Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,341
Arini
Slice of Life

Arini. Begitulah nama perempuan karier yang menapaki rumah tangganya bersama seorang lelaki kalem dan sederhana bernama Fadli itu. Hari-harinya ia habiskan di sebuah ruangan sembari melototi layar komputer. Sebagai lulusan terbaik salah satu universitas di kotanya, ia dengan mulus bisa diterima di sebuah perusahaan multinasional. Sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga ia tidak pernah melupakan tugasnya meski sering telat pulang. Suaminya pun memaklumi kalau istrinya sangat sibuk sehingga dalam biduk rumah tangga mereka tidak pernah ada cekcok yang serius sehingga bisa menggoncang bahtera rumah tangga mereka.

Arini berasal dari keluarga baik-baik. Semua kakak-kakaknya lulusan universitas luar negeri. Begitu pun ayahnya merupakan dekan terbaik di kotanya dulu. Sebagai anak bungsu ia rela memilih menempuh pendidikan tingginya di kota kelahirannya agar tidak terlalu jauh dari kedua orang tuanya. Sebagai anak seorang dekan tak heran jika ia dikenal sebagai mahasiswi yang cerdas sehingga dapat memikat hati seorang pemuda sederhana yang berasal dari Jogja. Fadli nama pemuda itu. Arini sangat menyukai Fadli karena pemuda itu sering mengalahkan dosennya berdebat di kelas. Tidak jarang ia menemukan Fadli di ruang perpustakaan ketika kuliah sedang berlangsung. Fadli bosan di kelas. Dari seringnya pertemuan itu timbullah benih-benih cinta di hati keduanya.

Setelah empat tahun menempuh kuliah, keduanya pun lantas menikah, saling mengikat janji sehidup semati. Sebagai anak tunggal, Fadli tidak bisa meninggalkan kedua orang tuanya yang sama-sama telah renta sehingga ia harus mengajak istrinya tinggal di rumah mereka. Selama di sana Arini belajar bagaimana tata cara orang Jawa bersikap. Meskipun ia terlahir sebagai orang Jawa, namun perbedaan Jawa Tengah dan Jawa Timur cukup signifikan. Terutama dalam bertutur kata dengan orang tua. Tidak terasa kehidupan rumah tangga keduanya menapaki bulan ke delapan. Tetapi sampai detik ini, belum ada tanda-tanda kalau Arini mau hamil. Sementara itu, baik di pihak keluarganya maupun keluarga suaminya sama-sama tidak tahan untuk melihat Arini hamil.

Telah berbagai cara mereka lakukan supaya Arini hamil, mulai dari mendatangi dokter kandungan sampai dukun bayi. Namun usaha mereka sia-sia. Pada suatu ketika kakak tertuanya datang bersama istrinya yang hamil tujuh bulan, ibunya sedikit menyinggung soal kapan Arini mau hamil.

“Ibu sudah tidak sabar mau menimang cucu dari kamu, Nduk,” kata ibunya kepada Arini.

“Memangnya kalau sudah menikah itu harus ya Bu, hamil?” tanya Arini sedikit kesal pada ibunya.

“Nduk, hamil memang tidak semestinya karena hamil atau punya momongan adalah pemberian Gusti Allah. Kadang ada pasangan suami istri yang tidak dikaruniai anak sampai bertahun-tahun, kadang ada juga yang tidak sampai setahun. Tapi, Nduk, jika pasangan suami istri dikaruniai anak maka kehidupan rumah tangganya menjadi lengkap. Perempuan bisa dikatakan sempurna kalau dia melahirkan seorang anak,” jawab ibunya dengan lembut.

“Apakah dengan memiliki anak rumah tangga bisa langgeng, Bu. Buktinya tidak sedikit teman sekantorku yang kehidupan rumah tangganya berantakan setelah punya anak.”

“Itu semua tergantung pada diri kita masing-masing, Nduk. Kebanyakan suami yang merasa kecewa dengan istrinya karena kebutuhan biologisnya tidak dipenuhi oleh istrinya. Alasannya banyak. Seorang istri seharusnya tidak boleh menolak permintaan suami.”

Arini benar-benar terbakar dengan ucapan ibunya itu. Setiap kali ia menyempatkan diri menemui orang tuanya, tidak henti-henti ia diserang berbagai pertanyaan soal kehamilannya. Menanggapi hal yang dialami oleh istrinya, Fadli selalu menenangkannya. Begitu juga dengan ibu mertuanya yang selalu menanyakan kapan dia akan hamil.

“Nduk, apakah kamu tidak mau punya anak? Fadli adalah anak tunggal. Dia tidak mempunyai saudara atau ahli waris. Kalau dia memiliki keturunan dari kamu maka dia akan memiliki ahli waris yang akan mewarisi harta benda yang kami miliki,” kata ibu mertuanya suatu sore.

Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepalanya membuat kepala Arini hendak pecah. Sampai ia meminta pendapat dari kawan baiknya. Winda, kawan sekantornya yang telah delapan tahun menikah menyarankan agar Arini membicarakan hal serius itu dengan suaminya. Winda juga berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga pasangan yang telah memiliki anak akan berbeda suasananya.

“Kamu sendiri tahu kan kalau aku selalu sibuk di kantor,” kata Arini.

“Ya kamu harus istirahat sejenak. Luangkan waktu berkulitas dengan suamimu. Soalnya badan yang capek tidak akan bisa diajak untuk melakukan hubungan suami istri yang serius. Jangan salahkan suamimu kalau suatu hari merasa bosan sama kamu lalu ia berpaling pada perempuan lain.”

“Apa yang kamu rasakan setelah punya anak?”

“Setiap kali aku pulang kerja rasa lelahku lenyap setelah melihat anak-anak di rumah. Apalagi kalau mereka duduk di pangkuanku.”

Arini benar-benar tidak memiliki pilihan selain membicarakannya dengan suaminya.

“Apakah mas menuntut aku agar memberikan anak anak sama mas?” tanya Arini ketika mereka berdua sedang menonton film di ruang keluarga.

“Menurut kamu sendiri bagaimana?”

“Memangnya punya anak itu wajib ya, Mas?”

“Memang sudah sepatutnya. Nabi Adam dan Ibu Hawa sendiri bagaimana? Bukankah kita adalah anak-anak beliau berdua? Kalau keduanya tidak ada keinginan untuk memiliki anak, mana mungkin kita ada di dunia? Lalu buat apa sebuah pernikahan kalau bukan untuk melangsungkan kehidupan manusia di bumi?”

“Tapi aku tidak ingin punya anak.”

“Memangnya apa alasanmu tidak ingin mempunya anak?”

“Ya aku hanya ingin meniti karier saja.”

“Bukankah sudah menjadi kodrat wanita untuk melahirkan generasi penerus? Jangan salahkan aku kalau suatu hari kamu melihatku dekat dengan wanita lain.”

“Apakah mas mau menikahi wanita lain?”

“Rin, aku ini lelaki normal yang memiliki keinginan biologis. Oleh karena itu aku menikahi kamu agar aku bisa memiliki anak dari kamu.”

“Tapi aku tidak mau, Mas.”

“Terus?”

Fadli pulang agak telat dari tempatnya bekerja. Malas menyerang tubuhnya ketika ia hendak mengarahkan mobilnya ke rumahnya. Akhirnya ia memutuskan diri untuk mampir di sebuah kafe yang berada di pinggiran kota. Tanpa sengaja di sana ia bertemu dengan mantan teman sekelasnya yang telah lama menjanda. Keduanya pun saling bertukar kabar tentang biduk rumah tangga masing-masing. Fadli mengutarakan rasa kecewanya terhadap istrinya yang sampai detik ini belum memberinya momongan.

Sementara itu, di rumahnya Arini tidak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya setelah mendapat bonus dari perusahaannya untuk berlibur ke Negeri Sakura selama sepuluh hari. Sudah lama ia bercita-cita ingin pergi ke negerinya Hiroko itu. Tak sabar ia ingin menyampaikan kepada suaminya agar ikut berlibur ke sana. Namun sampai larut malam Fadli belum juga pulang. Dinantinya dengan mengenakan piyama di teras depan. Dan setelah menunggu kurang lebih satu jam akhirnya suaminya pulang.

“Mas, dua hari lagi kita akan berlibur ke Jepang.”

“Jepang? Buat apa ke Jepang? Di sini sama saja.”

“Ya siapa tahu di Jepang suasana berbeda. Kita kan bisa berduaan selama di sana?”

“Percuma kita liburan ke Jepang kalau cuma senang-senang dan menghabiskan banyak uang.”

“Mas, selama ini aku belum pernah berlibur ke luar negeri.”

“Memang apa bedanya Indonesia dengan luar negeri?”

“Ya sudah kalau mas tidak mau berlibur ke Jepang, aku sendiri yang akan berangkat ke sana. Aku tidak mau berdebat dengan mas.”

Arini sungguh benar-benar kecewa dengan suaminya. Sebaliknya, sama sekali tidak gunanya buat Fadli berlibur ke negeri yang jauh kalau hanya untuk menambah pedih di hatinya.

Akhirnya Arini berangkat sendiri ke Jepang. Meski kedua orang tuanya telah menasihatinya bahwa perempuan tidak boleh pergi tanpa seizing suaminya, namun Arini telah bebal nasihat. Selama di Jepang Arini menginap di sebuah hotel. Ia mengunjungi tempat-tempat liburan dan taman bunga sakura. Apalagi ia datang tepat di tengah musim dingin. Salju turun seperti kapas. Di sana ia juga bertemu dengan seorang pemuda bernama Arka, seorang fotografer dari Jakarta. Keduanya berkenalan hingga semakin akrab. Saking seringnya bertemu dan jalan berdua, timbullah benang-benang cinta di hati Arka.

“Kamu sungguh cantik.”

“Benarkah?”

“Bahkan bunga sakura masih lebih cantik kamu.”

Karena merasa menemukan rumah yang nyaman, akhirnya Arini memutuskan untuk bersama Arka. Bahkan ia tidak menolak ketika Arka menawarkan agar ia tinggal apartemen yang Arka sewa. Selama tinggal bersama di apartemen itu tak jarang keduanya melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Arini merasa telah mengkhianati cinta suaminya yang amat tulus.

“Ada apa denganmu, Sayang?”

“Apa yang kita lakukan selama ini, Arka?” Arini menangis.

“Kenapa, Sayang?”

“Kita telah melakukan suatu dosa.”

“Bukankah di sini tidak ada siapa-siapa yang melihat kita, Sayang?”

“Memang di sini tidak ada suamiku, mertua dan orang tuaku yang melihat perbuatan kita. Tapi Allah dan malaikat-malaikat-Nya telah menyaksikan kita. Aku telah dicap sebagai istri durhaka, dan aku tidak mau menanggungnya.”

Pagi itu, Arini mengemasi barang-barangnya ke dalam koper karena ia ingin langsung pulang ke tanah air. Ia ingin menemui suaminya. Arka sempat menawarkan diri untuk mengantarnya ke bandara, tapi Arini bilang tidak perlu. Perempuan ia menangis sejadi-jadinya di dalam pesawat. Bagaimana seandainya ia hamil dengan Arka? Apa yang akan ia katakana kepada suaminya, mertuanya, dan kedua orang tuanya? Sebagai gadis Jawa yang memeluk agama Islam, tidak seharusnya ia melakukan suatu perbuatan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat yang menganut paham kebebasan. Mungkin bagi orang Jepang kumpul kebo dengan suami atau istri orang sudah biasa, tapi menurut Islam, menurut orang Jawa?

Setiba di rumah mertuanya, Arini memeluk suaminya dengan erat. Begitu juga dengan Fadli. Ia merasa bersalah karena tidak mau menuruti permintaan istrinya. Bukankah seandainya jika mereka berdua berlibur ke Jepang akan merasakan suasana yang berbeda dengan ketika mereka bermesraan di rumah? Sebab adapun yang membuat Arini merasa risih bermesraan di rumah orang tuanya adalah karena di rumah itu ada kedua orang tuanya.

Setelah itu, baik Fadli maupun Arini menyempatkan diri untuk mengambil cuti demi meluangkan waktu bersama dengan berekreasi ke tempat-tempat romantis di mana mereka berdua bisa memadu cinta layaknya pasangan yang berada di surga. []

Probolinggo, Januari 2024


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)