Masukan nama pengguna
Kupikir ketika sudah beranjak dewasa, aku berhak atas diri sendiri. Aku bisa berkata “iya” atau “tidak” tanpa merasa bersalah. Setiap yang berlaku untukku, maka akulah yang menjadi penentu. Sayangnya, aku masih terlihat seperti anak kecil di mata orang tuaku. Hanya usia yang bertambah, sementara suara tetap kerdil.
“Besok malam kita akan bertemu dengan Nadya dan keluarganya untuk membahas rencana pernikahanmu. Ibu harap kamu mempersiapkan diri untuk itu,” ucap ibuku penuh penekanan.
Menikah. Ibu merencanakan pernikahanku tanpa aba-aba dan tanpa persetujuanku. Khayalanku saja bahkan belum menyentuh sampai sana.
Kutundukkan kepala sejenak. Otak dirapatkan dengan sangat kuat supaya lidah berani untuk menyampaikan penolakan.
“Bu, aku tidak suka hal semacam ini,” tegasku dengan tubuh setengah menggigil.
“Apa maksudmu?” Ibu menaikkan nada bicara sambil menyorot wajahku. “Kamu sudah dewasa. Sudah waktunya memiliki pasangan – berumah tangga. Ibu juga mencarikan calon istri untukmu tidak sembarangan. Selama ini Ibu selalu memberikan yang terbaik untukmu, apa pun,” sambungnya berapi-api.
Aku tersulut dengan kalimat terakhir Ibu. Benar, tetapi salah. Karena pada kenyataannya, Ibu sama sekali tidak mau mendengar sedikit saja testimoni dariku.
“Ya, terbaik menurut Ibu, tetapi aku tidak pernah dimintai pendapat. Aku harus selalu menerima yang Ibu sodorkan tanpa punya kesempatan untuk memilahnya,” kesahku.
Ibu menghela napas panjang. Raut wajahnya membara, matanya berkaca-kaca. Dia lalu keluar dari kamarku dengan derap murka.
Sungguh, aku benci situasi seperti ini. Namun, aku pun tidak suka jika harus terus menerus terbelenggu oleh setiap preferensi yang Ibu sodorkan. Terlebih, kali ini tentang hati.
Selama 27 tahun aku hidup dengan mematikan keinginan dan kata hati. Aku bahkan tidak memiliki teman yang bisa menjadi kawan berbagi.
Tempat bersekolah, jurusan kuliah hingga pekerjaan selaras dengan pilihan ibuku. Aku terpasung – mengalah dan pasrah. Tidak sekali pun aku melakukan bantahan atau pemberontakan.
Kutanggalkan cita-cita menjadi fotografer. Demi apa? Demi meneruskan profesi keluarga yang semuanya mengabadi pada negara.
Aku paham Ibu selalu mencoba mencari kebahagiaan untukku – tidak ada orang tua yang ingin menyengsarakan anaknya. Masalahnya, aku bukan wayang yang bisa dibentuk untuk memerankan apa pun. Aku punya mimpi serta emosi yang melekat dalam kehidupanku. Mengapa aku tidak boleh menggerakkan dan mengayunkan taliku sendiri?
Adakah Ibu memahami diriku? Apakah senyuman dan kedamaian hati mampu tercipta dari keterpaksaan?
Kincir angin bak terpasang di kepalaku. Semuanya berputar, mendatangkan keresahan yang selama ini kutanam. Prasangka pun turut serta menjelma, menyekap pemikiran.
Ah! Entahlah.
Kususuli Ibu untuk membicarakan permasalahan ini dari hati ke hati. Aku tidak mau ketegangan berlarut hingga merusak suasana rumah.
Sebelum menemui Ibu, aku susun kata-kata dan lapangkan dada. Aku redakan hawa panas yang tadi berkobar. Semuanya harus disampakan dengan mesra.
Aku menuruni tangga secara perlahan sembari memantapkan diri. Aku akan menikah, tetapi dengan pilihanku.
Kulihat Ibu duduk di ruang tamu dengan sebuah foto di pangkuannya. Tangannya sesekali menyeka kedua ujung mata. Isaknya menggema, menggetarkan nuraniku.
Apakah ucapanku keterlaluan? Apakah caraku mengungkapkan penolakan sangat jahat? Sesaat aku berseteru dengan diriku sendiri.
“Bu,” panggilku pelan.
Ibu memalingkan wajah dariku. Aku lekas membujuknya untuk mau diajak merentangkan hati.
“Ibu tidak pernah memaksamu,” tuturnya melunak dalam intonasi pilu.
Aku menganggukkan kepala serta menggenggam kedua tangan Ibu. Kemudian, kutarik napas dalam-dalam untuk menjaga afeksi dan tala.
Namun, Ibu memenggal asaku. “Nak, Ibu bukan ingin mengatur hidupmu. Ibu ingin kamu segera menikah karena Ibu tidak mau nantinya kamu hidup dalam kesepian. Lihat, Om-mu! Hingga tua dan ajal menjemputnya, dia hidup sendiri. Tidak ada yang mengurus dan menemaninya. Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib seperti itu,” ungkapnya dengan derai air mata.
Aku menggigit bibirku. Kutelan semua paragraf yang tersusun semula. Tangisan Ibu sarat dengan luka.
Lisanku takluk. Akalku semakin kusut dan kalut.
Kupandangi potretku yang lucu. Memori masa kecil pun mendesir di ingatanku. Mereka seperti mengejekku – aku yang tak mampu melaju bersama anganku. Selamanya, melangkah dalam skenario Ibu.
“Iya, Bu. Aku bersedia bertemu Nadya,” terangku sambil merangkai rencana lain – yang jelas, aku tak mungkin kabur.
Ibu mendekapku erat. “Terima kasih, Nak! Ibu selalu dan selalu akan memberikan yang terbaik untukmu,” untainya haru.
Sejujurnya, kalimat Ibu cukup membuatku sesak. Namun, aku tidak mungkin mencabut pernyataan yang sudah aku tanam.
***
Gelisah membahana dalam sukma. Aku ragu, tetapi aku sudah berjanji untuk tidak berlari. ‘Kan kucoba hadapi segalanya tanpa mendulang penyesalan nantinya.
Hah! Satu hari seakan berlalu bagai satu jam.
Ibu dan Ayah terdengar tengah sibuk memadupadankan busana. Sementara itu, aku sudah didandani oleh Ibu sejak petang.
Kami pun bergegas melaju ke sebuah restoran. Sepanjang perjalanan, Ibu dan Ayah tiada henti menasehati dan memintaku untuk tampil gagah nan percaya diri. Mulanya, sempat terbersit dalam akalku untuk berlagak bloon di hadapan Nadya dan keluargannya.
Ah, tenang! Aku juga enggan mempermalukan keluargaku.
Setiba di tempat perjamuan, aroma kopi menyambut dengan hangat. Denting piano berlagu syahdu seakan menyemangatiku. Namun, di lain sisi, mereka seperti melemparkan sarkasme kepadaku. Katanya, aku begitu semerbak, padahal yang kurasa pahit – dan tidak ada irama dalam jejakku, hampa.
Huh! Kuatur aliran udara berulang-ulang. Canggung seketika menyergapku saat berjabatan dengan Nadya dan kedua orang tuanya. Ini tampak seperti pertemuan biasa, tetapi nuansanya se-formal mengikuti rapat dinas.
Bagaimana kesan pertamaku terhadap Nadya? Ya, dia cantik dan manis. Kulitnya putih, senyumannya indah. Dia memiliki paras yang sempurna.
Sayangnya, dia merupakan manifestasi keinginan Ibu. Segala yang terpancar darinya tidak bisa langsung aku serap.
Juga, ini tentang teman hidup. Aku butuh mengenal karakternya bukan sekadar mencintai kecantikannya. Lebih dari itu, aku ingin menemukan cinta melalui caraku – bukan “dipaksa”.
Hem! Aku perkenalkan diri dengan suara bergetar. Tak banyak yang bisa kuutarakan karena Ibu langsung mempresentasikanku. Dia menjabarkan prestasiku di sekolah yang pernah juara Olimpiade Matematika Tingkat Nasional hingga pencapaianku di pekerjaan yang sekarang menduduki posisi kepala bidang.
Di sudut lain, ayahku dan ayah Nadya menjadi pemerhati. Keduanya sangat kentara menyerahkan segala wewenang kepada istri masing-masing. Bahkan, di sela basi-basi mereka sibuk berbincang tentang dinamika pekerjaan.
“Gimana kalau kita langsung bahas tanggal? Saya sih setuju kalau dipercepat dari rencana awal kita. Semua keluarga, jauh-dekat, pasti terpukau dan bangga lihat calon mantu saya ini,” ujar ibu Nadya.
“Bener, Jeng. Mereka berdua ini udah cocok banget,” timpal ibuku seraya menepuk pundakku. “Coba kamu lihat Nadya! Dia itu manis, lembut, dan jago masak, loh,” pujinya.
Aku melirik kepada ibuku. Kalimat-kalimat yang terlontar barusan cukup menegaskan intensnya perjodohan ini.
Aku juga mencuri pandang ke arah Nadya. Akan tetapi, mengapa dari tadi dia terus menunduk?
Cukup lama obrolan berputar-putar. Aku mencari celah untuk mengobrol dengan Nadya. Seandainya penolakan aku sampaikan kepadanya, mungkin dia akan mengerti.
Untungnya, Nadya memahami gesturku. Kami pun menepi dari perbincangan para orang tua.
Ironisnya, aku merasa kikuk berdiri di samping Nadya. Keringat dingin pun mengalir deras di tubuhku. Terlebih, dia terus mematung dengan sikap kosong.
Akhirnya, aku beranikan diri untuk membuka mulut. Aku tidak sanggup hanyut dalam tafsir. “Kenapa kamu bersedia dengan perjodohan ini?” tanyaku, jantungan.
Nadya merespon dengan tawa renyah. “Aku cuma mengikuti kemauan orang tuaku. Awalnya aku takut, tapi aku tidak memiliki opsi untuk menghindar. Ayah dan Ibu bilang ini jalan terbaik untukku,” jelasnya.
“Memangnya, kamu tidak punya kemauan?” tanyaku, menggali jawaban yang lebih lugas.
Nadya mengarahkan pandangan ke langit. “Kemauan? Tentu, ada.” Dia memutar-mutar sendok di gelas kopinya. “Cuma, aku yakin orang tua pasti melihat kemauanku. Aku bahagia melihat orang tuaku bahagia, meski ada perasaan yang harus aku tahan dan pendam sendiri,” kisahnya.
Dug! Aku kehabisan tinta di benak. Lidahku tertahan di tenggorokan. Kucoba jatuhkan muka untuk menambang kata.
“Maaf jika aku tidak sesuai ekspektasimu,” nada Nadya menurun.
“Bu…. bukan. Bukan begitu maksudku.” Aku terbata, tersedak dalam ketidaknyamanan permainanku sendiri. “Em…. maksudku, bagaimana kalau sebaliknya? Aku yang malah tidak sesuai dengan ekspektasimu atau aku tidak sebaik pikiranmu,” tegasku sekenanya.
Aku bingung. Kami baru bertemu, tetapi dia seolah-olah sudah mengenalku sehingga tidak sangsi terhadap perjodohan ini.
“Kata orang, jodoh kita adalah cerminan diri kita sendiri. Dan aku akan selalu berusaha untuk menjadi cermin yang baik,” lafalnya sambil menggosok-gosok kedua tangan. Ada sendu yang mengambang dari suaranya yang mulai menghilang.
Pernyataannya membuai sekaligus membelai kebimbangan. Dia ucapkan bahwa jodoh merupakan refleksi diri sendiri. Lantas, bagaimana aku bisa memetakan diriku dalam cermin ketika jodohku diatur oleh Ibu? Aku pun tidak bisa menilai tentangku sebab hidupku sesuai kata Ibu.
Hening menerpa. Angin membekukan raga. Amunisi kataku terkuras dalam sekejap.
Aku coba menatapnya, melihat pantulanku dari bola matanya. Entah mengapa, yang kudapati justru siluet Ibu yang membayang.
Haruskah aku meromantisasi momen ini? Lagi, aku berada dalam bingkai berbentuk lingkaran – tidak ujungnya.