Cerpen
Disukai
3
Dilihat
15,443
Apa yang Tersimpan di Dinding Mercusuar Itu
Drama

Apa yang Tersimpan di Dinding Mercusuar Itu

Cerpen Habel Rajavani

             "ITU pulau mati. Tak ada orang yang tinggal di sana. Mercusuarnya juga sudah lama sekali tak terpakai. Memang masih tegak berdiri. Masih kuat. Peninggalan Belanda," kata lelaki nelayan itu sambil mengecat dan menuliskan nama perahunya dengan huruf yang bagus sekali. Aku tak pernah tahu ada jenis font seperti itu, entah apa namanya.

"Itu Pulau Sampurna, kan?" tanyaku.

"Betul. Tapi tak ada lagi orang yang menyebut nama itu."

Aku bertanya, "Perahumu namanya juga 'Sampurna'?"

"Nama perahu keluarga kami semuanya Sampurna. Bapak saya yang kasih nama. Dulu perahu pertama yang dia punya namanya 'Sampurna'. Rusak. Ganti perahu baru, tetap dikasih nama yang sama," katanya.

Sudah tiga hari aku di sini. Di pulau ini. Cuaca sedang buruk. Laut sedang ganas. Gelombang besar. Tak ada yang mau menyeberangkanku ke Pulau Sampurna itu, pulau yang dari sini tampak terpencil jauh dengan mercusuarnya itu. Padahal kesanalah tujuanku datang ke kampung di pulau ini. Aku harus menyeberang ke sana. Masuk ke mercuasuar itu untuk mencari kalung tersembunyi di dindingnya. Itu permintaan terakhir mamaku sebelum dia meninggal.

Aku menginap di rumah Akiong. Anak sepupu mamaku. Ia tinggal di rumah peninggalan keluarga besar kami. Kata Akiong, ini dulu toko milik orangtuaku. Aku tak yakin begitu. Ini rumah besar yang ramai dengan enam anak Akiong. Rumah yang menyatu dengan toko yang juga ramai. Toko terbesar di pulau ini. Apalagi toko itu juga merangkap kedai kopi. Ada papan nama toko yang tertutup kain merah yang sudah lapuk.

Cuaca masih buruk. Aku harus menunggu sampai bisa menyeberang. Menuntaskan tugasku, menunaikan amanat mamaku. 

Nelayan tidak melaut. Perahu berbaris di pesisir. Bertambat. Diperbaiki. Semua menunggu cuaca lebih ramah. Siklus alam yang tak perlu dibantah. Aku saja datang pada saat yang tidak tepat. Tak memperhitungkan cuaca yang memang sama sekali tak aku tahu. Aku kira pekerjaan ini mudah saja. Datang, menyeberang dan mengambil kalung itu. Lalu menyeberang, kembali ke kota.

Mama tak juga bercerita itu kalung apa dan kenapa tertinggal di mercusuar itu. Tapi amanat ini tak mungkin kuabaikan. Mama secara khusus menyebut aku untuk mengerjakan tugas ini. Apakah karena aku satu-satunya anak perempuan? Bungsu pula? Entahlah. Tak ada juga yang bisa kutanya. Ayah sudah meninggal lima tahun lalu.

"Pergilah, An. Kami tahu kau tak terlalu perlu warisan mama, tapi kalau amanat itu tak dikerjakan kita tak bisa membicarakan soal pembagian warisan ini..." kata abangku. Kudengar dia sedang sulit bisnisnya. Huh... 

             Sambil menunggu laut tenang, dan untuk mengisi waktu, aku belajar bikin kopi di kedai Koh Akiong, begitu orang-orang memanggil abang sepupuku itu. Ramai sekali. Lumayan juga. Orang-orang memandangku seperti melihat seseorang dari masa lalu mereka. Suasana itu sedikit memberi hiburan untukku. Koh Akiong dan istrinya sebenarnya melarang aku membantu bikin kopi. Mungkin tak nyaman membiarkan tamunya ikut bekerja. Tapi aku lebih tak nyaman jika hanya diam tak mengerjakan apa-apa.

Pekerjaan menyeduh kopi dan terutama membuat teh tarik di kedai itu adalah pekerjaan pamanku, sepupu ibuku itu. Orang pulau sini memanggilnya Apek Abun. Dia nyaris tak pernah bicara. Jika tidak menyiapkan minuman, dia duduk merokok. Itu saja. Monoton. Ajek. Seperti pakaiannya: kaos cap kupu-kupu dan celana hitam pas di bawah lutut, dan sepatu but tua yang dipotong sedikit di atas mata kaki. Dia tampak agak rikuh dengan bantuanku. Aku tak peduli. Asyik juga rasanya membuat kopi dengan cara tradisional ini. Tak ada desis mesin espreso seperti di kedai-kedai kopi di kota.

Setiap kali memandang mataku, Paman Abun menunduk. Menghindar.

"...Ahong...." katanya. Pelan sekali. Seperti berbisik. Seperti ucapan tak sengaja yang tak bisa ia tahan. Ia bagai terkejut. Memandangku dan seperti ingin mengingkari bahwa ia telah mengucapkan kata itu. Ahong adalah nama panggilan ibuku. Nama kecilnya. Xiao Hong nama lengkapnya.

Aku penasaran. Sikap paman Abun itu membangkitkan rasa ingin tahuku. Apakah ada cerita yang tak ibu ceritakan padaku? Aku ingin bertanya pada Paman Akiong tapi dia semakin menunjukkan sikap menutup dirinya. Aku semakin penasaran.

Aku pikir pasti ada yang tahu tentang cerita itu. Tapi siapa? Aku menemui pemuda nelayan pemilik kapal Sampurna itu. Ia tampak terkejut melihat kedatanganku menemuinya. Mungkin dia pikir aku sudah pulang. Dia tak pernah kulihat berbelanja atau mengopi di warung Koh Akiong. 

             "Kau mirip benar dengan ibumu..." kata seorang perempuan tua yang duduk bernaung di bawah pohon.

"Dia ibuku..." kata lelaki nelayan itu kepadaku.

"Siapa namamu?" tanya perempuan itu lagi.

Aku menyebut namaku. Perempuan itu tersenyum tipis. "Kata Jamil, kau mau menyeberang ke sana?" katanya menunjuk Pulau Sampurna. Aku mengiyakan.

"Mungkin dua tiga hari cuaca akan teduh. Laut akan tenang. Nanti menyeberanglah. Biar Jamil yang mengantarkanmu," katanya. Ia lantas pergi. Jamil meneruskan pekerjaannya, mengecat dinding bagian dalam perahunya. Seorang anak lelaki membawa sekaleng cat. "Kata Koh Akiong yang ada cuma kaleng kecil, Yah..." kata anak itu.   

Pagi itu cerah. Langit bersih dengan gerimis yang seperti melayang dipermainkan angin. Ada pelangi melengkung yang salah satu ujungnya seperti bangkit dari Pulau Sampurna. Tak sampai setengah jam, Perahu Sampurna sudah mendaratkan aku di pulau itu. Aku bergegas menuju ke mercusuar. Membuka pintu dan menapaki tangga yang melingkar di dalamnya. Mencermati dinding untuk menemukan kemungkinan tempat menyimpan kalung seperti yang diamanatkan ibuku. Sampai ke puncak mercusuar itu aku tak menemukan apa-apa. Aku terdiam. Kelelahan. Sambil menikmati ketakjuban melihat ke sekeliling pandangan dari puncak menara itu. Ada bekas lampu besar yang nyaris hancur oleh karat. Lalu kulihat dari arah pulau besar kampung nelayan ada perahu menuju ke Pulau Sampurna. Seperti seorang perempuan dan seorang anak lelaki. Aku bergegas turun.

             "Kamu mencari ini, kan?" kata ibunya Jamil. Kami duduk di depan pintu mercusuar. Aku membuka kotak perhiasan kecil yang ia sodorkan. Kalung emas ada di dalamnya.

Ia lantas bercerita tentang cinta terhalang seorang pemuda penjaga mercusuar terakhir itu dengan gadis anak seorang keluarga pedagang di kampung nelayan itu. "Hubungan yang membuat keluarga pedagang itu menanggung beban berat. Gadis itu sering menyeberang, dan menyelinap ke mercusuar ini. Karena ulah anak gadisnya, keluarga itu meninggalkan kampung ini, seperti terusir. Si gadis meninggalkan kalung ini dengan harapan si pemuda mengantarkannya ke kota, menemuinya, sebagai tanda si pemuda tetap memperjuangkan kemungkinan mereka untuk menjalani kehidupan bersama...." katanya.

Kalau saja ia lancar berbicara, katanya, Akiong-lah orang yang paling banyak tahu tentang hubungan itu. "Aku dan Abun. Asnan dan gadis itu. Berempat kami sebaya. Surat-surat mereka terkirim lewat aku dan Abun. Abun juga yang selalu menolong gadis itu menyeberang ke sini..." katanya.

             "Siapapun yang mewakili gadis itu datang ke sini, aku harus menyerahkan kalung ini padanya," kata ibu itu. "...aku menerima dan menyimpan kalung itu dari Asnan, sejak mercusuar ini tak lagi dipakai. Pindah ke Pulau yang lebih terluar. Pelayaran tak seramai dulu. Asnan adalah penjaga mercusuar terakhir..."

Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Gadis itu adalah Ahong. Ibuku. Dan Asnan adalah suami ibu itu. Ayahnya Jamil.

"Kata Asnan, suamiku, Xiao Hong itu artinya pelangi. Ketika ia harus berganti nama, dia diberi nama Sampurna oleh Asnan.... Tapi kudengar nama itu dipaksa untuk diganti oleh keluarganya.."

© Habel Rajavani, 2024.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)