Masukan nama pengguna
Bagaimaan Frida Menemukan Persembunyian Skaramus
Cerpen Habel Rajavani
BISAKAH seseorang lari dari masa lalu dan sepenuhnya menghindar dari orang-orang yang pernah dekat dengan dirinya? Meninggalkan popularitas dan reputasi yang mulai terbangun sebagai perupa muda berprospek bagus?
Ini cerita tentang seseorang yang bernama… sebut saja Skaramus. Dia seorang perupa yang bermasa depan cemerlang. Pamerannya yang pertama bersama teman-temannya sukses dan apabila perhatian publik senih lebih banyak pada karyanya itu karena dia memang menghasilkan karya yang menonjol.
Lalu nama dan sosoknya menghilang.
Sementara dia menghilang karya-karyanya diburu kolektor. Harganya pun perlahan merambat meninggi. Orang bilang ia hanya pura-pura menghilang. Itu hanya trik marketing, kepandaian seorang kolektor, seorang art dealer menggoreng karyanya di pasar. Tapi kata yang orang lain, sehebat apapun upaya menggoreng kalau karyanya tak istimewa tak akan berhasil juga.
Tapi dia benar-benar menghilang. Hingga publik perlahan melupakannya. Ada muncul banyak seniman baru yang meniru-niru karyanya atau yang hanya sekadar terinspirasi.
Ia akhirnya menemukan dirinya di kampung itu. Kampung para pengrajin topeng. Ia memutuskan tinggal di sana, menjadi salah seorang di antara ratusan pengrajin topeng di sana. Ia membeli sebidang tanah dan membangun rumah beserta bengkel kerja kecil di sana.
Ia sebenarnya sedang bersembunyi. Ia tak ingin ditemukan oleh orang-orang yang ia hindari. Selamanya, kalau bisa. Dan di kampung itu ia diterima dan merasa nyaman. Orang kampung memanggilnya Skaramus. Ia memang ingin dikenal dengan nama itu.
Ia membuat topeng dengan desain baru dan membebaskan orang-orang kampung untuk membuat topeng dengan desain yang sama. Maka kini topeng produksi desa itu menjadi sangat beragam. Selain topeng tradisional, wayang, kini juga ada wajah-wajah jenaka dengan ekspresi ekstrem. Misalnya: ekspresi seseorang yang orgasme saat bercinta dengan orang yang tak dicintai. Tentu saja hanya dia yang tahu. Di mata Jumadil, kepala koperasi pengrajin topeng di desa itu, topeng itu jenaka semata. Ia coba tawarkan ke toko suvenir di kota, eh, ternyata laku. Skaramus makin bersemangat membuat desain lain.
Rumah dan bengkel kerja yang dibangun Skaramus lumayan lega, dengan ruang oven kayu yang memadai, dan gudang tempat menyimpan kayu terbelo puso, kayu dengan kualitas mendekati jati. Kayu yang tumbuh di hutan-hutan di sekitar desa itu. Beberapa jenis kayu lain, seperti pulai, sengon, juga dipakai untuk bahan topeng yang lebih murah.
Desa itu menjadi terkenal. Penduduk desa itu, selain bertani, kini sebagian besar juga menjadi pengrajin topeng. Desa itu pun kini banyak dikunjungi orang. Ada orang dinas, orang media, juga orang yang mau studi banding. Skaramus tak pernah mau menemui mereka. Ia meminta Jumadil dan pengurus koperasi atau perangkat desa menemui mereka. Pokoknya Skaramus ingin tak ada yang tahu bahwa dia ada di kampung itu.
Sementara itu pesanan dari pusat-pusat sovenir di berbagai daerah tujuan wisata terus berdatangan. Desain-desain lama yang dibuat Skaramus masih saja laku dan terus diproduksi pengrajin di desa itu.
"Mas Sekramus, ini ada pesanan topeng dengan desain baru, Mas..." kata Jumadil, pagi itu. Koperasi memang menerima pesanan topeng lewat email. Pemesan mengirim gambar desain. Pengrajin bikin contoh. Jika contoh disetujui, pemesan bayar uang muka lalu para pengrajin menggarap pesanan. Jumadil memanggil Skaramus dengan Sekramus, apa yang pas buat lidah Jawanya.
Ini pesanan besar sekali dari sebuah galeri seni di Jakarta mengkhususkan diri menjual topeng modern. Koperasi dan anggota-anggotanya, para pengrajin, senang sekali. Tak pernah mereka menerima pesanan dengan nilai sebesar itu, apalagi dalam draf kontrak dijanjikan kontrak jangka panjang pula. Hanya Skaramus yang cemas. Tapi ia tak bisa menghindar. Ia tak mau mengecewakan dan memupuskan harapan pengrajin.
Skaramus seperti terlontar ke masa-masa kuliah di instutut seni di ibukota. Masa-masa ketika ia tergila-gila pada komik dan topeng. Semua karena buku "Making Comics" karya Scott McCloud. Buku komik itu menjelaskan tentang ekspresi manusia dengan sangat jelas, mudah dipahami. Hanya ada enam ekspresi dasar manusia, kata McCloud: marah, jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut. Selebihnya adalah gabungan dari dua atau tiga ekspresi dasar tersebut. Skaramus mendesain topeng berdasarkan ekpresi dasar ala McCloud itu.
"Mas, si pemesan topeng dari galeri Jakarta itu mau datang ke sini, Mas. Dia sudah setuju dengan barang contoh yang kita kirim," kata Jumadil di pagi yang lain. Kabar gembira itu bagi Skaramus menggelisahkan. “Dia mau ketemu sama Mas Sekramus…”
“Kok dia tahu saya?”
“Dia tanya siapa desainernya.”
“Mas Jumadil jawab apa?”
“Saya bilang ada, dan saya menyebut nama Mas Sekramus.”
"Oh. Kalo gitu nanti temui saja dia, Mas Jum...," kata Skaramus, seperti biasa.
“Ini pembeli besar, Mas…” kata Jumadil.
“Sama saja. Yang lain-lain juga tak saya temuin, ‘kan.”
Jumadil masih tak paham, tapi segan untuk bertanya kenapa, juga ketika Skaramus bilang dia akan ke kota dulu untuk satu urusan.
Frida masih secantik dulu dan tentu saja sekarang dia adalah perempuan dewasa yang matang dan sempurna. Dialah yang datang sebagai pemilik galeri dari Jakarta itu. Ia tak percaya pengrajin di desa itu bisa mengerjakan pesanananya jika tak ada seseorang yang membaca Scott McCloud. Ia lalu minta diantar ke bengkel kerja si pengrajin yang mendesain topeng-topeng itu. Jumadil membawanya ke rumah dan bengkel Skaramus. Frida menemukan gambar desain yang meyakinkan dia bahwa...
"Ya, Bu Frida, namanya Skaramus," tapi Frida tahu, dia adalah lelaki yang menghilang karena dirinya.
Dan Skaramus melihat kembali senyum Frida dari ruang sembunyi di atas rumah kecilnya. Senyum yang dia benci. Senyum yang pernah sangat ia sukai. Senyum yang pada awalnya membuatnya jatuh cinta pada si pemilik senyum itu. Melihat bakat besarnya, Frida malah berhenti melukis. Ia hanya ingin menjadi manajernya. Frida merasa dialah yang paling paham potensi dalam dirinya dan dia ingin memaksimalkan potensi itu. Dan dia berhasil. Tapi Skaramus merasa dieploitasi.
Mereka pun jadi kerap bertengkar.
“Aku nggak bisa berkarya kalau diekplotasi begini.”
“Siapa yang mengekploitas kamu? Aku?”
“Ya, kamu. Siapa lagi….”
“Saya hanya membantu kamu berkembang…”
Pertengkaran yang tak pernah berakhir. Skaramus meninggalkan kampus. Menghilang.
Dan hari itu Frida merasa telah menemukan Skaramus meski dia belum menemuinya.
“Di mana dia sekarang?”
“Sedang ke kota, Bu.”
“Kapan dia kembali?”
“Ndak tahu, Bu. Mas Sekramus jarang meninggalkan kampung ini. Tapi sekali dia pergi pasti lama…”
Sepeninggal Frida, Skaramus diam-diam pergi meninggalkan kampung itu. Ia hanya berpamitan pada Jumadil.
“Kalau kami mau menghubungi Mas Sekramus bagaimana caranya?”
Skaramus memberinya alamat email.
“Saya akan terus bantu teman-teman dengan desain baru. Atau kalau ada yang memesan topeng dengan desain khusus hubungan juga saya, saya akan terus bantu teman-teman.”
“Mas Sekramus mau ke mana? Mau tinggal di mana?”
“Saya juga nggak tahu, Mas Jumadil.”
“Mas Sekramus bakal balik ke sini, nggak?”
“Saya nggak tahu, Mas…”
Tiba-tiba saja Frida telah ada di situ mengejutkan Skaramus dan Jumadil. “Kalau saya yang meminta kamu bertahan di sini, kamu tetap akan pergi?”
© Habel Rajavani, 2024.