Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,796
BUNUH DIRI = AQIDAH?
Religi

Dan ketika seorang anak manusia kembali kehadirat yang Esa, maka putuslah segala hubungannya dengan dunia ini kecuali tiga perkara; amal yang baik, doa anak yang soleh dan ilmu yang berguna….

Aku memang sengaja menyakiti hatinya. Aku memang sengaja melakukan itu agar dia membenci dan melupakanku. Aku memang sengaja melakukan itu.

Terlalu berat kurasa jika ku teruskan hubungan ini. Sangat berat malah. Hubungan kami tak pernah disetujui oleh keluarganya. Telalu banyak perbedaan yang ada diantara kami. Status, kekayaan, derajat, dan keturunan adalah contoh perbedaan itu. Tapi ada perbedaan yang sangat kentara dan benar-benar tak bisa diterima oleh orang tuanya. Agama.

Ya, aku dan dia memiliki keyakinan yang berbeda. Dan itu merupakan sebuah perbedaan yang sangat besar. Kami tak bisa terus berpura-pura bahwa tak ada penghalang dalam hubungan kami ini. Kami tak bisa menyingkirkan fakta bahwa kami berasal dari dua keluarga yang memiliki keyakinan yang berbeda yang sama-sama menganggap bahwa agama yang kami miliki adalah agama yang terbaik. Kami juga tak bisa menyembunyikan fakta bahwa kedua orang tua kami merupakan pribadi yang alim dan taat dalam menjalankan ibadah masing-masing. Kami tak bisa melupakan itu.

Tapi itulah cinta. Dia muncul begitu saja dihati tanpa pernah mempermasalahkan semua perbedaan yang wujud di dunia ini. Karena tujuan akhir dari perjalanan cinta itu sendiri adalah mendapatkan kebahagian. Saling memberi segala kelebihan yang kita miliki dan menerima segala kekurangan pasanggan kita serta menjaga semua rasa bersama agar kelak bisa hidup bahagia dengan orang yang kita cintai.

Cinta datang mengisi hati kami ketika kuncupnya mulai merekah indah. Ketika wanginya mulai menebar memberikan bau harum menenangkan hati. Ketika indah warnanya memberikan kesejukan dijiwa dan raga.

Tapi aku juga menyadari bahwa perbedaan keyakinan yang kami miliki bukanlah sesuatu yang mudah untuk diketepikan begitu saja. Karena untukku dan keluargaku, calon pendampingku harus mengikuti aqidah yang kumiliki. Dan keluarganyapun memegang prinsip yang sama.Maka secara perlahan dan lembut akupun mulai memasukan pemahaman agama yang aku miliki padanya. Agar dia memiliki keyakinan yang sama denganku. Dan perlahan tapi pasti dia mulai memahami dan mengerti dengan keyakinan yang kumiliki.

“Muhamad itu contoh tokoh yang hebat, ya.” Katanya. “Awalnya beliau seorang buta huruf, tapi beliau bisa menjadi pemimpin dari umat yang begitu besar didunia ini. Beliau juga adalah seorang laki-laki yang berjuang membebaskan dan memerdekakan hak-hak kaum wanita agar mendapatkan derajat dan martabat yang layak di muka bumi ini. Semua itu tak mungkin terjadi jika beliau tak memiliki akses langsung dari yang Esa. He is the greatest Messengger in the world!”

Aku tersenyum lembut. Wajah orientalnya terlihat semakin cantik di mataku.

"Jadi kamu benar-benar yakin bahwa nabi Muhamad itu merupakan utusan dan pesuruh Allah?”

Dia tersenyum. “Ya.”

“Berarti kamu sudah separuh muslimah. Kamu sudah 50 persen menjadi wanita islam.”

Dia menatapku tak mengerti.

“Karena syarat untuk masuk islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan kamu sudah mengucapkan dan meyakini separuhnya yaitu meyakini bahwa Muhamad itu utusan Allah.”

Dia tersenyum lembut

Tapi aku tak bisa melanjutkan memasukkan pemahaman agamaku padanya tentang ketuhanan. Tentang Tauhid. Terlalu berat dan mendalam karena dalam dirinya sudah tertanam pemahaman tentang tuhan yang diyakini keluarganya. Dengan keterbatasan ilmu agama yang kumiliki aku belum punya kemampuan dan kapasitas untuk menariknya keluar dari agamanya untuk mengikuti agamaku. Karena masalah ketuhanan adalah sesuatu yang sangat sensitife.

Haruskah aku menggunakan cinta untuk menariknya agar dia mengikuti agamaku?

Tapi rasanya itu tak layak aku lakukan. Aku ingin dia masuk kedalam agamaku karena keinginan dan pemahaman yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Bukan karena sesuatu yang sebenarnya tak layak untukku puja secara berlebihan.

Cinta.

Tapi disinilah awal kesalahanku.

Keluarganya kini mulai menyadari perubahan pada dirinya. Dia tak lagi aktif dalam menjalankan ibadahnya. Dia juga sering berdebat dengan keluarganya tentang agamanya. Dan kosekwensi dari segala perubahannya itu adalah pada hubungan kami. Dia kini dilarang untuk bertemu denganku. Segala akses dan kesempatan ditutup untuknya. Dia kini hidup dalam proteksi berlebihan keluarganya.

Semula aku tak menyerah. Dia juga tidak. Kami tetap berusaha menemukan cara untuk bisa bertemu. Bahwa cinta akan semakin kuat bergelora jika ada halangan yang datang menerpa. Disitulah kita merasakan bahwa cinta kita sedang diuji. Dan dengan cintalah kami kuat untuk bertahan.

Tapi semuanya berubah saat papanya datang ke rumahku. Papanya bertemu dengan keluargaku dan berbicara baik-baik dengan ayahku. Aku hanya diam mendengar. Intinya papanya meminta padaku untuk tidak lagi mempengaruhinya. Papanya akan menghormati keluarga besarku seandainya aku bisa menghormati ajaran dan keyakinan yang mereka miliki. Dan mereka tak akan menganggap rendah padaku dan keyakinanku jika aku bisa menjaga hak dan kebebasan beragama yang mereka miliki.

Ayahku mengerti. Dan ayahku menyanggupi permintaan papanya. Tapi setelah papanya pulang, berbagai pertanyaan dan protes langsung keluar dari mulutku. Tapi ayahku tetap tenang menanggapinya. Ayahku memberikan pengertian yang sangat menyejukkan hatiku. Bahwa islam sangat menghormati perbedaan agama yang ada didunia ini. Dan jika aqidah islam itu memang benar hidayah untuknya, walau berjalan dibara api atau berenang dilautan luas sekalipun, semua itu tak akan mempengaruhi keyakinannya. Aqidah akan datang dan menjadi kekuatan untuknya bertahan.

Aku mengerti. Karena itulah aku meninggalkannya walau sebenarnya berat untukku karena aku sangat mencintainya. Aku begitu kasihan dengan penderitaan dan tekanan yang dia dapatkan dari keluarganya. Kukatakan padanya bahwa islam memberikan tanggung jawab yang sangat besar pada tiap-tiap umatnya. Setiap orang bertanggung jawab kepada apa yang dia lakukan. Tak ada istilah dosa waris yang membuat seseorang perlu di”suci”kan dahulu saat dia masih bayi. Jadi segala keputusan ada ditangan mereka sendiri dan mereka bertanggung jawab dengan apa yang mereka lakukan nanti saat kelak bertemu dengan sang pencipta.

Disinilah kebodohanku! Aku mengatakan semua itu seolah-olah tak memiliki perasaan sama sekali. Aku seolah-olah tak memikirkan apa yang kini dia hadapi. Aku begitu bodoh!

Maksudku melakukan itu hanyalah agar dia sadar, berpikir dan menemukan aqidah itu dengan cara dan kekuatannya sendiri. Bukan karena cinta yang menjadi penyebab utamanya.

Tapi aku lupa. Bahwa jika kita mencintai seseorang hingga terasa begitu menyakitkan, maka rasa sakit itu tak akan lagi terasa menyiksa karena semua itu berubah menjadi rasa cinta yang mendalam. Rasa sakit itu seolah berubah menjadi “Imunne” dan kekuatan untuk bertahan dan berjuang mendapatkan akhir dari sebuah cinta. Kebahagian.

Tapi tak semua rasa sakit pada cinta itu berakhir dengan kebahagiaan. Sebagian darinya malah berakhir menyedihkan.

Seperti dia!

Aku hanya bisa diam menangis sambil menggenggam erat tangannya saat dia terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Sebuah tabung infuse berisi darah mengalir dari selang kecil memasuki lengan kanannya. Dia telah kehilangan banyak darah dari tubuhnya karena dia menyayat kedua lengannya dengan menggunakan sebuah pisau cutter yang tajam saat dia berada di dalam kamarnya. Keluarganya menemukannya terbujur dilantai kamar dengan genangan darah yang mengalir keluar dari tangan kirinya.

Aku sendiri langsung diminta datang oleh kedua orang tuanya. Saat bertemu denganku, mamanya sangat terpukul dan menyesali perbuatannya. Beliau berulangkali mengatakan betapa menyesalnya dia dan meminta maaf padaku. Aku sendiri sangat takut dan tak tahu harus bagaimana bereaksi.

Jika hidayah datang dengan cara seperti ini, berdosakah? Jika keyakinan pada Iman, Islam dan Ihsan merasuk kedalam kalbu menyentuh hati saat sebuah kesalahan dan dosa besar terlanjur dilakukan, akankah neraka ganjarannya? Ataukah surga balasannya?

Aku tak tahu. Aku merasa sangat bodoh membiarkan dia sendirian kebingungan dengan sebuah anugrah hidayah yang sebenarnya pelan-pelan telah merasuk kedalam hatinya. Aku terlalu bodoh untuk memberikan kekuatan dan keyakinan agar hidayah itu menjadi sumber kekuatan untuknya bertahan. Aku terlalu bodoh!

Aku hanya bisa menggenggam erat kedua tanganya. Saat mata kami bertemu, dia tersenyum lembut padaku. Lalu dengan lirih dia mengungkapkan rasa terima kasih padaku karena telah mengajarkan sebuah aqidah yang kini menjadi sebuah keyakinan baru untuknya. Dengan lirih dia melafaskan dua kalimat syahadat.

“Assyadualla illaha illallah. Wa Assyaduana Muhamadarasullulah. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi nabi Muhamad utusan Allah.”

Aku tersenyum bahagia. Dia telah menemukan hidayah untuknya. Dia memiliki keyakinan akan keesaan dan ke-“Tauhid”an yang melebihi diriku yang sudah menjadi seorang muslim sedari lahir. Dia menemukan hidayah itu dengan cara dan perjuangannya sendiri. Sangat berbeda denganku yang sampai saat ini hanya menjalankan saja ajaran yang diwariskan nenek moyangku sedari dulu.

Saat tangannya terlepas dari genggaman tanganku, saat itu juga aku merasa bahwa dia telah “terlepas” dari diriku untuk selamanya. Jerit tangis penyesalan dari mama dan keluarganya tak mampu menyadarkanku bahwa dia telah pergi untuk selamanya bersama aqidah baru miliknya.

Dan tanpa kusadari aku menangis. Mengalir air mata dipipi dan hatiku.

Maafkanlah aku….


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)