Masukan nama pengguna
Tiba-tiba suara salam berkumandang di depan rumah. Aku matikan kompor sebentar sembari sedikit merapikan penampilan. Langkah melaju untuk menemui sang tamu yang mungkin datang dengan membawa hal penting.
Melihat sosok di depan pintu, aku seketika kaku untuk menyapa. Wajahnya tak cukup berseri. Matanya menelusuri sudutku yang sempit. Entah penasaran, curiga, atau sekadar bosan pada kesehariannya. Satu hal pasti, dia selalu hadir di hadapanku sebagai panelis.
“Mangga, silakan masuk!” sambutku, memendam kerisihan.
Dia melangkahkan kaki melewati pintu. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri seraya mengendus-endus, melacak sesuatu.
“Maaf, ada apa, ya? Ada yang bisa dibantu?” tanyaku berhati-hati.
Pura-pura tak mendengar. Dia abaikan pertanyaanku, dan malah berjalan ke arah dapur. Tanpa permisi, tanpa menengok ke arahku.
“Lagi masak, ya?” Dia mengamati isi wajanku, lalu menyoroti badanku.
Kenyamananku makin terdesak. Ada getir yang menyesak ke dalam dada.
“Uuuuhhh! Anak perawan rajin bener masak mulu. Emang hobinya masak, ya? Enak deh pokoknya ada perawan yang pinter masak di rumah ini,” ucapnya dengan nada meliuk-liuk.
Kalimatnya terdengar seperti pujian, tetapi raut yang terpancar darinya tidak menyiratkan kekaguman. Pilihan kata-katanya jauh dari kesan asli.
“Iya. Ada yang bisa dibantu, Bu?” Aku gali lagi maksud dan tujuannya berkunjung ke rumahku.
Aku tidak mau meladeni pernyataannya. Anggap saja ucapannya sebagai asap yang mengepul dari atas wajan. Jangan terpancing untuk kemudian membuat dia seakan-akan korban yang digigit oleh tindakannya sendiri. Aku masih menghargai dan menghormatinya sebagai orang tua.
“Gadis-gadis di kampung ini mah kalah sama kamu. Enaklah kalau ada perawan yang hobi di dapur,” ucapnya, tersenyum pahit.
Ya, perawan. Lambungan kata yang repetitif bergaung lantang, penuh maksud yang berlawanan.
Mungkin baginya, menyindir merupakan satu-satunya cara untuk merasa lebih unggul, karena hidup telah terlalu sering mengalahkannya. Atau mungkin dia melihatku seperti cermin masa mudanya sendiri: hilang, tak bisa diulang, dan harus ada yang ditertawakan agar tak terasa terlalu menyakitkan.
Suka? Hobi? Aku hanya berjuang untuk bertahan hidup.
Apa yang salah dari seorang pria yang setiap hari mengolah makanan dengan bumbu dan perkakas di atas tungku? Melakukannya pun di rumah sendiri. Tidak menumpang di perapian orang lain dan tidak mengemis untuk bisa mengobarkan aroma sedap (mengisi perut).
Melelahkan. Menghadapi dia sejak awal, dari masa ketika aku memasak karena terpaksa hingga aku tumbuh dewasa dan terbiasa. Hingga akhirnya aku menyadari itu bukanlah sebuah kesalahan, melainkan cara mensyukuri hidup. Di dunia ini tak ada kemampuan yang sia-sia.
Kutarik napas dalam-dalam. Kali ini, aku merasa perlu untuk meluruskan asumsi atau pemikirannya. Sebelum bertutur, aku pandangi dia sesaat.
Aku sebenarnya salut dengan statusnya sebagai ibu tunggal dengan empat anak. Dia berjuang sendiri, menawarkan barang dan uang secara kredit dari satu rumah ke rumah lain. Banyak yang bilang dia gigih, tangguh, tak mudah menyerah. Hanya saja, sepanjang yang kutahu, dia juga sering masuk ke celah pintu yang terbuka, melihat yang orang lain kerjakan—kadang menawarkan bantuan, kadang sekadar mencari bahan perbincangan.
Mungkinkah dia didekap kesepian? Mencari pelarian serta pelampiasan atas kepenatan hidupnya. Entahlah.
Dia memang baik dan kadang ramah di permukaan. Sayangnya, di balik itu, aku lebih sering bertemu satirnya yang menyudutkan dan menyentil harga diri. Dia selalu muncul, bertandang, dengan premis yang sama—seolah-olah menyaksikan aku memasak merupakan hal yang tabu.
Aku memang sudah terbiasa menerima tatapan yang menjatuhkan, bisikan lirih di belakang punggung, bahkan gelak tawa kecil yang hanya bisa terdengar oleh mereka yang merasa lebih “normal”. Meskipun begitu, tetap saja, setiap kali ia datang, rasanya seperti dihantam di tempat yang sama. Luka lama itu tidak pernah betul-betul sembuh, hanya tertutup kulit tipis bernama ketabahan.
Hah! Tak pernah kusangka bahwa berada di dapur akan membawaku pada pertarungan mental yang dilematis.
Dulu, aku mengira diam adalah cara terbaik untuk bertahan. Namun, semakin aku membiarkan dia (atau mereka) bersuara, semakin dia merasa berhak untuk menempelkan label, memberi pendapat, dan mengatur batas antara laki-laki dan perempuan. Lama-lama, menelan lidah umpama menyetujui segala anggapan yang dia sematkan kepadaku.
“Siapa yang perawan? Apa dengan diri saya yang seperti ini, saya terlihat seperti anak gadis? Memangnya jika seorang laki-laki memasak, anehnya, di mana? Apa ini sesuatu yang haram?” Aku tebalkan suara, menatapnya dengan tegas. Jujur, aku tidak berniat untuk menanggalkan rasa hormat.
“Em… em…” Dia gelagapan. “Sa… saya cuma seneng aja lihat kamu ma… masak. Kok ma… mau gitu ngerjain kerjaan dapur dan beberes rumah juga,” sambungnya terbata.
Sesaat dia tampak kehilangan kata. Mungkin dia baru sadar bahwa setiap ucapannya bisa menusuk. Atau mungkin, dia hanya tidak terbiasa melihat seseorang membalas. Di kampung ini, orang sepertiku harusnya diam saja, tunduk, senyum-senyum, lalu masuk ke dapur lagi.
Tidak. Pagi ini, dia berhadapan dengan versi diriku yang tidak lagi ingin sekadar bertahan. Dia harus mengerti tentang sebuah perlawanan supaya tak melulu mengusik ranah domestik yang bukan domainnya.
“Apakah memasak itu hanya tugas perempuan? Apakah memasak itu terikat dengan kodrat? Asal Ibu tahu, memasak itu skill atau keterampilan hidup, tidak ada kaitannya dengan tugas perempuan atau laki-laki. Siapa pun berhak mempelajarinya tanpa harus mendapat cap bahwa laki-laki yang memasak itu sesuatu yang tabu, melanggar norma, dan tidak normal.”
Huh! Jantung berdegup tak berirama. Sementara itu, dia menyampingkan pandangan. Aku pun tergoda untuk memendarkan semua uneg-uneg.
“Saya dari dulu diam. Tak peduli Anda katakan saya gadislah, saya perawanlah. Tapi coba lihat sekeliling Anda! Mungkin anak Anda tidak harus merasakan yang saya rasakan karena Anda diberikan kesempatan untuk menemaninya hingga dewasa. Sedangkan saya, ibu saya meninggal saat saya berusia 9 tahun. Lantas, siapa yang menyajikan makanan di atas piring jika bukan saya yang memasaknya sendiri? Salahkah ketika saya juga harus mengurus keluarga saya sendiri?” tandasku, nyaris tanpa jeda.
Aku paham. Aku tahu bahwa ada baris kata yang tidak sepatutnya aku laungkan. Aku tidak perlu melakukan komparasi. Hanya saja, dia benar-benar menantang emosi.
“Ya, maaf deh kalau gitu,” ujarnya, tak berani mengadu mata denganku.
Aku bukan tong sampah, bukan pula kolam air yang tidak memiliki gelombang. Aku juga bisa menggulung tatkala harkat dan martabatku terus diinjak-injak dalam dingin yang senantiasa kuhembuskan.
Sejatinya, di lain sisi, aku berusaha menelaah setiap “penghakiman” yang aku terima. Barangkali maksudnya memuji, atau dia ingin akrab denganku.
Akan tetapi, pujian bisa dilantunkan dengan kalimat yang romantis, bukan?! Masih banyak pilihan diksi yang tidak mesti mendegradasi kepercayaan diri seseorang. Pun, jika hendak berkawan sepantasnya menjulurkan tangan, bukan menajamkan lidah untuk bersalaman.
Apa aku terlalu terbawa perasaan? Segampang itukah aku tersinggung?
Jika dia berpikir bahwa pria yang sehari-hari berkutat di dapur itu tidak jantan, haruskah aku adu kekuatan untuk membuktikan maskulinitas? Aku bisa menggergaji bambu, membelah kayu dengan kapak, memanggul sekarung beras, mengangkat batu besar, membuat tanggul kehidupan, dan membangun waduk untuk menampung kesedihan.
Aku kembali menyalakan api. Kubiarkan dia mematung. Terserah dia mau marah atau sakit hati. Juga, mau menyebarkan gosip tentangku yang dirasa kurang ajar, aku tidak akan melakukan klarifikasi.
Bila dia terluka atas ucapanku, bagaimana dengan kata-kata yang dia lontarkan kepadaku? Tidakkah dia menimbangnya terlebih dahulu? Bukan aku habis kesabaran, melainkan aku punya hak untuk melakukan pembelaan.
Keringat menceplak di pakaian. Ada kelegaan. Ada sesal. Ada-ada saja bahan dosa yang menghampiri. Padahal, aku selalu berupaya tak memantik konfilk.
Aku lekas mengajukan permohonan maaf dalam hati kepada Tuhan. Selepas kejadian ini, aku harus menimba lagi persediaan sabarku.
Ya, setiap orang memanggul beban masing-masing, tak peduli betapa ringan atau berat yang tepancar dari luar. Mungkin, dia (dan mereka) tidak sepenuhnya jahat, hanya sulit untuk memahami. Atau terbelenggu mindset yang keliru yang membudaya secara sistemik. Terlalu lama terkungkung oleh pikiran bahwa dunia ini harus dibagi menjadi dua: yang kuat dan yang lemah, yang di dapur dan yang di luar rumah.
Kenyataannya, hiidup tak sesederhana itu. Tak jarang, yang di dapur justru sedang menyelamatkan dunia dari kelaparan, dari sepi, dari kehancuran yang tak berbunyi.