Masukan nama pengguna
Bagaimana Makelar Suara Pilkada Bekerja
Cerpen Habel Rajavani
SEJAK semula Rimbong sadar keputusannya meminjam uang kepada jasa pinjol itu salah dan bakal merepotkan. Kini dia merasakannya. Bukan hanya merepotkan, kini dia bahkan terancam.
"Satu setengah miliar, transfer ke rekening saya. Waktunya seminggu lagi. Lewat dari masa itu kita berususan di kantor polisi," kata Wono, debt collector dari pinjol tersebut.
Rimbong tak sanggup berkata apa-apa kecuali mengiyakan. Dia sudah molor tiga bulan dari jadwal pelunasan yang dia sepakati. Dia sudah melunasi setengah dari pinjaman plus bunga. Sisanya, nah itulah masalahnya, kawannya yang mengorder alat-alat peraga kampanye itu menghilang. Sial betul…
Rimbong memesan barang-barang itu dengan harga murah, impor dari China. Dia bisa dapat harga murah karena mengorder dalam jumlah besar. Rimbong sebenarnya pemain lama di bisnis musiman, bisnis lima tahunan ini. Bisnis yang peluangnya datang setiap kali digelar pilkada, pileg, dan pilpres serentak.
Rimbong sudah menjual sejumlah asset bergerak, seperti mobil dan motor. Juga menggadaikan beberapa asset tetapnya. Itulah yang dia pakai untuk mencicil setengah pinjaman. Rimbong putar otak tapi ujung-ujungnya hanya menemukan jalan buntu.
Hari pencoblosan sudah berlalu. Beberapa caleg sudah ketahuan tak dapat kursi. Itu sebabnya temannya yang mengorder dengannya menghilang. Caleg yang mereka bantu, yang kalah itu, juga menghilang.
Rimbong selain sebagai pemasok materi akat peraga kampanye, juga menjadi operator lapangan. Sederhananya menjadi pengumpul suaralah. Bukan juru kampanye yang resmi terdaftar di KPU. Bukan juga konsultan politik. Kerjanya simpel, datangi calon pemilih, bujuk dengan janji uang, dan pada hari menjelang pemilihan bagikan. Kenapa menjelang hari pemilihan? Karena ini kayak lelang, kandidat lain juga akan menjanjikan hal yang sama. Nah, dari situ tercipta istilah serangan fajar. Karena serangan demi serangan terus datang silih berganti hingg fajar, menunggu berapa nilai amplop terakhir. Amplop terakhir harus lebih besar nilai isinya daripada amplop-amplop sebelumnya.
Rustamon, calon DPRD provinsi yang dipegang Rimbong punya modal lumayan besar. Maka amplop serangan fajar yang dibagikan Rimbong pun paling tebal.
“Mbong, sudah lihat hasil sementara DPRD Provinsi? Men
ang kita Mbong… suara kita paling tinggi. Calon separtai dan lain partai jauh di bawah kit, Mbong,” kata Rustamon, menelepon Rimbong.
“Selamat, Kanda. Saya main ke sana, ya, Kanda? Ada di kantor atau di rumah?” kata Rimbong.
“Di kantor DPRD, ke sinilah.”
Rimbong putar otak. Bagaimana memanfaatkan situasi ini. Rustamon adalah klien lama Rimbong. Dua pemilu sudah dia kerja sama Rimbong dan selalu mulus. Tahun ini bahkan dapat suara tertinggi.
Rimbong mengecek data peroleh suara kandidat lain yang separtai dengan Rustamon. Dari jumlah perolehan suara, partai ini bisa dapat dua kursi dari dapil di mana Rimbong merajai suara. Dua kandidat lain terpaut jauh, belasan ribu. Dengan selisih antara keduanya yang hanya sekitar dua ribu suara.
Rimbong melihat peluang di situ.
Dia menelepon Murdani, kandidat yang berada di urutan ke-3. “Wah, kebetulan ini, Mbong. Bagaimana ini, apa bisa kita atur suara kita supaya saya bisa ikut abang kita abang Rustamon?”
Murdani ini orangnya pelit. Rimbong tahu betul perangainya. Dari pada menghambur uang untuk serangn fajar dia mainnya di KPU lewat pengaturan suara kandidat satu partai. Itu permainan lazim. Risikonya sempit, paling ribut antarcaleg sesama partai.
“Kita atut, Bos… tunggu. Ini saya lagi sama Bang Rustamon,” kata Rimbong.
Rimbong menutup telepon lalu bertanya pada Rustamon. “Gimana, Bos? Kita mainkan?”
“Aman kan?”
“Aman, Bos. Suara-suara yang di bawah dia kalau dikumpulkan semua tak sampai 5.000 suara. Kalau suara kita lepas 5.000 pun masih jauh kita di atas. Tak terkejar. Kita perlu maikan sejumlah itu saja.”
“Kalau gitu kau mainkanlah…”
“Di angka berapa?”
“Terserahkah, Mbong. Aku minta 1 M aja…”
Rimbong menelepon Murdani.
“Bos, 3M ya?”
“Berapa suara itu?”
“3.000 suaralah… Kecil itu. Itu sudah masuk jatah kawan-kawan KPU.”
“Kalau saya tambah 3.000 suara saya jadi di posisi ke-2 ya?”
“Betul, langsung jadi. Selisih 1.200 suara di atas yang sekarang di posisi ke-2,” kata Rimbong.
“Haji Adin gimana?”
“Dia bukan orang yang ambisius. Kita tahu sama tahulah…”
“Okehlah. Kau atur baik-baik, Mbong.”
“Soal atur mengatur gampang. Ini bensinnya harus dipenuhkan sekarang, Bos. Waktu di KPU cuma hari ini, sebelum keluar angka resmi.”
“Saya transfer sekarang. Satu jam lagi ya. Saya suruh orang saya ke Bank.”
Satu jam kemudin, Imbong mengecek rekeningnnya di aplikasi. Masuk. Rekeningnya bertambah 3M. Dia segera ke bank untuk mentransfer ke Rustamon, 1 M, sesuai yang disepakati. Lalu menghubungi orangnya di KPU.
“Kami minta Rp1 M Bang Rimbong. Sekarang agak ketat, nih. Banyak saksi yang mesti kebagian juga. Belum lagi orang di bawaslu juga mesti dilayani.”
Rimbong tak pada posisi yang bisa nego dengan mudah. Waktunya mepet sekali. Kalau haru dipotong Rp1 M maka ada sisa Rp1 M dan itu tak cukup untuk membayar utangnya di pinjol. Terbayang wajah Wono yang seram itu akan semakin menyeramkan. Rimbong masih harus memutar otak untuk mendapatkan Rp500 juta.
Tiba-tiba teleponnya menerima panggilan masuk. Dari Haji Adin. Rimbong tak terlalu dekat meskipun kenal baik dengan politisi ini. “Assalamu ‘alaikum, Mbong? Aku tadi telpon bosmu Rustamon. Biasalah ini soal atur-atur suara. Kayaknya saya belum aman ini, Mbong. Bisa bantu kan, Mbong?”
Nah, bagai ulam dicinta pucuk pun tiba.
“Atur-atur gimana, Pak Haji?”
“Ya, kau pahamlah… Amankan posisiku itu. Aku dengar orang sebelah bermain ya..”
“Bentar, Pak Haji.”
Rimbong langsung menghitung lagi dan berpikir bagaimana meyakinkan Rustamon. Lalu dia menelepon Rustamon untuk melepas 2.000 suara ke Haji Adin. Sekali lagi, Rimbong meyakinkan Rustamon, dengan melepas 5.000 suara perolehannya dia masih sangat aman.
“Di dewan nanti, menurut saya lebih enak kalo Haji Adin yang jadi teman satu fraksi kita daripada Murdani. Tahulah, dia itu pelit sekali kan orangnya. Makanya tahun ini suaranya pun jauh turun. Kita lepas aja dia…”
Rustamon setuju, “pandai-pandailah kau atur,” katanya.
Maka dari Haji Adin Rimbong menerima transferan lagi Rp2 M. Dengan demikian posisi Haji Adin tetap di posisi kedua dengan selisih hanya 800 suara di atas Murdani. Soal itu para makelar suara yang main di KPU sudah jago mainnya. Begitu bensin masuk tangki masing-masing angka peroleh suara masing-masing caleg pun terkunci sampai hari pengumuman.
Setelah melunasi utangnya ke pinjol, hingga hari pengumuman hasil pemilu, Rimbong menghilang dengan rekening yang masih penuh dengan sisa uang Rp1,5 m hasil memakelari suara caleg DPRD. Puluhan kali telepon dari Murdani dan nomor-nomor lain yang tak ia kenal – ia duga itu pasti dari orang-orangnya Murdani – tak ia jawab.
© Habel Rajavani, 2024