Flash
Disukai
17
Dilihat
15,507
Gandewa
Aksi

Bunyi derap datang mengepung Kirana dari berbagai tempat. Barat dan timur tak lagi bernama, tersesat dalam sukma yang berputar-putar tak tentu arah.

Di hadapannya ada bukit, keluar sedikit dari jalan hutan berpagar pohon gergasi. Ranting berkelindan bak jalinan tangan menyembunyikan kerlap-kerlip yang berdenyut seiring dengkusan kasar dari hidungnya. Paru-parunya terlampau capai. Sementara, mata-mata berselimut kegelapan mengintip, memaksa sang dara mempercepat langkah pada jalan setapak yang ternyata curam ke bawah.

Netranya tertipu! Itu gigir bukit berlembah. Kakinya terperosok, tubuhnya berguling-guling melindas bebatuan, lalu berhenti di atas hamparan kerakal tajam. Cariknya tersingkap hingga tempurung lutut, berlumur bercak darah.

Kening Kirana berkerut membentuk lipitan kusut. Lolongan bersahutan dari hutan menyadarkannya bahwa rehat dari penat bukanlah pilihan. Bukit di hadapan memanggilnya, bukit tunggal yang menjanjikan harapan. 

Nahas, kakinya mengait seutas benang lantas tersandung. Benda sialan! Kirana mengumpat pada sebuah gandewa yang berbaring diam di atas tanah. Pada cengkolak-nya, terukir aksara bak sulur kecambah. Indah. Sekaligus mengundang tanda tanya …. Bagaimana bisa sebuah gandewa berukir mahakarya tergeletak begitu saja di sini? Seolah-olah dilemparkan sengaja, tepat di jalur pelariannya. Di mana orang lancang itu bersembunyi sekarang? Pastilah sedang mengejeknya.

Harapan membubung tinggi ke rembang petang yang nyaris sempurna. Sandyakala menyambut nanar langkah tersaruk Kirana; puncak bukit tinggal sedikit lagi. Napasnya nyaris habis di hutan, terus dibawa mendaki, seakan terbayar begitu tiba di atas. Saujana, danau terbentang luas di hadapan. Kemilau kencana gemerlapan memantulkan anala berpijar pada permukaannya.

Sekejap, pagelaran adiwarna tersebut dibuyarkan oleh lolongan ahool bersambut. Makhluk-makhluk kegelapan muncul berpencar dari segenap pelosok. Tungkai mereka yang pekat oleh bulu kasar kelam, bergerak pelan tapi pasti menuju bukit tempatnya berada.

Tiba-tiba kibasan sayap menebah udara. Energi datang bergelombang, menyapu dalam lakon ngeri yang termaktub pada sebaris kereseng di bibir tebal keriput. Kaki bertaji seekor ahool meluncur deras menyasar Kirana. Dara itu terpojok. Sejemang, gandewa yang susah payah Kirana jinjing sewaktu menaiki bukit, terentang bagai perisai. Makhluk itu melompat mundur tatkala gandewa ditebaskan layaknya pedang untuk mengusir mereka yang mendekat. Hanya gertakan sementara karena senjata pamungkas di tangan Kirana kehilangan jemparingnya.

Gandewa itu hanya menakut-nakuti beberapa siluman yang bergerak mundur, lalu kembali menyerbu karena tidak mempan disabet oleh lar melengkung indah bak punggung bukit dan gunungannya. Asa Kirana nyaris melindap hingga ia menarik tali busur setegang mungkin-terasa mustahil karena sejatinya hanya menembakkan selongsong kosong di udara.

"Ahool!"

Lalu, jeritan tinggi memantul pada jumantara. Seekor ahool terhuyung mundur dengan dada menganga bak perkamen terbakar anala. Paru-paru Kirana meledak. Ia memandang takjub gandewa penyelamat nyawa. Astrabajra, sang panah angin. Tanpa berpanjang pikir, ia tembaki satu demi satu makhluk-makhluk yang terbang di bumantara. Lalu, ia berpindah menyasar pasukan ahool yang memanjat bukit dengan keempat tungkai. Mangkus dan sangkil. Makhluk-makhluk itu tumbang bergelimpangan. Hingga akhirnya, tinggallah Kirana seorang diri terpancang tegak di atas bukit.

Kemenangannya telah ditunggu. Pada lembayung senjakala, seekor paksi raseksa muncul. Di punggungnya, seorang pemuda dengan jemawa bersedekap menatapnya bangga. Tanpa sepatah kata ataupun elu, tangannya terangsur, sebagai sasmita meminta kembali gandewa yang ada pada Kirana. 

"Guru ...." Kirana menjura menyentuh bentala, menyadari siapa yang ada di hadapannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (8)