Masukan nama pengguna
Kampung Tipar mendadak riuh oleh isu yang tak biasa: uang salah seorang warga hilang tiap malam tanpa jejak, hingga tembus jutaan rupiah. Tak ada tanda pembobolan, tak ada pelaku yang tertangkap.
Pemilik uang sudah menanyai satu per satu anggota keluarganya. Tak ada yang mengaku, tak ada yang mencurigakan. Hal tersebut menyisakan keganjilan yang menggantung di pikiran. Padahal, selama ini tak pernah ada yang mengusik kedamaian hidupnya. Kampung senantiasa tenteram dan aman.
“Ambu mah yakin uang itu diambil maling,” ucap sang istri sambil mencoba menenangkan suaminya yang dihantui kebingungan.
“Siapa malingnya, Bu?” tanya Abah.
“Kalau Ambu tahu, sudah Ambu samperin atuh Bah malingnya,” ketus Ambu.
“Tapi masa maling masuk ke rumah cuma ambil duit Abah.” Abah masih belum bisa menerima pendapat Ambu. “Lagian, Bu, pintu rumah selalu terkunci dan tidak ada tanda-tanda maling masuk. Lemari tempat Abah nyimpen duit pun selalu rapi. Abah bener-bener heran.”
“Abah juga sih punya uang banyak nggak pernah cerita sama Ambu. Giliran sudah hilang saja, baru ngomong.” Ambu tambah ketus dengan menambahkan sindiran yang menohok.
Kening Abah makin mengerut. “Aduh, Ambu tuh bukannya bantu Abah buat mikir siapa pencuri yang berani masuk rumah ini.”
Tiba-tiba sang anak bungsu yang mendengar orang tuanya mengobrol ikut menimpali. “Diambil tuyul mungkin uangnya, Bah.”
“Husss, kamu! Jangan asal ngomong. Anak kecil suka ikut-ikutan. Sana tidur, besok sekolah juga,” perintah Ambu. Ia terkejut anaknya bisa menyampaikan pendapat yang di luar pemikirannya.
Abah termenung, tak bisa tidur. Ia terus menatap lemari tempatnya menyimpan uang. Ia juga dihantui ucapan anaknya, meski sangsi bahwa tuyul yang telah mengambil uangnya itu.
Apa daya, raga menyerah pada lelah, Abah akhirnya terkapar di kasur. Kontemplasi pun tertangguhkan.
***
Pagi hari saat terbangun, Abah segera memeriksa uangnya. Ia menghitung berulang kali semua lembaran merah berwajah presiden dan wakil presiden RI pertama.
Setelah dipastikan ada yang tak sesuai, Abah pun berteriak memanggil Ambu. Ia panik karena uangnya kembali hilang.
Padahal, Abah sudah begadang sampai pukul jam dua dini hari. Ia juga mengganti posisi menyimpan uangnya. Namun, tetap saja, tak luput dari kecolongan.
Tak ada jawaban. Abah keluar rumah. Ia melihat Ambu berada di tengah kerumunan. Penasaran menggeser gelisah yang sempat menguasainya.
“Ada apa ini?” tanya Abah, mengagetkan para tetangga.
“Begini, Bah. Uang saya hilang,” jelas seseorang yang menjadi pangkal pembuat warga berkumpul.
Abah tesentak. Ketegangan di wajahnya meningkat. Ia buru-buru bertanya mengenai kronologi kejadain. “Gimana ceritanya, Kang Umar? Kok bisa?”
“Nggak tahu, Bah. Padahal saya sudah simpan uang saya dengan cukup aman,” ungkap Kang Umar.
Ia lalu menghela napas panjang. Katanya, uangnya hilang dari dompet yang ia simpan rapi di balik tumpukan baju dalam lemari. Ia baru sadar saat anaknya minta uang jajan. Saat dihitung ulang, dua ratus ribu raib. Sudah diingat-ingat, sudah diobrak-abrik, tetap saja tidak ketemu.
“Saya juga sama, Kang Umar,” timpal Abah
“Abah kehilangan duit lagi?” tanya Kang Umar, terkesiap.
Ekspresi Kang Umar senada dengan para tetangga yang lain. Mereka tak menyangka dalam tiga hari berturut-turut Abah terus kehilangan lembaran-lembaran simpanannya.
Ambu menggeleng kesal. “Abah teloder amat, sih,” ujarnya.
Belum sempat Abah menjelaskan, tiba-tiba seorang warga melontarkan dugaan yang membuat semua orang terdiam. “Jangan-jangan diambil tuyul,” celetuknya.
Salah satu warga lain ikut menyambung dugaan itu. Ia mengatakan, makhluk gaib berkepala pelontos yang tak kasatmata, yang sering digambarkan menyerupai anak kecil, bisa jadi masuk akal. Ia juga melontarkan hipotesis: kalau pelakunya manusia, tentu sudah ketahuan. Lagi pula, kampung ini selama puluhan tahun tak pernah diterpa kasus pencurian.
Ambu tampak tidak percaya, tetapi beberapa warga mulai mengangguk-angguk. Mereka bak terbawa ombak keyakinan yang baru saja muncul—bahwa hanya tuyul yang bisa menyelinap ke dalam rumah tanpa suara, tanpa jejak.
Ambu menyanggah pelan, tetapi nadanya tegas, “Masa iya tuyul? Nggak percaya saya mah sama yang begituan. Tuyul itu kan cuma cerita takhayul.”
Perdebatan mulai membelah warga jadi dua kubu: yang terbuka pada kemungkinan mistis, dan yang masih memegang logika.
Lalu, dari barisan paling belakang, seorang pemuda mengemukakan pendapat lain. Ia berujar jika pelakunya bukanlah tuyul, maka ada kemungkinan babi ngepet. Ia juga menambahkan di kampung sebelah sedang geger bahwa babi jadi-jadian tersebut berkeliaran setiap malam.
Ambu langsung menoleh, geram, meminta pemuda itu untuk tidak memperkeruh kegaduhan dengan tuduhan tak berdasar.
“Beneran,” tegas si pemuda. “Saya juga pernah lihat itu babi lewatin kebun Mang Ali pas saya pulang dari nengok saudara di rumah sakit,”
Bagi sebagian warga, cerita itu terdengar meyakinkan.
Ambu terus berupaya meredam isu-isu yang meliar. Menurutnya, itu bisa jadi babi hutan biasa.
Ambu pun mempertanyaakn keabsahan dugaan si pemuda: bagaimana cara memebdakan babi hutan dengan babi ngepet hanya dari pandangan sekilas??
Si pemuda tak menggubris pernyataan serta pertanyaan Ambu. Ia justru lanjut berkisah bahwa temannya di kampung sebelah membenarkan keberadaan babi ngepet di sana, dan sangat mungkin makhluk itu kini sudah menyeberang ke Kampung Tipar. Ia pun mewanti-wanti: jangan sampai isi dompet warga habis, baru kemudian mengamini penuturannya.
Bisik-bisik menjalar ke udara. Warga memandangi satu sama lain. Ada kegusaran yang merayap dengan cepat.
Abah mengembuskan napas berat. Tangannya sudah mengepal dari tadi, bersama amarah yang mengepul di atas kepala.
“Kalau gitu,” ujar Abah dengan suara keras, “kita ke rumah Pak RT aja. Sekalian ngajak warga buat ngeronda. Tangkap itu si babi kampret kalau memang dia pencurinya.”
Kang Umar pun langsung menggiring warga menuju rumah Pak RT. Ia terbawa emosi lantaran khawatir akan kehilangan uang lagi di malam-malam selanjutnya.
Warga menggeruduk rumah Pak RT untuk berkonsolidasi. Awalnya, Pak RT tidak percaya ada babi ngepet di kampungnya. Isu makhluk jelmaan itu sudah lama sirna, hampir dua dekade tak terdengar lagi di Kampung Tipar. Sekarang, desas-desus itu menyeruak kembali, menggaung lebih lantang, seolah mengguncang nalar dengan gema ketakutan yang tak sepenuhnya asing.
Setelah mendengar pengakuan Abah dan Kang Umar, serta kesaksian seorang pemuda yang meyakini melihat babi mencurigakan berkeliaran, Pak RT pun setuju menggalakkan siskamling. Sekadar berjaga, sambil mencari tahu kebenarannya.
Selepas dari rumah Pak RT, Kang Umar mengajak rombongan mampir ke rumah Baba Oom. Baba Oom adalah sesepuh kampung yang juga dikenal sebagai orang pintar. Niatnya, Kang Umar ingin meminta petuah untuk menangkap si terduga babi ngepet.
Baba Oom meminta warga membawa telur bebek mentah yang sudah busuk. Begitu mendapati babi ngepet itu, warga dihimbau untuk melemparkan telur bebek tersebut ke badan si babi. Maka, jelasnya, hewan itu pun akan menunjukkan jati dirinya—berubah ke asal sebagai manusia yang bersekutu dengan jin. Selain itu, warga diminta membawa kentungan untuk memancing si pembuat gundah itu keluar.
Warga kian antusias setelah mendapat petunjuk dari Baba Oom. Mereka lekas kembali ke rumah masing-masing guna mempersiapkan perlengkapan berburu nanti malam.
***
Waktu terus merambat. Usai Isya, warga berkumpul di dekat kebun Mang Ali. Para ibu membawa obor dan telur bebek busuk, sementara para bapak menggenggam kentungan, sebagian menyelipkan golok di pinggang. Amarah menggelegak, siap dilampiaskan pada sosok yang menjadi praduga. Pak RT pun memberi aba-aba: semua harus berpencar.
Langkah kaki menyebar ke berbagai arah. Sebagian menyusuri semak dan pematang, sebagian lain bergerak ke tepian sungai dan jalanan kampung yang sepi. Udara terasa begitu dingin, tetapi tubuh mereka hangat oleh adrenalin dan kecurigaan.
Bintang bertebaran di langit. Bulan yang tergigit masih cukup terang bersinar. Sudah hampir dua jam tak ada tanda-tanda kemunculan terduga pelaku pencurian uang itu. Namun, warga masih belum menyerah. Mereka menolak pulang tanpa hasil.
Akhirnya, terdengar suara teriakan dari warga yang mencari di dekat sungai. “Ada. Ada babinya di sini!” serunya, mengundang warga lain berlarian ke arahnya.
Benar saja, seekor babi tertangkap. Ukurannya tak terlalu besar, tubuhnya kotor berlumpur, matanya liar. Warga meyakini inilah babi ngepet yang telah membuat kampung diselimuti keresahan.
Tanpa banyak pertimbangan, mereka segera menyeret si babi ke sebuah kandang besar yang biasa ditempati kambing. Tali tambang melilit kakinya, mengikat erat—mencegahnya kabur.
Begitu sudah dikurung rapat, telur-telur bebek busuk melayang satu per satu, pecah di tubuh si babi. Umpatan pun bersahut-sahutan, memayungi malam yang sebelumnya hening. Tak ada lagi keraguan. Semua bersemangat, berdesakan, ingin melihat wujud asli di balik makhluk yang disangka kuat tengah menyamar sebagai babi.
“Baba, kok babinya belum berubah, sih? Katanya dia akan jadi manusia kalau dilempari telur ini,” tanya Kang Umar, meminta kepastian sembari menutupi hidung.
“Kita tunggu saja sampai pagi. Sepertinya ilmu yang dia miliki cukup tinggi,” jelas Baba Oom.
Pak RT pun mengangguk dan meminta warga untuk beristirahat. Perlahan, suasana menjadi lengang. Warga yang letih mulai meninggalkan kandang, tempat si babi terkungkung dalam cemooh dan prasangka.
Abah dan Ambu sebenarnya masih ingin bertahan untuk membuktikan kebenaran yang dituduhkan pada si babi. Akan tetapi, kantuk merasuki keduanya dengan hebat.
Lantas, apakah benar si babi telah mengambil uang Abah? Ataukah itu hanyalah babi hutan yang tersesat ke kampung ini? Ambu terus bertanya-tanya di dalam hati sepanjang jalan pulang.
Sesampainya di rumah, Abah dan Ambu melihat sang putri bungsu tertidur dengan lelap di depan televisi yang menyala. Abah pun dengan sigap mengangkat tubuh anaknya untuk dipindahkan ke kamar tidur.
“Bentar, Bah!” Ambu melepaskan sebuah benda dari genggaman sang anak agar tidak terjatuh saat tubuhnya diangkat.
Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang membuat Abah terpaku sesaat.
Abah masuk ke dalam kamar. Wajahnya tergurat lesu dan gundah. Ambu yang hendak memejamkan mata ikut larut dalam gelisah yang terpancar dari wajah sang suami.
“Ada apa, Abah? Abah masih penasaran sama si babi ngepet itu?” tanya Ambu, menahan mata yang ingin terpejam.
Abah malah balik bertanya kepada Ambu. Matanya menawarang, bibirnya bergetar. “Itu tadi Rani pegang tablet siapa, Bu?”
“Atuh punyanya Rani, Bah,” jawab Ambu, sedikit heran.
Dapat dari mana?” tanya Abah lagi. Kerut di dahinya makin dalam.
Ambu bangkit dari tempat tidur, duduk di samping suaminya sambil mengikat rambut. Ekspresinya mulai tampak kesal. “Kan Abah yang beliin waktu hari Minggu. Katanya buat hadiah kenaikan kelas, karena dia juara satu.”
Abah menatap kosong.
“Abah lupa?”
Mendengar penjelasan Ambu, Abah tertunduk membisu. Ada memori yang menguat, seperti jalinan kejadian yang akhirnya kembali ke tempatnya.
“Oh iya… Abah ingat sekarang,” gumamnya, lirih.
Ia lalu rebahkan badan di kasur yang tak lagi empuk. Air matanya pelan-pelan menyedak keluar. Kehilangan yang semula dianggap sebagai pencurian, ternyata ingatan yang mulai keropos.
***
Keesokan paginya, warga sudah memadati kandang di dekat kebun sejak matahari baru naik. Mereka sudah berdatangan dengan membawa rasa ingin tahu, harap-harap cemas, dan keyakinan yang masih menggumpal sejak semalam.
Mereka berdiri melingkar, menunggu detik-detik yang mereka bayangkan akan menyingkap tabir.
Namun, tak ada yang berubah. Tak ada yang menjelma.
Babi itu tetap babi. Teronggok tak berdaya di sudut kandang, sesekali mengerang kesakitan.
Warga saling menatap. Menunggu ada yang berucap.