Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,988
Begitulah Kelakuan Kawan Kita Si Rohim
Komedi

SAYA kira benar juga apa yang dibilang Rohim, kawan SD-ku itu. Saya harus balik kampung. Inilah saat yang tepat. Apapun kata orang dan kawan-kawan lama saya di kampung nanti. Sejak meninggalkan kampung untuk melanjutkan SMP ke kota kabupaten (sekarang sudah jadi ibukota provinsi) saya tak pernah pulang.

"Caleg lain sudah datang semua. Pasang poster di warung aku. Pasang baliho di lapangan bola kampung kita tu... Masih ingat? Tempat kita main bola dulu?" ujar Rohim lewat Whatsapp. Rohim ini kawan baik saya. Juga musuh berdebat abadi. Kami sekelas sejak kelas satu SD. Kami bahkan sudah berkawan sejak sebelum masuk sekolah.

Bukannya saya tak mau balik kampung. Ini persoalan kalkulasi strategis biaya dan potensi mendapatkan suara. Kampung saya itu bukannya besar sangat. DPT tak besar. Kalau mau berhemat biaya (yang kian menipis) saya bisa mengabaikan saja.

Ini memang masalah besar. Di provinsi yang 90 persen wilayahnya lautan, dan penduduk tersebar di ratusan pulau, biaya sosialisasi kampanye jadi sangat mahal. Apalagi ini masa kampanye minta ampun panjangnya. Berjela-jela. Lelah kita dibuatnya.

Bukan pula saya tak ada niat kampanye ke kampung kelahiran saya sendiri. Tiap malam ada saja kepala desa datang ke kota. Hari ini dari pulau ini, besok dari pulau itu. Menemui mereka lebih murah hitungannya. Sekadar ganti biaya pompong dan makan-makan di akau. Kepala desa yang menang lewat pemilihan itu sudah pasti punya pendukung yang bisa mereka pengaruhi.

Di kampung saya sekarang kawan saya juga yang jadi kepala desa. Tohar namanya. Selalu jadi ketua kelas dulu. Pandai mengaji, suaranya macam Haji Nanang Kosim, qari juara dunia dari Indonesia. Orang baik. Pantaslah dia jadi kepala desa.   

"Tohar tak akan mau datang ke kota macam kades-kades lain, Yus... Kaulah yang datang ke sini," kata Rohim, kali ini lewat telepon. Saya mendengar suara denting gelas kopi diaduk.

"Dia yang tak mau? Atau kau yang bilang ke dia supaya saya yang datang ke sana?" kataku. Saya tahu benar perangai si Rohim ini. Kawan yang kalau urusan uang paling cermat. Cerdik, dan kadang culas. Tak mau rugi. Dia juru runding kalau klub bola kami main lawan kampung lain. Bertaruh. Kami jarang kalah. Tapi kami juga tahu separo uang taruhan masuk ke kantong Kosim.

"Yus, bila lagi hendak balik kampung? Hari raya tidak. 17 agustusan tidak. Orang-orang tua kita meninggal pun kau tak balik. Kawan-kawan tak mengharap engkau bagi-bagi duit. Kami tengok kau sukses jadi politisi pun kami bangga. Ada juga kawan kami yang jadi..." kata Rohim.

Rohim benar. Saya pun sudah lama tak ziarah ke makam atuk dan nenek. Kami sekeluarga pindah ke kota, hanya menunggu saya tamat SD waktu itu.

Kawan kami Kosim telah menyiapkan tempat. Di mana lagi kalau bukan di kedai kopi "Double Peach" warisan orangtuanya. Kedai kopi itu ada di dekat pelantar pelabuhan. Saya menyewa speadboat Fatih. Lepas uang bensin dua hari, jadilah, kata Fatih. Dia ini kawan kami juga, orang laut yang sebenarnya. Kata kami, Fatih ini belum bisa jalan sudah bisa mendayung.

"Rokok, jangan lupa," kata Fatih mengingatkan.

Oh ya, itu penting. Tak berasap mulut kawan-kawan saya itu nanti, jangan harap dapat suara. Saya menelepon Ahai, anak toke Abun. Ahai ini kawan yang loyal. Dia ini kakak kelas kami setahun di atas. Loyal maksud saya, kepada saya dia masih percaya kasih utang, ambil barang bayar nanti. Apalagi rokok.

 Kedai Kopi "Double Peach" penuh sesak. Wajah-wajah lama yang masih akrab kukenali. Kosim memperkenalkan saya. Dia sama sekali tak mengatakan supaya kawan-kawan memilih saya. Dia malahan seperti mengadili saya. Hitung sendiri untung ruginya kita kalau memilih Yusran, kawan kita ini, katanya. Dasar otak tengkulak!  

"Puluhan tahun kau tak pernah balik kampung. Sekarang karena kau perlu suara kami baru kau balik.... Apa engkau ni? Suara kami tak sepadan dengan teh tarik..." kata Juhri. Perangai dia tak berubah. Ini kawan yang paling besar bual. Dengan dia tak boleh kalah temberang, habis kita dibantainya.

Suara riuh mendukung Juhri, membuat saya seakan terpojok. Saya diam saja, menyiapkan jawaban yang sebenarnya sudah saya siapkan. Sampai Kosim mempersilakan saya bicara. "Coba kalian tengok poster-poster itu," kata saya menunjuk wajah-wajah caleg pada poster di dinding kedai Kosim. "Ada yang kalian kenal? Orang mana mereka itu? Siapa mereka itu?"

"Apa bedanya engkau dengan mereka itu? Kami pun sekarang macam sudah tak kenal lagi dengan engkau..." kata Juhri. Suara memojokkan saya makin riuh.

"Saya lahir di sini. Kenal dengan hampir semua orang kampung sini. Kampung yang kubawa ke mana-mana. Di KTP tetap saja tertulis saya kelahiran kampung ini. Kalau kawan-kawan mau pilih orang lain yang tak kalian kenal sama sekali itu pun terserah..."

Kalau sekadar bual kedai kopi saya tak akan kalah. Malam itu pun, saya melihat kawan-kawan saya pulang dengan keyakinan bahwa tak ada orang lain yang akan mereka pilih selain saya.

Ah, tak sia-sia.

Rohim menyodorkan bon tagihan. Fatih sudah menghidupkam mesin. Kedai Kopi Double Peach sudah sepi. Pukul dua dinihari. Saya harus balik ke kota. Memang tak ada rencana menginap, sebab besok harus ke Jakarta untuk urusan di DPP.

Rohim menyebut angka untuk harga makanan dan minuman. Tak besar. Sudah saya perkirakan sekitar itulah. Sepadan juga tadi dengan hasil pertemuan. Mereka telah menerima kembali saya, Yusran, anak kampung yang hilang puluhan tahun.

Aku mengeluarkan uang, sesuai angka pada bon yang disodorkan Rohim, dari tas sandang - amunisi yang tak boleh lepas. Sedikit kulebihkan untuk Rohim.

Rohim menyodorkan lagi bon lain. Angkanya hampir lima kali lipat..

"Ini tadi kawan-kawan ngambil rokok. Satu slop masing-masing," kata Rohim.

Merampok semua! Haram mampus! Saya menghitung sisa uang. Masih cukup. Tapi itu tadinya kupersiapkan untuk membayar sewa speedboat Fatih.

"Tak apa. Saya dibayar nanti saja..." kata Fatih.

Seminggu berlalu, baru saya punya uang untuk melunasi utang sewa speedboat kepada Fatih. Saya menemuinya di pelabuhan. Ia mempersiapkan barang untuk diantar ke kampung kami. Itu pekerjaan rutinnya.

"Bawa apa, Tih?"

"Rokok. Pesanan Rohim.."

"Penuh? Banyak betul tampaknya?"

Fatih memeriksa bon pembelian di Toko Ahai. Saya melihat angka yang kurang lebih sama dengan tagihan rokok malam itu.

"Jadi? Malam itu tagihan dia buat-buat aja ya? Sekarang baru dia belikan dengan uang yang saya bayarkan? Jahanam betul Rohim..."

Fatih tertawa. "Engkau macam tak tahu, begitulah kelakuan kawan kita Si Rohim..."

© Habel Rajavani, 2019-2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)