Masukan nama pengguna
Apa yang kau rasakan kala bibirmu melafaskan sebuah kalimat tauhid?
Dua buah perjalanan telah bermula dalam diriku. Perjalanan yang mungkin akan merubah hidup dan kepribadianku. Perjalanan yang terus kucari makna dan artinya. Perjalanan yang menuntunku untuk mencari bukti keberadaanMU dihati ini.
Takkan ku tersesat kala melangkah dijalanmu, Tuhan.
Sebuah hijrah telah bermula. Menyusuri jalan menuju diinul haq, agama yang benar, agama islam. Meyakini hati ini agar tetap terus berpegang dalam indahnya agama Illahi. Sesuatu yang dulu tak kusadari dan kupahami meski islam telah menjadi agamaku sejak lahir.
Tapi mengapa kini semuanya terasa asing kurasakan dimata dan hatiku?
Bahwa islam berawal dari sesuatu yang asing kala muncul ditengah kaum quraish yang sangat menentang Rasulullah. Tapi kenapa kini islam menjadi asing ditengah-tengah umat islam sendiri?
Ketika ajaran dan perintah agama dilaksanakan dengan setngah hati, bahkan melakukan penawaran untung rugi untuk keuntungan pribadi. Seorang ahli agama yang menggelar dirinya sebagai walillulah menjual ilmu dan ajaran agama demi mendapatkan materi keduniawian. Mencari harta duniawi dari dakwah yang seharusnya dilakukan dengan keikhlasan tanpa pernah mengharapkan balasan. Bahwa amalan dan pahala lebih sempurna sebagai imbalannya seperti yang dilakukan sahabat Rasul. Betapa Siti Khadijah, Abu bakar, Umar dan sahabat nabi lainnya tak pernah mengharapkan sedikitpun imbalan materi ketika menyebarkan hadist dan ajaran rasul kala mereka mendapatkannya. Juga para cendekiawan muslim masa lalu yang terus mengembangkan ilmu demi kepentingan umat tanpa mengharapkan balasan apapun secara berlebihan kecuali pahala dari Allah.
Tapi lihatlah mereka yang merasa memiliki ilmu saat ini. Mereka begitu bernafsu mendapatkan gelar yang hanya sekedar menjadi kebanggaan duniawi. Sebutan kyai, ustad atau apapun itu menjadi kebanggaan akan ilmu yang mereka miliki. Bahkan gelaran haji selalu diletakkan didepan nama seakan menunjukkan ketinggian derajad mereka yang telah menunaikan rukun islam kelima.
Karena itulah aku menolaknya. Aku membantah dengan tegas mereka yang membanggakan ketinggian ilmu mereka dengan kecilnya ilmuku. Namun luasnya hati membuatku tetap teguh melakukan apa yang kuyakini bagai Rasulullah dan para sahabat yang mendapatkan cobaan kala menyebarkan ajaran islam untuk pertama kalinya. Karena niatku adalah saling tolong menolong dan nasehat menasehati kearah kebaikan.
Ketika seorang wanita menikah karena terlanjur hamil, padahal didalam agama merupakan sesuatu yang terlarang menikahkan seorang wanita yang hamil diluar nikah, adakah ketegasan dari para ahli agama untuk menjelaskan dan meluruskan apa yang sebenarnya dalam hukum islam?
Ketika menutup aurat bagi para wanita tak lagi diindahkan, mengenakan jilbab hanya menutupi badan tapi tak menutupi lekuk tubuh dengan sempurna. Bahkan tak mengenakan jilbab sebagai suatu keharusan hanya karena merasa belum siap dan belum terpanggil. Padahal perintah Allah jelas bahwa para wanita diwajibkan untuk menutup aurat mereka, siap atau tidaknya hati mereka. Tapi ketentuan itu tak lagi diindahkan.
Ketika seorang ahli agama memilih-milih umat dan golongannya sendiri. Memberikan keistimewaan pada sebagian yang mewakili kaum berada. Mencari-cari kecocokan ilmu agama demi kepentingan pribadi dan golongan. Menyodor-nyodorkan pada umat seorang tokoh yang mereka jamin dan percaya untuk memimpin negeri bersama janji-janji yang sewaktu-waktu dapat ditagih diakhirat nanti. Tapi sadarkah mereka kala tokoh itu menjadi seorang munafik yang tak mampu menunaikan janjinya, menjadi seorang yang zalim dan rakus mengumpulkan materi dunia, mereka ikut berdosa karena memberikan seorng pemimpin yang salah. Mereka ikut berdosa karena menyebabkan umat menderita karena dipimpin oleh pemimpin yang serakah.
Untuk itulah aku berdiri disini, menguatkan hati untuk melakukan jihad dengan caraku sendiri. Ber-mujahid membenarkan agama ilahi walau cemohan yang kudapatkan dari orang-orang yang memiliki ilmu agama namun memilih-milih umat dan golongan. Membeda-bedakan kepercayaan dalam mahzab-mahzab dan aliran padahal berasal dari khitah yang sama. Memisah-misahkan ajaran dan pengikut walaupun menyakini rukun yang sama. Islam dengan ajaran Al Quran sebagai fitrahnya dan rukun islam sebagai dasarnya.
Sedangkan Rasulullah saja diingatkan oleh Allah dengan firmannya dalam surat Abasa:
"Ketika ia Muhamad bermuka masam dan berpaling lantaran datang kepadanya seorang buta(Abdullah bin Ummi Maktum). Tahukah engkau barangkali ia ingin membersihkan dirinya dari dosa atau ingin mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang memandang dirinya kaya lalu engkau melayaninya. Padahal tidak ada celaan atas engkau kalau ia kaya tidak membersihkan dirinya (beriman). Sedangkan orang yang datang memerlukan menghadap engkau dan ia takut pada Allah lalu engkau acuh tak acuh padanya!
Sesekali jangan demikian! Sesungguhnya ayat-ayat Allah itu jadi peringatan!"
Untuk itulah aku menguatkan diri menghadapi semua cemohan dengan kecilnya ilmuku namun coba kugunakan besar manfaatnya.
Dan isra miraj menjadi perjalanku yang kedua untuk mendekatkan diri pada illahi. Perjalan penguat iman dalam mencari hidayah untukku seperti yang dialami rasulullah. Tapi perjalananku bukanlah seperti yang dilakukan rasulullah. Isra yang aku lakukan adalah dalam bentuk itikaf dalam hatiku. Untukku itikaf bukan berarti harus selalu berada dimesjid, mushola atau rumah Allah lainnya. Itikaf yang kulakukan ada dalam hatiku dalam bentuk istiqomah dan khusyuk. Ketika terbangun ditengah malam dan mengerjakan qiyamul lail, aku melakukan perjalanan pertama ke tanah suci dengan menghadapkan wajahku kearah kiblat. Itulah isra yang kulakukan dalam itikaf hatiku. Mencoba menyatukan hati dan perasaan, akal dan pikiran agar selalu mengingatnya.
Disinilah mirajku terjadi. Ketika itikaf hatiku kulakukan dalam bentuk qiyamul lail, perjalanku menuju Rabb terasa sangat indah. Tak ada tangisan airmata yang kucucurkan sebagai bentuk tangisan penyesalan untuk semua cobaan yang dia berikan. Tak ada ratapan kesedihan berlebihan. Aku menghadapNYA dengan wajah cerah dan binar mata bahagia bagai menemui seorang kekasih yang kucintai. Aku mempercepat kedatanganku, memperlama kehadiranku hanya untuk bercumbu dan berbagi segala kebahagiaan yang kudapatkan, termasuk dalam bentuk kesedihan, tangis dan dosa yang pernah kulakukan. Tapi aku tak pernah menghadapkan wajah duka dalam ratapan kesedihan. Aku ingin berbagi kebahagiaan bagaimanapun wujudnya. Karena cobaan dan ujian hanyalah jalan untuk seorang hamba mendapatkan hidayah. Dan ungkapan syukur dan bahagia terasa sangat indah dibandingkan tangisan dan ratapan kesedihan. Setidaknya itu menurutku.
Karena aku mendatangiNYA dengan cinta, bukan dengan ratapan duka. Ketidaksempurnaan untuk makhluk ciptaanNYA adalah sesuatu yang sempurna. Karena itulah bukti batas pembeda antara sang Pencipta dan hambanNYA.
Betapa selama ini umat terlanjur mengikuti pemahaman dan persepsi yang kurang tepat dengan menempatkan Dia di atas sana. Betapa jauhnya jarak antara sang Pencipta dengan hambanya karena sebenarnya DIA ada didekat kita. Dalam diri kita. Mengalir dalam darah dan hembusan nafas kehidupan kita. Jika kita menempatkan DIA jauh dari kita maka hilanglah arah tujuan hidup ini. menempatkanNYA untuk selalu ada didalam hati akan terasa indah bagai menempatkan seorang kekasih pujaan hati yang sangat dicintai.
Karena itulah mirajku kulakukan. Termasuk pada malam-malam dibulan penuh berkah ini. Mencoba menyusuri jejak langkah rasulullah dalam menghadap Illahi dengan kecilnya ilmuku. Dalam banyaknya petuah dan nasehat dari orang-orang sekitarku yang mengartikan hidayah dalam persepsi masing-masing yang terkadang membingungkanku. Mengelompokkan ajaran Allah dalam mahzab-mahzab dan aliran. Membeda-bedakan kelompok dan golongan padahal meyakini tuhan yang sama, Allah SWT dan mengakui nabi yang sama, Muhamad saw. Bahwa begitu banyaknya mahzab dan aliran didunia ini hanyalah bukti benarnya firman Allah bahwa disaat akhir nanti hanya ada satu islam. Islam yang berpegang teguh pada khitahnya, Al Quran.
Tapi mengapa hingga saat ini umatMU masih sulit untuk bersatu?
Jika harus mati
Matilah dengan menjejakkan kaki dibumi
Tantanglah dunia
Teriaklah pada langit
Bahwa semua cobaan ini hanyalah bagian dari hidayah
Seindah apapun nikmatnya
Sepedih apapun dukanya
Janganlah kau hadapkan wajah sedihmu
Tangis kepedihanmu
Airmatamu
KehadiratNYA
Karena itu mungkin hanya akan menjadi wujud kufurmu pada Illahi
Tapi syukurilah
Sebagai wujud kasih dan sayang
Juga perhatianNYA
Dan berikanlah wajah bahagiamu
Binar indah matamu
Senyum gembiramu
Dalam merangkai cinta
Mengurai rindu
Bagai menemui seorang kekasih hati
Yang sangat kau puja
Dengan cinta…
Dan malam yang penuh berkah dibulan yang diistimewakannya ini aku belajar untuk terbangun dan terjaga. Mencoba mencari berkah luar biasa dimalam pada hari ganjil yang telah diperingatkan. Mencoba mencari besarnya berkah dimalam seribu bulan.
Bahwa malam yang ganjil bukanlah dalam hitungan angka semata. Malam yang ganjil datang pada siapa saja yang terlihat ganjil dimata umat lainnya. Seorang pemimpin yang munafik tiba-tiba menyadari kesalahannya dan membuat keputusan ganjil demi kesejahteraan umat. Seorang wanita yang dianggap hina tiba-tiba berkelakuan ganjil dengan menutup sempurna seluruh tubuhnya, menjaga aurat dan kehormatannya untuk kembali kehadiratNYA. Seorang sampah masyarakat tiba-tiba berkelakuan ganjil dengan mendatangi mesjid dengan cinta, menegakkan aqidah dirinya dengan itikaf kembali kejalanNYA.
Bagiku orang-orang seperti itu laksana mendapatkan berkah dan rahmah lailatul qadar atas sikap istiqomah,
Bersungguh-sungguh dalam upaya kembali kejalan Illahi demi mendapatkan hidayah yang belum tentu didapatkan orang lain, bahkan oleh mereka yang memiliki ilmu yang tinggi sekalipun.
Karena perjalanan menuju sebuah perubahan merupakan hidayah. Tetap mencintai dan memujaNYA walau dengan hati terluka dengan senyum penuh kesyukuran untuk kasih sayang berupa ujian dan cobaan demi sempurnanya iman seorang umat.
Dan aku mencoba untuk mengikuti jejak itu walau sulit dan kurasakan tubuhku bergetar hebat kala menahan segala apa yang kurasakan, karena aku belum terbiasa merasakannya. Aku tetap berdiri disini memandang langit malam. Mencoba menemukan diriNYA dalam diriku. Merasakan sentuhanNYA disetiap kulitku. Dan mendapatkan peluk hangatNYA dalam setiap aliran darahku. Dalam setiap hembusan nafasku.
Haruskah aku berdiri tegak menengadahkan muka menatap langit bagai huruf alif?
Ataukah bersujud rebah mencium bumi mempasrahkan diri bagai huruf mim?
Akankah aku tersesat kala menyusuri jalanMU?