Cerpen
Disukai
2
Dilihat
17,738
DIA BUKAN IBUKU...
Drama

Aku hanya diam menatap adikku yang sedari tadi menangis.

“Pokoknya abang tetap tak mengizinkan adik bertemu dengan dia!”

Adikku sesenggukan. “Tapi dia ibu kita.” Kata adikku sambil sesekali menahan isak. “Biar bagaimanapun buruknya, dia tetap ibu kandung kita. Wanita yang melahirkan kita.”

Aku mendengus. Satu-satunya kenyataan yang tak bisa kuingkari tentang wanita itu adalah aku terlahir dari rahimnya. Tapi perjuangannya selama Sembilan bulan mempertahankanku didalam kandungannya, perjuangannya saat melahirkanku dengan taruhan nyawa seakan tak ada artinya untuk dia. Begitu mudahnya dia meninggalkanku, meninggalkan ayah, meninggalkan adikku yang saat itu masih sangat kecil demi lelaki lain yang dia anggap sebagai cinta sejatinya. Begitu gampangnya dia pergi meninggalkan kami sekeluarga bertahun lamanya lalu kembali dan menginginkanku dan adik kembali padanya.

Jika bisa memilih, aku tak ingin terlahir dari rahimnya!

“Abang bilang tidak, ya tidak!” kataku keras. “Kenapa adik jadi keras kepala seperti ini? Mengapa sejak bertemu dengan dia adik jadi suka membantah perkataan abang? Apa adik tak ingat dengan pesan almarhum ayah dulu bahwa kita tak boleh berpisah? Walau apapun yang terjadi kita harus tetap bersama. Abang harus menjaga adik. Dan adik juga harus menjaga abang. Apa adik sudah lupa?”

Adikku tak menjawab. Hanya isak tangisnya saja yang terdengar semakin keras.

Jika tak terjadi sesuatu yang membuat hatiku terluka mungkin aku tak akan membencinya seperti ini. Tapi peristiwa dahulu, lalu wafatnya ayah dihadapanku saat aku masih remaja dan adikku masih kecil sungguh menyisakan trauma batin yang terus kusimpan dalam hati.

“Jangan pernah membenci ibumu.” kata ayah menasehatiku. “Jangan sekalipun menyimpan dendam padanya. Biar bagaimanapun juga dia adalah ibu kandung abang. Ayahlah yang salah karena tak bisa membahagiakan ibumu. Ayah telah menyia-nyiakan kesempatan dan gagal mendapatkan cinta ibumu hingga dia pergi meninggalkan kita. Maafkan ayah…”

Itu pesan terakhir ayah untukku. Tak sekalipun ayah mengajarkan dendam dan amarah pada wanita itu. Tak pernah ayah memberikan dendam untukku. Ayah selalu mengingatkan dan menasehatiku.

Tapi justru pesan-pesan ayah dan kenyataan yang berbedalah yang menjadi pemicu dendam dan amarahku pada dia.

“Adik ingin ibu. Adik ingin merasakan bagaimana rasanya punya ibu kandung. Adik iri melihat teman-teman adik yang punya ibu. Adik ingin merasakan bagaimana dipeluk ibu. Adik ingin merasakan itu.”

Sejak wanita itu meninggalkan kami, ayah mengambil alih segala tanggungjawab dan tugas dalam keluarga. Ayah berubah menjadi seorang ayah sekaligus sosok ibu untuk kami. Selain bekerja, ayah juga mengerjakan segala pekerjaan rumah lainnya. Ayah memasak. Mencuci baju. Memandikan adik. Bahkan disaat kesibukannya bekerja mencari nafkah, ayah masih sempat mengantar dan menjemput kami ke sekolah. Tak pernah sekalipun aku mendengar ayah mengeluh. Tak pernah sekalipun aku melihat ayah menangis mengadu merengek pada siapapun, bahkan kepada Allah sekalipun. Ayah melalui semua ujian ini dengan sabar. Dan itu terasa sangat indah untukku.

“Tapi dia bukan ibu kita!” kataku. “Dia telah meninggalkan kita. Dia tidak mencintai kita! Dia lebih memilih lelaki lain yang dia anggap sebagai cinta sejatinya daripada kita sekeluarga. Mungkin sebenarnya dia tak pernah menginginkan kita ada dalam kehidupannya karena selama ini dia tak pernah menginginkan pernikahan ini. Karena sebenarnya dia hanya terpaksa menikah dengan ayah atas keinginan kakek dan nenek. Apa adik tahu itu?!”

Aku mendapatkan kebenaran kisah itu dari nenek sebelah ayah. Aku tak akrab dengan kakek dan nenekku sebelah ibu, juga dengan saudara-saudara wanita itu. Aku memang sengaja menjauhkan diri dengan mereka semua. Karena setiap kali aku berada bersama mereka, meski mereka memperlakukanku dengan baik, setiap kali itupula aku merasa marah, kecewa dan benci dengan perlakuan dia padaku dan keluargaku.

Kata nenek, neneklah yang patut disalahkan. Karena neneklah yang menjodohkan ayah dengan wanita itu. Karena nenek merasakan dia begitu baik dan lembut. Nenek yang meminta mereka menikah dengan persetujuan kedua orangtua wanita itu yang juga merupakan sahabat karib nenek dan kakek. Dan kedua orangtua wanita itu setuju demi mendekatkan hubungan dan ikatan tali silaturahmi.

“Nenek minta maaf.” Kata nenek waktu itu. “Seharusnya nenek tak memaksakan keinginan nenek. Seharusnya nenek mengerti bahwa ibumu punya hak dalam dirinya sendiri. Ibumu berhak memilih. Seharusnya nenek menyadari bahwa ibumu tak pernah menginginkan pernikahan itu. Nenek minta maaf.”

Dan kini hubungan nenek dengan besannya tak lagi seakrab dulu. Aku menangkap rasa sesal dan bersalah dalam diri nenek yang membuat nenek seakan merasa malu pada dirinya sendiri.

“Kenapa abang begitu membenci ibu? Ayah tak pernah mengajarkan kita untuk membenci ibu, bukan? Ayah selalu menasehati kita untuk ingat dengan asal usul kita. Siapa kita. Siapa keluarga kita. Siapa ibu kita. Ayah selalu mengatakan itu. Abang ingat, bukan?”

Aku terdiam. Wanita itu datang tak lama setelah ayah meninggal. Dia datang dengan rupa dan wajah yang telah lama coba kuhapus dalam ingatanku. Dia datang dengan penampilan barunya yang terlihat sangat mewah dan berkelas. Dia datang bersama seorang lelaki yang memberi salam sambil mengulurkan tangan ramah.

Namun aku tak mengindahkannya. Aku tak memperdulikan mereka berdua. Kutarik adikku yang kebingungan kebelakang tubuhku. Aku tak ingin dia mengganggu hidupku. Aku tak ingin dia mengganggu hidup adikku.

 Tapi dia terus saja berkicau dengan mengatakan bahwa dia adalah ibu kami berdua. Dia datang untuk menemuiku dan adik. Dia meminta maaf untuk kesalahan yang pernah dia lakukan. Dia ingin aku dan adik tinggal bersamanya. Dia ingin menebus kesalahannya.

Aku tetap tak mengindahkannya. Aku mendiamkannya. Tapi adikku, seorang gadis remaja yang butuh perhatian lebih dari orangtua, mencoba melewatiku untuk memeluk wanita itu. Tapi aku menahannya. Aku menghalangi keinginan adikku.

Setelah sekian lama meninggalkan kami sekeluarga, membuangku, adik dan ayah dari hidupnya, begitu gampangnya dia ingin kembali dalam hidup kami?

Bagiku ini adalah karma untuknya. Setelah sekian lama menikah dengan lelaki itu, dia tidak diberikan keturunan oleh Tuhan. Seakan Allah ingin menyadarkannya bahwa ada dua orang anak kandungnya sendiri yang dia sia-siakan. Dia memang telah menjadi wanita yang berhasil bersama kekayaan dan kesuksesan yang dia miliki. Dia mungkin merasa bahagia karena bisa menikah dengan lelaki yang dia anggap sebagai cinta pertamanya.

Tapi kuasa Allah sungguh luar biasa. Dia tak dikaruniai seorang anakpun dalam pernikahannya dengan lelaki itu.

“Adik ingin ibu! Pokoknya adik ingin ibu!”

Kemarahanku kini memuncak.

“Baik!” kataku. “Silahkan jika itu keinginan adik. Adik boleh pergi bersama dia. Tapi ingat, jangan pernah lagi adik datang menemui abang. Adik boleh bersama dia dan meninggalkan abang yang selama ini menjaga adik. Adik boleh pergi meninggalkan orang-orang yang selama ini sayang pada adik seperti dia meninggalkan ayah dulu. Tapi ingat, jangan pernah lagi adik berharap bisa bertemu dengan abang. Jangan harap abang mau bertemu adik. Karena abang tak akan pernah mau menerima orang yang membuang keluarganya sendiri dari hidupnya demi orang lain. Adik ingat itu!”

Dan adikku terkejut hingga membuat tangisannya terhenti.

Itulah pertengkaran terakhirku dengan adik. Karena setelah itu adik mendiamkanku. Adik memang masih tinggal bersamaku dirumah ini, tapi semakin lama aku merasa adik semakin jauh saja.

Akupun akhirnya ikut mendiamkan adik. Aku juga mendiamkannya saat aku mengetahui kalau ternyata wanita itu sering menemui adik sepulang sekolah. Tapi aku tak melakukan apa-apa. Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Aku melihat raut ceria diwajah adikku. Aku melihat kebahagiaan diwajahnya. Sesuatu yang selama ini tak mampu aku berikan.

Aku tahu kalau wanita itu juga sering menghadiahkan adik barang-barang bagus. Handpone. Jam. Dan entah apa lagi. Aku tahu walau adik berusaha menyembunyikannya dariku.

Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengizinkan adik bersama wanita itu. Bagaimanapun juga aku tak boleh mengorbankan kebahagiaan dan masa depan adik kandungku sendiri. Aku tak akan bisa memenuhi segala kebutuhannya dengan segala keterbatasanku. Bersama wanita itu adik pasti akan mendapatkan yang terbaik. Kehidupan adik. Pendidikannya. Segalanya.

Adik sangat bahagia mendengarkan keputusanku. Adik memeluk dan menciumku sambil mengucapkan terima kasih.

Aku tersenyum. Entah sudah berapa lama aku dan adik tak seakrab ini. Aku membelai lembut rambutnya. Aku ikut merasa bahagia walau dalam hatiku masih menyimpan luka.

Kini aku bisa mengerti dengan keputusan ayah dulu ketika mengikhlaskan wanita itu pergi. Kini aku bisa memahami perasaan ayah yang merasa tak bisa memenuhi cinta pada wanita yang dia cintai. Karena kini aku juga merasakan hal yang sama.

Adik kini semakin sering bersama wanita itu. Adik bahkan menginap lebih lama dirumah wanita itu daripada dirumah ini, rumah kami. Dan aku tak pernah sekalipun melarangnya.

Tapi aku tetap tak bisa menerima wanita itu.

Hingga akhirnya aku mengambil sebuah keputusan untuk diriku sendiri. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah ini berpetualang ke tanah seberang bersama ajakan seorang teman.

Nenek terkejut. Nenek berusaha menahan ketika aku datang untuk pamit sambil menyerahkan kunci rumah dan meminta nenek untuk menjaganya.

Tapi keputusanku telah bulat. Rumah itu kini telah sunyi. Rumah itu seakan tak ada cinta lagi. Segala cerita yang pernah terjadi dirumah itu kini hanya menjadi sejarah yang mungkin tak akan pernah dikenang.

Nenek menghembuskan nafas menyerah dengan keputusanku.

“Apakah adikmu tahu?”

Aku menggelengkan kepala . Sudah beberapa minggu belakangan ini aku tak bertemu dengan adikku. Adik tak pernah lagi datang mengunjungi rumah ini. Adik bahkan tak pernah lagi menghubungiku dan selalu terasa sibuk kala aku mencoba menelponnya.

Mungkin saat ini adik sedang menikmati kehidupan barunya. Mungkin kini adik bahagia dengan keluarga barunya.

Tapi aku tak menyalahkan adik. Sedikitpun aku tak menyalahkan adikku. Aku mencoba menerima semua ini, mencoba ikhlas seperti keikhlasan yang dirasakan ayah dulu. Walau orang yang kusayangi kini semakin menjauh dariku, tapi rasa cintaku pada adikku tak akan pernah menjauh.

Aku pamit pada nenek setelah mencium tangan dan pipinya. Aku berpesan pada nenek untuk tidak secara sengaja menceritakan semua ini kepada semua anggota keluarga, terutama pada adik, kecuali jika adik sengaja datang mencari dan menanyakanku. Aku berpesan pada nenek untuk tidak menyalahkan adik.

Nenek tak menjawab. Nenek hanya menangis dan memelukku erat untuk kemudian menciumku berulang kali.

Aku mencoba kuat didepan nenek. Setidaknya aku harus berpura-pura kuat. Tapi usahaku untuk tak menangis akhirnya tak kuasa kutahan ketika kakiku melangkah keluar halaman rumah.

Aku menangis. Aku menyembunyikan air mataku yang tak kuasa lagi kutahan dari hadapan nenek…

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)