Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,515
Andai Ayah Tak Begitu
Slice of Life

Aku terduduk menatap dinding kosong. Pikiran terasa kopong. Batin berharap dunia sedang berbohong.

Silih berganti para tetangga datang memberiku kata-kata penghiburan. Namun, nestapa justru semakin menganga dalam lamunan. Berbagai pengandaian pun turut memperberat hatiku untuk menerima suratan takdir ini.

Bisakah waktu kuputar untuk memperbaiki hari-hari yang dulu? Adakah cara untuk melintasi dimensi, mengunjungi tragedi 15 tahun lalu? Atau bolehkah kemarin berjalan tanpa menggunakan satuan masa?

***

Saat tengah sibuk bekerja, seseorang meneleponku. Dia mengabarkan ibuku tengah berada di kantor polisi bersamanya. Kontan, aku panik. Apa yang sudah diperbuat oleh Ibu?

Aku pun bergegas mengendarai motor menuju kantor polisi. Semoga saja keberadaan Ibu di sana tidak ada sangkut paut dengan tindakan kriminal.

Begitu tiba, aku langsung menemui Ibu di Unit Pelayanan. Berbagai prasangka mengaduk-aduk pikiranku.

“Pak, apa yang Ibu saya perbuat sehingga ia ada di sini?” tanyaku kepada Pak Polisi yang duduk berhadapan dengan Ibu.

Sementara itu, Ibu bagai patung yang duduk dengan pandangan horizontal. Tak ada sapa, tak ada suara yang mengalun dari bibirnya.

“Tenang, Da! Ibu kamu nggak ngelakuin apa-apa,” terang tetangga yang tadi meneleponku.

“Betul, Mas. Ibu Mas ada di sini bukan karena melakukan kejahatan. Ibu Mas sedang memberikan laporan jika anaknya menghilang dari tadi siang,” timpal Pak Polisi.

Lagi. Aku hilang. Padahal, aku selalu bersama Ibu setiap hari.

Ibu tak mengingatku. Seolah aku bayangan samar di matanya. Tak nyata. Tak dikenali.

Ketakutan kian merayap. Harapan agar Ibu kembali seperti semula mulai luruh. Kesedihan menyeruak, menyesakkan hati, hingga air mataku nyaris jatuh.

Pengobatan medis telah dijalaninya. Terapi dengan psikolog pun pernah dilakukan. Sayangnya, semua itu harus terhenti karena biaya dan karena Ibu menolaknya. Ibu bilang bahwa ia sakit. Ia hanya ingin bertemu Prada.

“Iya, Da. Pas Bibi pulang dari tempat saudara, Bibi lihat ibumu jalan kaki sendirian. Ketika Bibi hampiri untuk diajak pulang, dia menolak. Katanya, kamu hilang dan kemungkinan diculik sepulang dari sekolah,” urai tetanggaku.

Kurentangkan tangan kanan untuk membelai pundak Ibu. Pedih dan getir beradu satu di dalam batin.

“Bu,” lirihku, sembari menahan air mata.

Ibu pun bangkit dari kursi. Seketika aku bermunajat supaya ia memelukku.

Sayangnya, harapku harus bertiarap. Ibu menarik tangan Pak Polisi seraya memelas bantuan.

“Pak, tolong bantu carikan anak saya. Saya mohon, Pak!” ucap Ibu berurai air mata. Kemudian, ia berteriak-teriak mencari keberadaanku, “Prada, kamu di mana? Jangan tinggalkan Ibu sendirian, Sayang!”

“Ibu tenang, ya. Kami akan segera mencari anak Ibu. Ini sudah saya buatkan laporan kehilangannya. Silakan Ibu simpan sebagai bukti. Sekarang Ibu pulang saja, makan, terus istirahat ya.” Pak Polisi bisa mengerti raut keinginanku.

Ini berat. Menyaksikan orang yang sangat kucintai mengenyam pilu—dan aku harus mengajak orang lain membohonginya. Aku tahu ini mungkin tak baik. Akan tetapi, tak ada pilihan lain. Ibu bisa seharian di tempat ini jika tidak diberikan jawaban. Jawaban yang menyiratkan kepastian. padahal fiksi belaka.

Aku bawa Ibu pulang. Sepanjang perjalanan, ia membisu. Kulihat di spion, wajahnya sayu dalam kehampaan. Tatapannya lurus menghitung asa.

Aku bingung. Canggung untuk merenda kata. Sungguh, akalku begitu linglung.

Setiba di rumah, Ibu turun dari motor dengan memberikanku sedikit senyuman.

“Terima kasih sudah mengantar Ibu, ya, Nak,” ujarnya, memaksa berseri.

Kubuka mulutku seraya mengangguk. “Nak”, kata sapaan itu bernada hangat. Digunakan bukan berlandaskan hubungan darah, melainkan mengacu pada tingkatan usia yang hangat. Hal tersebut semakin menggores mimpiku. Kapankah Ibu akan menyadari bila waktu telah mengubah posturku?

Ibu masuk ke dalam rumah. Kakiku pun mengikuti dari belakang.

Tiba-tiba ia berhenti di depan pintu, dan berbalik badan. “Kenapa masih ngikutin saya? Kamu mau minta ongkos? Sebentar, saya coba cari uang dulu di dalam, ya.”

Aku menarik lengan ibuku dengan lembut. “Tidak, Bu. Malam ini, saya tidak punya tempat bermalam. Bolehkah saya menginap di rumah Ibu?” tuturku, sendu.

Ibu memalingkan muka sesaat. Napasnya terdengar lesu, seakan memikul beban yang sangat berat yang enggan dia bagi.

“Karena kamu sudah bantu saya, dan saya lihat kamu sepertinya orang baik, kamu boleh menginap di sini. Tapi kamu cari dan bersihkan sendiri kamar yang mau kamu tempati, ya,” ungkapnya.

Sejatinya, aku lelah bersandiwara. Mengganti peran setiap hari, setiap minggu, hingga setiap bulan agar selalu bisa di dekat Ibu. Terkadang aku dikenali sebagai penghuni kost, terkadang menjadi asing bak orang yang baru pertama kali tertangkap matanya.

***

Malam menjelang, pikiranku mengembara pada masa lalu. Rasa berdosa menari di atas kepala sembari menggunjing orang yang membuat kondisi Ibu seperti ini.

Menurut diagnosa medis, Ibu mengalami demensia atau penurunan daya ingat dan cara berpikir—tetapi bukan pikun. Secara fisik, Ibu sehat dan masih bisa menimpali ketika diajak berbincang. Hanya saja, beberapa ingatannya ada yang terputus atau terhatan. Jadi, dalam memorinya, aku belum berubah menjadi dewasa.

Kondisi Ibu tersebut sudah berlangsung selama hampir dua tahun. Sebelumnya, ia menjalani pengobatan akibat depresi sekitar enam tahun. Ya, bila diakumulasikan, satu windu telah kujalani dengan menyaksikan kepedihan hidup ibuku.

Sunyi. Sepi. Kelabu.

Ayah. Dialah penyebab semua derita Ibu.

Ayah pergi ke Kalimantan untuk bekerja saat aku duduk di kelas 1 sekolah dasar. Katanya, di sana dia hanya menunaikan tugas selama dua tahun. Setelah itu, kami akan berkumpul kembali menjalani hari sebagai keluarga lengkap.

Nyatanya, bulan ke bulan kabar Ayah terus memudar. Hingga dua tahun berlalu, Ayah tak kunjung mengucapkan salam di depan pintu rumah.

Ibu pun berlayar untuk mencari tahu jejak keberadaan Ayah. Aku ditinggal, dititpkan ke tetangga, dengan memendam segudang pertanyaan dan kekhawatiran. Ibu berikrar akan pulang bersama Ayah. Kalimat tersebut dilafalkan penuh keyakinan.

Lima belas hari lamanya Ibu mengelana di luar pulau. Ibu tampil di hadapanku bersimbah air mata. Ia mendekapku erat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang menimpa pikirannya kala itu.

Anganku tentang Ibu pulang bersama Ayah terbias oleh tangisan. Kelara menyerang kalbu, dan rindu mengabu.

Senin ke Minggu, Januari ke Desember, tak kudapati lagi keceriaan di wajah Ibu. Saat kutanya tentang Ayah, Ibu menjawab dengan perih disertai kata yang menggertak.

“Tidak bisakah kamu berhenti menanyakan ayahmu? Ibu pusing kalau kamu terus merengek seperti ini,” katanya.

Semenjak saat itu, aku lupa rasanya memiliki Ayah. Aku berupaya sekuat hati menjaga perasaan Ibu. Kulupakan kerinduan akan keluarga yang lengkap dan utuh.

Lembar demi lembar kehidupan berjalan. Kesedihan turut di setiap pergantian tahun, bahkan bertambah di setiap sudut rumah. Kadang Ibu meratap terisak-isak, kadang pula ia diam bermuram.

Luka harus segera disembuhkan. Duka tak boleh menetap selamanya. Kuselidiki tentang Ayah melalui catatan-catatan yang Ibu selipkan di dalam lemarinya. Aku sadar telah lancang, tetapi aku ingin tahu permulaan sengsara yang menyekap pikiran Ibu.

Kutemukan buku harian yang berisi curahan hati Ibu. Kubaca setiap halaman dengan saksama sembari menahan sesak di dada.

Guratan Ibu mengisahkan pertemuan dengan Ayah di Kalimantan yang berujung kepahitan. Ayah ternyata telah menikah dengan wanita lain. Dia pun mengucapkan talak kepada Ibu yang telah bersusah payah menulusuri jejaknya. Hati siapa yang tak luka bila kerinduan disambut dengan perceraian?!

Kesetiaan Ibu dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang menghunus batin serta raga. Ayah menghilang karena memiliki hidup yang baru. Sungguh, sebuah ironi bagi Ibu. Duri ditancapkan dalam-dalam tanpa salam.

Memasuki pertengahan buku, Ibu menuliskan keresahannya dalam membesarkanku. Ibu khawatir tak bisa menyuguhkanku kehidupan yang bahagia, seperti menghidangkan makanan bergizi dan menyekolahkanku hingga perguruan tinggi.

Ibu bekerja keras demi aku, tetapi selalu memarahiku setiap kali mengetahui aku membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai pelayan di rumah makan. Ia menyuruhku untuk fokus belajar saja.

Suatu hari, aku disusul oleh tetanggaku saat tengah mengerjakan soal ujian akhir nasional SMA. Ibu dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di tempat kerja.

Mendengar berita itu, ketakutanku luar biasa liar. Aku hanya punya Ibu. Tak ada siapa pun di dunia ini yang menjadi penyemangat hidupku.

Untungnya, setelah dua malam diopname, kesehatan Ibu membaik. Ia diizinkan pulang.

Namun, Ibu menjadi lebih diam dari sebelumnya. Bahkan, ia mulai lupa aktivitas yang harus dilakukan. Setiap kali kuajak berbicara, ia selalu menangis, merintih, dan memukuli dirinya sendiri.

***

Beberapa bulan berselang, Ibu mendatangi kamarku. Malam itu aku tengah terbaring dalam kondisi kurang sehat. Dalam remang cahaya, kulihat bayangannya mengendap-endap—dan di tangannya tampak sebuah benda tajam.

Saat jarak di antara kami kian menyempit, Ibu mengayunkan pisau dapur, berusaha menusukkannya ke tubuhku. Namun, aku sigap menghindar: bergerak cepat sebelum mata pisau itu mencapai sasaran.

“Sayang, maafkan Ibu! Ibu bukan ingin menyakitimu. Ibu hanya ingin menyelamatkan hidupmu, hidup kita. Setelah kamu mencapai surga, Ibu akan menyusulmu. Ibu janji,” ungkapnya dengan suara bergetar.

Ibuku gelap mata. Ia menganggap kematian sebagai cara satu-satunya lepas dari derita.

Aku coba menahan tubuhnya sambil berusaha melepaskan senjata itu dari genggamannya. Sayangnya, tenagaku tak kuat. Aku pun berteriak, memohon pertolongan, dengan menggumpalkan semua energi yang tersisa.

Tetangga langsung berdatangan. Ibu menjerit dan meminta mereka tak ikut campur. Ibu bilang ini urusan pribadinya.

Butuh waktu lama untuk membuat Ibu tak melukaiku dan melukai dirinya sendiri. Akhirnya, ia tergulai ke lantai karena kelelehan. Setelah itu, ibu langsung dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penangannya.

Dari rumah sakit umum, ibu dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Ia menjalani terapi berbulan-bulan dan dikarantina.

Setiap aku jenguk, Ibu tak pernah menyambut tatapanku. Tak ada sepatah kata pun terucap. Namun, ada suatu masa ia berkata ingin pulang. ia letih dianggap sebagai orang gila.

Sebagai anak, aku juga tak tega Ibu hidup terpasung di tempat lain. Lantas, aku meyakinkan pihak rumah sakit untuk merawat Ibu di rumah.

Sesampainya di rumah, suara Ibu menggema bahagia. Kala itu kupikir kondisi Ibu betul-betul kembali pulih. Nyatanya, ia hanya tidak betah terkurung di ruangan sempit rumah sakit.

Pengobatan Ibu terus kuupayakan agar tak terhenti. Aku kuliah, dengan beasiswa, sambil bekerja untuk mengumpulkan biaya. Imbasnya, waktuku bersama Ibu mulai berkurang drastis. Aku melangkah keluar rumah saat Ibu masih beristirahat. Ketika pulang, Ibu sudah terlelap.

Selama bertahun-tahun, Ibu harus mengandalkan obat penenang. Tentu saja, itu bukan perkara mudah. Aku pun harus mencari cara agar obat itu bisa diminum Ibu tanpa penolakan, salah satunya dengan menyelipkannya diam-diam ke dalam makanannya.

Di suatu Minggu pagi, aku mengajaknya sarapan bersama, seperti biasa. Hanya saja, pagi itu terasa berbeda. Tiba-tiba Ibu memandangiku berkali-kali dengan wajah yang melukiskan kewaspadaan. Kemudian, ia bertanya, “Kamu siapa? Kamu mau ngapain di rumah saya?”

Aku tersentak. Kujelaskan berulang-ulang, tetapi Ibu malah histeris dan meneriakkan namaku tanpa henti. Ibu tak mengenaliku mulai hari itu.

Hem! Malam terasa panjang. Bayangan kelam itu duduk di ujung ranjang. Sunyi menempel di dinding kamar, menyisakan suara-suara lama yang sebenarnya tak ingin kukenang.

***

Sinar mentari pagi menyusup perlahan melalui celah jendela, membangunkanku dengan hangat yang samar. Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan makan siang Ibu.

Sialnya, pagi ini terasa sedikit kacau. Tidurku semalam tak utuh, mengambang menjelang subuh, membuat otot terasa kaku dan langkah kehilangan ritmenya.

Dengan sisa waktu yang tergesa, aku bersiap menuju kantor. Sebelum keluar, kuputuskan menengok Ibu di kamarnya, memastikan semuanya baik-baik saja. Namun, kamar itu kosong. Tak ada Ibu di tempat tidur. Hanya selimut yang terlipat rapi dan hening.

“Bu, Ibu!” seruku. Sayangnya, sahutan yang diharapkan tak terdengar melalui terpaan udara.

Kususuri setiap sudut rumah. Pintu dan pagar yang terbuka memberikan penjelasan jika Ibu keluar, mungkin ke suatu tempat.

Aku terus berkeliling mencari keberadaan Ibu. Setengah jam berlalu, tak kudapati jejak yang menunjukkan ke arah mana Ibu berjalan.

Aku merenung sejenak. Kemudian, seolah ada bisikan batin bahwa kemungkinan Ibu berada di tempatku menempuh pendidikan dasar dulu. Aku lekas berlari sekencang mungkin mengikuti intuisiku.

Benar saja, Ibu terlihat berbincang dengan petugas keamanan sekolah. Dengan napas tersengal-sengal, aku berdiri di belakang Ibu.

“Pak, apa Bapak tidak lihat anak saya kemarin pulang dengan siapa?” tanya Ibu, cemas.

“Tidak, Bu.”

Ibu lantas merentangkan foto berukuran 10R yang merupakan potret saat usiaku 7 tahun. “Ini, Pak. Namanya, Prada. Dia sekolah di sini. Tapi sejak kemarin tidak pulang. Tolong bantu saya cari anak saya, Pak! Bapak ini kan petugas kemanan di sini. Seharusnya Bapak mengawasi dong setiap orang yang menjemput anaknya.” Ada nada yang meninggi dari suara Ibu di setiap perpindahan kalimat.

“Bu, kemarin Ibu juga kan ke sini. Saya sudah jelaskan jika anak Ibu itu sudah tidak bersekolah di sini. Dia—”

Ibu memotong ucapan Pak Satpam. “Bapak ini bagaimana, sih?” bentaknya. “Bapak kan kerja di sini tugasnya untuk memantau anak-anak. Kok Bapak malah tak peduli saat ada kejadian seperti yang menimpa anak saya ini,” sambungnya, penuh rasa kesal dan kecewa.

Mendengar emosi Ibu meledak-ledak, aku tak bisa lagi berdiam diri.

“Bu, ini Prada. Prada sudah tidak sekolah di sini lagi. Prada sekarang sudah dewasa, Bu,” ucapku, santun.

Ibu menatapku getir. “Kamu siapa? Kenapa kamu mengaku-ngaku sebagai anak saya? Kamu sengaja mempermainkan saya? Kamu pikir kehilangan seorang anak merupakan hal yang lucu?”

Mata Ibu berair. Aku coba lakukan pendekatan yang lebih halus. “Kita pulang yuk, Bu,” ajakku sembari merangkul bahunya.

Ibu menghardik tanganku. “Lepaskan! Saya tidak kenal sama kamu,” laungnya.  

Jeritan Ibu akhirnya menarik perhatian mantan wali kelasku. Ia menghampiri dan mencoba menenangkan keadaan. Dengan suara lembut, ia membantuku membujuk Ibu agar mau pulang. Perlahan-lahan ia menjelaskan Prada sedang mengikuti ujian di dalam kelas. Ibuku diminta untuk kembali ke rumah dan menyiapkan makan siang saja.

Ya, Ibu menurut perkataan wali kelasku. Namun, hatiku carut marut. Sampai kapan menambahkan kebohongan sebagai alas obat penenang?

Aku hubungi pimpinanku di kantor, meminta izin untuk libur satu hari. Rasanya tak tega meninggal Ibu sendirian di rumah dalam kondisi yang semakin rapuh, baik raga maupun pikirannya.

***

Siang terangkat. Ibu tertidur nyenyak di kamarnya. Aku rebahkan badan di sofa lusuh di ruang tengah.

Tiba-tiba mataku menjadi berat dan rapat. Lelah mengajak seluruh anggota badan untuk beristirahat.

Dalam kesadaran yang tak sempurna, aroma masakan menggoda indra penciumanku. Aku angkat tangan ke atas sebagai komando kebangkitan. Rupanya, langit sudah berubah gelap.

Lantas, aku berjalan memeriksa sumber aroma yang menggugah selera. Kulihat di meja makan tersaji cukup banyak sekali hidangan. Aku pun keheranan menyaksikan pemandangan yang sudah lama menghilang.

“Syukurlah kamu udah bangun,” ujar Ibu dari arah belakang. “Ibu baru saja selesai masak. Yuk, kita makan malam sama-sama!”

Apakah memori Ibu sudah kembali? Apakah Ibu sudah sadar tentang diriku yang bukan lagi anak kecil? Semoga saja demikian, tetapi aku butuh sedikit pembuktian.

“Bu, Ibu sudah ingat aku?” tanyaku, antusias.

Ibu mengembangkan kedua bibirnya. “Kita makan dulu aja, ya. Nanti kalau makanan terlalu lama kena angin bisa dingin, dan rasanya mungkin sedikit berkurang.”

Bahagia menyelimuti setiap helaan napasku. Ini hari yang luar biasa. Keajaiban terjadi setalah penantian yang begitu panjang.

“Akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa merasakan nikmatnya masakan Ibu lagi,” terangku, mengucap syukur setelah perut terasa cukup kenyang.

“Maaf ya jika selama kamu ngekost di sini kamu merasa kurang nyaman dengan sikap Ibu,” respon Ibu sembari membereskan sisa makanan.

Tidak mungkin. Aku kira semua memori Ibu sudah berkumpul utuh.

“Bu, ini Prada,” jelasku menahan kecewa.

“Cukup!” Ibu menatapku tajam. “Tolong jangan ungkit soal anak saya lagi! Jika tidak, silakan cari tempat kost yang lain,” tegasnya.

Aku terpana meresapi realita yang tak sejalan dengan angan.

Baiklah! Setidaknya, gairah Ibu mulai muncul ke permukaan. Aku mengamini saja proses yang menyasar pikiran Ibu.

Aku putuskan membasuh badan dan berganti pakaian. Selanjutnya, membuka laptop untuk memeriksa pekerjaan.

Sekira pukul 21:00, Ibu memanggil-manggil namaku. Suaranya terdengar larat.

Begitu kubuka pintu kamar, kudapati Ibu terbaring dengan kedua tangan mengepal di atas dada. Jemarinya bergetar, tubuhnya menggigil, sedangkan matanya tetap terpejam, seolah menahan sesuatu yang tak sanggup diucapkan.

“Bu… Ibu… Ibu kenapa?” Aku benar-benar panik.

Aku angkat tubuh ibuku untuk dibawa ke fasilitas Kesehatan tetapi. Akan tetapi, ia menahan dirinya.

“Ibu tidak kenapa-napa. Ibu hanya pengen peluk anak Ibu,” ungkapnya, menangis.

“Ini Prada, Bu. Prada ada di samping Ibu,” ucapku, lara.

Ibu membuka mata, lalu menatapku tenang, Tatapannya membuat pipiku basah seketika.

Ibu kemudian meraba wajahku. “Ini kamu, Prada? Kamu ternyata sekarang sudah dewasa. Ibu rindu sekali sama kamu, Sayang.”

Ibu memelukku. Keharuan menyebar, memecah suasana asing yang sekian lama menetap di antara kami. Untuk pertama kalinya, setelah waktu yang panjang, kurasakan lagi hangatnya pelukan seorang ibu.

Pelukan itu bertahan cukup lama, seperti enggan dilepaskan. Namun, perlahan, sesuatu terasa ganjil—hembusan angin menghilang dari kulit pipiku. Tangannya mulai dingin dan kaku.

Saat kuperiksa, tak ada lagi tanda kehidupan. Detak jantung, denyut nadi, seluruh napas yang tersisa. Semuanya telah berhenti.

Tidak. Ini pasti hanya mimpi, kan?

***

Terhitung sudah 40 hari Ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku ikhlas. Hanya saja, masih terselip permohonan dalam hati kecilku. Aku ingin melihat Ibu tersenyum seperti saat kesetiaan masih mendekapnya dengan mesra.

Aku tata semua benda yang pernah melekat di tubuh Ibu semasa hidup. Kuseka air mata sembari berdoa semoga Ibu bahagia di sisi Yang Maha Esa.

Tak lama, suara salam menggema di depan rumah. Kubuka pintu dengan segera.

Pria setengah baya, yang mungkin menjadi gambaran wajahku di masa depan, berdiri tegap menantang pandanganku.

Tidak. Keriput yang dia tunjukkan telah menyebabkan kemelut di hidup Ibu dan aku.

Aku banting pintu. Dia tahan dengan kencang.

“Prada. Ini Ayah, Nak. Apa kamu sudah lupa sama Ayah?” ucapnya datar, tanpa tersirat perasaan berdosa.

Aku lantas tersulut untuk meladeninya. “Anda tidak perlu menegaskan siapa Anda. Saya masih ingat. Masih sangat ingat. Semestinya kalimat yang Anda tanyakan kepada saya, lebih dulu Anda tanyakan pada diri Anda.”

Perih, pedih, sakit. Aku tak bisa menggunakan sopan santun dan tata krama dalam menghadapinya.

“Nak, Ayah minta maaf. Ayah pulang untuk menjenguk kamu, karena kemarin Ayah baru dapat kabar bahwa ibumu sudah tiada,” lirihnya.

Otakku membara. “Jadi kalau ibu saya tidak meninggal dunia, Anda tidak akan mengunjungi rumah ini?” sarkasku. “Anda datang seakan-akan tidak memiliki rasa bersalah. Anda tahu, bagaimana ibu saya menghadapi hari ketika Anda menceraikannya? Ibu saya rela menempuh jarak ribuan kilometer untuk menuangkan rindu, tetapi Anda malah membakar perasaannya. Tanpa kabar, Anda menikah dengan wanita lain di tempat Anda bekerja. Padahal, kami menjadikan Anda sosok idola di dalam keluarga.”

“Nak, Ayah bisa jelaskan semuanya.”

Aku menatapnya bengis. Aku tahu, bagaimana pun dia tetap ayah kandungku. Darahnya mengalir di dalam darahku, dan tak bisa dibuang begitu saja. Namun, derita yang dia buat telah melenyapkan pelita yang menaungi Ibu dan aku.

“Apa yang ingin Anda jelaskan? Tentang mengapa Anda menyelingkuhi ibu saya? Harusnya Anda jelaskan hal tersebut kepada ibu saya belasan tahun yang lalu.” Suaraku tercekat, mencoba menahan gemuruh amarah dan kecewa yang nyaris meledak dari dalam dada. “Sampai akhir hayatnya, ibu saya masih terus mencari jawaban apa yang kurang darinya sehingga Anda berpaling pada wanita lain. Ibu saya sangat setia kepada Anda. Tapi Anda mengkhianatinya tanpa memberikan alasan yang jelas. Sekarang Anda datang untuk memberikan penjelasan, begitukah? Anda seperti sedang menaburkan garam di atas luka,” sambungku, sesak.

Dia tak bergeming mendengarkan sakit yang aku jabarkan. Hanya menundukkan kepala tanpa berani menatapku.

Aku masuk ke kamar Ibu, dan meminta pria itu menunggu sesaat. Kuambil catatan rekam medis Ibu. Lepas itu, kusodorkan riwayat tersebut kepada orang yang menjadi penyebab Ibu menjalani kehidupan berselimut kesedihan dan kepedihan.

“Silakan Anda baca dan cermati semua jejak kehidupan ibu saya! Setelah itu, Anda bisa berikan penjelasan yang ingin Anda sampaikan tadi pada lembaran-lembaran kertas tersebut. Maaf jika saya telah durhaka. Tetapi, semoga Anda tidak durhaka pada keluarga Anda yang sekarang,” kesahku, satir.

Kututup lagi pintu. Berlama-lama berhadapan dengannya sangat menguji emosi dan mental.

“Nak! Ayah mohon maafkan Ayah. Katakan apa yang harus Ayah lakukan untuk menebus semua dosa-dsoa Ayah!” Dia memohon, mengejar langkahku.

Aku paham memendam benci hanya akan melukai hatiku sendiri. Namun, untuk memaafkannya lebih baik tak melihatnya. Entahlah! Semoga Tuhan menyematkan hidayah untuk melapangkan pikiranku.

Ibu, hidup tak selalu seperti cerita dalam drama yang bisa memilih ending yang bahagia. Dalam kenyataannya, justru seringkali yang menyakiti bisa terus melangkah dengan tawa, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sementara mereka yang disakiti, harus menanggung luka yang tak kunjung sembuh, hidup dalam trauma dan bayang-bayang ketidakpastian. Realitas bisa kejam, Bu. Bahkan, kadang tak memberi ruang bagi keadilan yang layak.

Hah!

Aku sandarkan tubuh ke kursi kesayangan Ibu. Di luar, Ayah terus melambungkan namaku ke udara. Maaf. Aku sudah mantap memilih untuk menghindari rasa iba terhadapnya.

Aku mungkin terkesan tega dan tak jauh beda dengan dia. Namun, aku butuh jeda untuk meredam laju dendam. Hatiku masih berduka. Kesalku masih bertapa.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)