpa menyetor modal sepeserpun. Ini praktek lazim kala itu.
“Ada skema kredit yang namanya dana reboisasi. Nah, lewat dana itulah negara dirampok. Empat kali dirampok… Dan saya terlibat dalam perampokan itu!”
“Empat kali bagaimana? Bagaimana pula kau bisa terlibat? Nyatanya kau kere juga sampai hari ini?”
“Itulah rasa sesal yang harus kubayar, meskipun hanya dengan melempar tahi ke wajah koruptor…”
Ia lantas menceritakan bagaimana negara empat kali dirampok lewat dana reboisasi, kebijakan yang katanya dibikin oleh orang-orang yang tidak bodoh. Pertama, lewat kebohongan jenis hutan yang dimohonkan untuk dijadikan kawasan Hutan Tanaman Industri. Harusnya itu lahan kritis. Nyatanya lahan yang dikavling itu adalah hutan produktif. Ada kayu gelondongan di sana. Memang ada izin untuk itu, kayu yang mau tak mau harus ditebang dari lahan boleh dijual bekerja sama dengan perusahaan negara. Nyatanya kubikan kayu yang dilaporkan jauh di bawah angka sebenarnya. Ini perampokan kedua.
“Perampokan ketiga, ini yang paling dahsyat, tiap hektar lahan hutan industri yang dibuka, oleh pemerintah diberi pinjaman dana kredit yang, ya itu tadi, namanya dana reboisasi. Di mana perampokannya? Luasan yang dilaporkan bisa bengkak tiga sampai empat kali dari luas lahan yang benar-benar dibuka dan ditanami. Bayangkan itu: bengkak sampai empat kali! Setiap hektar dapat pinjaman dana Rp3.5 juta pada waktu itu. Saya tahu persis soal ini karena saya juru ukurnya… Saya harus membuat peta palsu, dan membuat luasan fiktif sesuai arahan kaki tangan sang pengusaha besar...” katanya.
Ia melanjutkan.
Perampokan keempat, seandainya semua dana itu dikembalikan ke lahan – sesuai dengan luas lahan yang ditanami saja, yang seharusnya memang digunakan untuk pemupukan, penyiangan, penyulaman tanaman yang mati, maka hutan buatan itu pasti jadi. Nyatanya? Mungkin hanya seperlima dari dana itu yang kembali ke lahan.
“Bayangkan, Bung! Hanya dengan modal menggandeng anak atau kerabat penguasa, lalu berpura-pura serius membangun hutan tanaman industri, si pengusaha besar itu bisa merampok negara untuk mendapatkan dana segar dan itulah yang dia pakai untuk memodali bisnisnya yang lain…”
Teman lelaki yang ingin melempar tahi ke wajah koruptor itu manggut-manggut dan tampak ada juga kesal hatinya tampak di wajahnya itu. “Saya mengerti sekarang kenapa kau marah dan ingin melampiaskan rasa bersalahmu itu…” katanya.
“Kau tahu? Proyek hutan tanaman industri itu gagal. Dan lahannya bukannya dikembalikan ke negara eh malah sekarang di sana dibikin proyek besar yang didanai oleh negara. Ini sudah bukan perampokan lagi namanya… Tapi negara membeli miliknya yang dicuri oleh maling…” katanya.
Pada hari yang telah ia tetapkan ia berdiri dengan tenang di luar pengadilan tipikor. Ada seorang koruptor yang divonis bersalah. Dia berdiri tak jauh dari mobil rutan yang akan membawa koruptor itu ke rutan. Pada jarak yang sudah ia latih, ia melemparkan bungkusan tahi. Lemparan pertama tepat kena wajahnya. Lemparan kedua juga tepat… tahi itu pecah dengan spektakuler menciprat ke polisi yang mengawal, mengenai wajah para reporter dan fotografer, juga siapa saja yang berada di sekitar situ, penjual kopi keliling, pendukung si pejabat yang entah dibayar berapa berdemo di depan pengadilan sebelum sidang vonis itu dimulai, semua orang… termasuk menciprat ke si lelaki yang melempar tahi ke wajah koruptor itu, sebelum ia diringkus karena mengganggu ketertiban umum.
© Habel Rajavani, 2020-2023