Cerpen
Disukai
2
Dilihat
22,044
Apakah Kampus Hanya Melahirkan Sarjana sebagai Sekrup Kapitalis?
Drama

Apakah Kampus Hanya Melahirkan Sarjana sebagai Sekrup Kapitalis?

(Cerita tentang Seorang Kawan Kuliah yang Menghilang)

Cerpen Habel Rajavani


"KAMU itu sebenarnya cerdas, Ndu," kataku.

"Tapi..." kata Pandu.

"Nggak ada tapinya. Ya memang cerdas. Buktinya kamu sekarang sudah tamat S3."

"Tapi harus di-DO dulu, Pran."

Lalu kami tertawa bersama. Lepas. Seperti kami dulu tertawa di kos-kosan kami, kamar sewa murah di Tegalmanggah, Baranangsiang, tak jauh dari kampus lama sebuah institut pertanian yang terkenal dengan julukan kampus rakyat.

Seperti Pandu aku juga diterima lewat jalur undangan, alias masuk tanpa tes. Bagiku itu berkah, satu-satunya jalan terbuka untuk masuk perguruan tinggi negeri. Bagi Pandu itu beban. Dia sebenenarnya tak berminat, hanya iseng mengisi undangan, dan eh, dia satu-satunya yang diterima dari sekolahnya. Kepala sekolahnya pun setengah mengancam, kalau Pandu tak mengambil undangan itu maka ijazahnya ditahan.

"Kalau kita tak ambil nanti kan adik kelas kita bisa tak dapat undangan lagi," kata Pandu mengingat-ingat situasi yang dulu dia hadapi.

"Ya, sama. Aku juga diancam gitu sama kepala sekolah," kataku.

Pandu berangkat memenuhi undangan, tapi dia kuliah dengan malas-malasan. Dia naik tingkat dengan nilai dengan pas-pasan. Lalu pilih jurusan asal-asalan. 

“Aku ini kan bangsawan, Pran.”

“Kamu keturunan Sultan?” kataku, mengingat dia memang berasal dari Yogya.

“Bukan bangsane tangi awan,” kata Pandu sambil terkekeh, “golongan orang yang bangun kesiangan…”

Di tingkat II Pandu sebenarnya praktis tak lagi masuk kuliah. Aku tak tahu apa yang dia kerjakan. Dia sering tak ada di kos-kosan. Muncul sebulan sekali lalu pergi lagi. Kami bayar kos per bulan. Pada bulan ke-6 tahun itu, Pandu bilang padaku, "Pran, kamarku sudah kubayar sampai dua tahun. Kamu tungguin aja ya. Tidur di kamarku. Kamu tak usah bayar kos lagi."

"Lah, kamu gimana?"

"Aku mau ke Ujung Kulon, ke Krakatau.... terus ke Baduy Dalam."

"Ngapain? Kuliahmu gimana?"

"Kamu kayak bapakku saja pertanyaannya... Sudahlah ya. Tungguin kamarku. Aku titip beberapa barang berharga yang ada di dalam travel bag itu."

Dan Pandu tak pernah kembali.

Setelah tahun ke-2 itu, aku masuk asrama. Tas titipan Pandu kubawa. Lalu aku lulus di tahun ke-empat dan tak sempat wisuda aku langsung berangkat kerja ke Sumatera. Kami sedang laris. Banyak lulusan dari kampus kami bahkan di-ijon. Belum wisuda, bahkan belum ujian akhir pun sudah disuruh ikut tes. Kalau lulus diberi gaji sampai lulus dan langsung kerja. Pembangunan kebun sawit sedang genjar-genjarnya. Tas titipan Pandu itu aku bawa masuk hutan. Aku tak punya waktu untuk mencari kepada siapa tas itu harus kutitip. Kudengar setiap tahun ada adik kelas Pandu yang diterima. Harusnya aku bisa menitip ke mereka.

Aku tak heran kalau Pandu di-DO. Toh dia juga tak peduli. Ketika kulihat ada namanya di pengumuman resmi dib biro akademik dan administrasi, aku berinisiatif mengambil surat pemberitahuan DO itu. Karena tak tahu mau dikirim ke mana, surat itu – bersama ijazah SMA miliknya yang dikembalikan kampus - aku masukkan ke kantong samping travel bag yang tak pernah kubuka itu.

Aku bertemu dengan Pandu di seminar perkebunan sosial. Aku datang sebagai pembicara atas nama perusahaan tempatku bekerja. Dua pembicara lain adalah peneliti di sebuah lembaga riset dan seorang dari akademisi bergelar doktor. Si doktor pembicara bernama Pandu Wicaksono. Mirip sekali dengan nama Pandu Wibisono. Aku kira mereka saudara. Atau kebetulan saja mirip.

Pada saat kami bertemu, ternyata Pandu Wicaksono adalah Pandu Wibisono, teman kuliahku yang menghilang itu.

  “Ndu? Ini gimana ceritanya? Ngilang dari kampus, DO, eh sekarang doktor?”

   Pandu, temanku yang hilang itu, tersenyum. “Aneh kan? Heran kan? Aku juga heran, kok, Pran…”

    “Kamu gak pernah serius, Ndu. Jangan-jangan kamu pakai ijazah palsu, ya?”

     Pandu makin lebar senyumnya. “Gojekanmu kere, Pran.”

     Pandu tampil sebagai pembicara yang cerdas. Argumennya kukuh. Cara dia menyampaikan pokok-pokok pembicaraannya memikat. Tidak provokatif tapi amat menggugah. Sulit membantah data-data yang dia sampaikan. Pengalamannya luas. Dia banyak mengambil kearifan masyarakat Baduy Dalam yang banyak dia teliti dan mengantarkannya meraih gelar doktor di yang menggabungkan tiga bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial.

     Di seminar itu rasanya aku hanya jadi pembicara pelengkap. Perusahaan kami diminta bicara, dan perusahaan menunjuk aku sebagai pembicara karena besarnya dana CSR yang kami alokasikan untuk masyarakat di sekitar lokasi perkebunan kami. Kami merasa telah memberdayakan masyarakat dengan cara kami itu.

“Saya yakin, apa yang dilakukan oleh perusahaan Pak Pran itu karena itulah aturan dari pemerintah. Tanpa itu, apakah hal itu akan dilakukan? Saya tak melihat ada jaminan. Buktinya ratusan perusahaan lain, perkebunan besar itu, melakukannya asal-asalan. Ekonomi masyarakat di sekitar perkebunan-perkebunan besar kita tumbuhnya kecil sekali. Tadi datanya sudah saya sampaikan,” kata Pandu.

“Sadis, kau, Ndu… Kau bantai juga aku tadi pas seminar,” kataku.

Pandu lagi-lagi tertawa. Pandu memang cerdas. Dan kritis. Aku ingat dulu bagaimana, bahkan ketika masih tingkat 1, dia mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab oleh kakak kelas yang sedang seminar skripsi.

“Saya kan sedang kerja, Pran. Dibayar. Harus profesional, dong.”

Sayangnya, saat itu aku dan Pandu tak bisa bertemu lebih lama setelah seminar itu. Pandu harus segera kembali ke kampusnya dan bersiap berangkat ke luar negeri untuk jadi pembicara seminar. Pandu berjanji akan segera mengatur pertemuan kami sepulangnya dari luar negeri.

“Pandu, aku masih penasaran kenapa dulu kamu ninggalkan kampus?”

“Nanti saya cerita semua,” katanya.

 “Oh ya, travel bag-mu masih kusimpan, lho, Ndu.”

 “Serius? Wah. Oke. Nanti kalau kita ketemu bawa ya…. Penjelasan kenapa aku ninggalin kampus ada di tas itu.”

Maka di sinilah kami, di kafe yang dibangun di pojok taman yang rindang dengan pohon randu. Dari tempat kami duduk lalu lalang kendaran, dan angkot tentu saja, di Jalan Pajajaran bisa kami saksisan. Dan travel bag bersejarah itu ada di atas meja, di hadapan kami berdua.

Aku mendengarkan Pandu bercerita, “… setahun saya di Baduy Luar, setelah bebara bulan di Ujung Kulon. Saya bolak-balik masuk ke Baduy Dalam karena tak boleh menginap di sana.”       

 Pengalaman itu, kata Pandu, menyadarkannya tentang banyak hal. Terutama tentang apa arti alam bagi manusia. Apa artinya memajukan peradaban kalau itu jadi beban ekologis belaka. Bagi orang Baduy, manusia itu bagian dari alam. Itu tergambar benar dari bagaimana cara mereka memperlakukan mereka yang sudah mati. Dimakamkan di tanah, lalu setelah tujuh hari, tak ada tanda bahwa di situ ada makam seseorang. Semua rata dengan tanah. Semua kembali menjadi tanah.

 “Aku pikir dulu, kampus itu hanya memproduksi sarjana-sarjana yang jadi alat kapitalis untuk mengekploitasi alam. Kita dulu bahkan sudah direkrut sebelum lulus, kan? Itu eksploitatif banget, Pran.”

 “Jadi karena itu kamu tinggalkan kampus?”

  “Bukan,” kata Pandu. Nyatanya Pandu kembali ke kotanya dan mulai kuliah lagi di PTN di sana. Dari S1 hingga S3 dia tempuh tanpa hambatan dan dengan nilai yang nyaris sempurna. Kemudian menjadi akademisi yang keras bersuara soal hak-hak masyarakat adat ketika berhadapan dengan kapital besar. Ia dekat dengan para aktivis lingkungan.

“Terus karena apa?”

Dia buka travel bag-nya. Kunci gemboknya masih ada di kantong samping. Surat DO-nya juga masih di situ. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku harian dan sepucuk surat terselip di tengahnya.

 “Ini dia, Pran.”

 “Apa itu?”

“Surat pacarku. Dia waktu itu mutusin saya.”

“Oh, halah jadi karena itu toh? Eh, tapi bentar, kamu bisa masuk kuliah gimana? Ijazah SMA-mu kan ada di sini?” kataku, menunjuk travel bag di meja.

 “Nah, itu akan menjawab soal namaku,” kata Pandu. Dia punya saudara kembar. Sama-sama Pandu, yang satu Wicaksono yang lain Wibisono. “Aku tadinya hanya ingin pulang sebentar, karena kangen banget sama Wicak. Ternyata dia sakit dan bahkan meninggal. Bapak kan dosen di kampus di mana Wicak kuliah. Bapak bilang aku lanjutkan kuliah sebagai Wicak, gantikan dia. Aku tak mau. Jurusannya aku tak cocok. Sebagai kompromiku, aku ikut tes masuk pakai ijazah SMA milik Wicak. Sama saja, ini semacam kecurangan juga. Tapi, ya seperti kubilang, ini kompromiku.”

“Kenapa tidak kau ambil tas ini?”

“Aku tak tahu kalau kau ambilkan ijazahku. Aku bayangkan bakal repot banget kalau harus berususan sama pihak kampus ngambil ijazah SMA-ku. Lagian Bapak tak percaya kalau aku pergi lagi aku bakal pulang lagi…”

© Habel Rajavani, 2024.           


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi