Masukan nama pengguna
“Dan salah satu amal yang tak akan pernah putus kala seseorang meninggal dunia adalah doa anak yang soleh….”
Sedih rasanya bila mengenang kalimat itu. Bila kalimat itu memiliki deskripsi yang benar-benar seperti itu maka akan bisa menjadi sebuah bentuk diskriminatif dalam mendapatkan amal pahala bagi seseorang yang belum menikah. Bahkan untuk mereka yang pernah menikah namun tak jua dikaruniai seorang anakpun.
Seperti aku.
Aku seorang wanita. Sudah 7 tahun aku menikah namun tak ada tanda-tanda sedikitpun akan kehamilanku. Sudah berbagai cara aku lakukan, secara medis maupun alternative. Namun hasilnya tetap tak ada meski dokter dan mereka-mereka yang menolongku mengatakan bahwa aku dan suamiku sehat walafiat.
Namun satu hal yang membuatku masih dan mampu merasa bahagia adalah kehadiran suamiku untukku.
Dia sangat baik. Penuh cinta dan kasih sayang. Dia selalu memberi perhatian dan mampu menenangkan kegelisahan hatiku meski aku belum bisa memberikannya seorang anak. Tapi suamiku tak mempermasalahkannya. Dia membesarkan hatiku dengan mengatakan bahwa semua ini adalah urusan Allah. Sebesar apapun keinginan kita, sekuat apapun usaha kita, jika Dia belum mengizinkan kita untuk memiliki anak maka kita hanya bisa pasrah menerima sambil tetap berdoa dan berusaha.
“Yang terpenting adalah cinta. Abang mencintai adik dan adik mencintai abang. Itu yang terpenting.”
Aku tersenyum bahagia. Untuk sementara aku merasa tenang dan bahagia.
Tapi ketakutan dan kekawatiran itu muncul kembali. Terlebih kala melihat anak-anak kecil bersama orangtua mereka. Terasa sangat indah dan bahagia dimataku. Dan aku merasa sedikit iri melihatnya.
Pernah aku mengusulkan pada suamiku untuk mengadopsi anak. Kukatakan pada suamiku mungkin Allah menyuruh kita untuk mengambil anak angkat sebagai pancingan seperti petuah orang-orang tua dulu. Mungkin dengan beramal mengasuh anak angkat, Allah akan berkenan memberikan kita seorang anak. Apapun jenis kelaminnya nanti.
Tapi suamiku menolak. Suamiku tak menyetujui ide dan alasanku mengadopsi anak. Dia bukannya tidak setuju mengadopsi anak. Tapi jika niatnya hanyalah sebagai pancingan dan amalnya seakan menunjukkan pada Allah bahwa kita telah mampu dan siap memiliki anak maka itu adalah sebuah pemahaman yang salah. Biarkanlah niat mengadopsi dan mengasuh anak menjadi kewajiban, bukan mengharapkan imbalan.
“Lagipula, jika sekedar mengambil anak, bukankah sudah kita lakukan? Bukankah kita sudah memiliki anak asuh? Semua itu sama saja dengan mengadopsi anak.”
Aku hanya diam menunduk.
Seharusnya aku senang memiliki suami yang sangat penyayang dan pengertian. Tapi entah mengapa aku semakin merasa takut dengan kelemahanku yang tak bisa memberikan kesempurnaan kebahagiaan untuknya.
Hingga akhirnya muncul sebuah pemikiran gila yang sebenarnya ingin kubuang jauh-jauh; apakah suamiku tak mau mengangkat anak karena dia ingin memiliki anak dari darah dagingnya sendiri? Dan jika aku belum bisa memberikannya, berarti satu-satunya jalan keluar yang bisa menjadi penyelesaiannya adalah polygamy!
Suamiku terkejut tak percaya kala aku mengutarakannya. Dengan kekuatan, kesabaran dan keikhlasan yang kuusahakan terlihat gagah dimatanya, aku mengungkapkannya sambil menatap matanya mencoba mencari apa yang ada dalam hatinya.
Tapi aku malah terkejut melihat tanggapan suamiku. Dia tertawa!
Aku mendadak sebel plus heran melihatnya.
Dia tersenyum. Sedikitpun tak terlintas dipikiran suamiku untuk berpoligamy hanya karena ingin memiliki anak. Suamiku mencintaiku apa adanya dan akan menerima semua kekurangan dan kelemahanku juga apa adanya.
“Lagipula,” kata suamiku lagi, “Satu saja tak habis-habis dan tak pernah puas-puas dikelonin. Jadi untuk apa nyari lagi?”
Aku mencubit lengannya. “Sebel…..” kataku. Lalu menarik selimut menutupi wajahku sambil tersenyum malu.
Sejenak aku melupakan kegelisahanku. Tapi sebuah kejadian membuatku kembali merasakan ketakutan itu. Dan kini ketakutan itu lebih kuat kurasakan.
Suatu hari aku menerima telepon dari suamiku. Aku yang menunggu kepulangannya sedari tadi dikejutkan oleh telepon darinya yang mengatakan kalau suamiku kini berada dirumah sakit. Dan suamiku memintaku untuk segera datang kesana.
Aku ketakutan. Pantas saja suamiku belum pulang-pulang. Suamiku tak pernah terlambat pulang. Dan jika harus lembur maka suamiku akan memberitahukanku.
Maka akupun segera kerumah sakit dan mencari suamiku. Tapi suamiku menyuruhku untuk ke ruang inap anak yang membuatku semakin ketakutan dan bertanya-tanya. Ada apa ini? Mengapa suamiku ada diruang anak? Apakah telah terjadi sesuatu? Ya Allah….
Akupun berlari ke ruang anak dan mencari-cari suamiku. Sampai akhirnya aku menemukan suamiku sedang menggendong menimang-nimang seorang bayi mungil.
Aku mendekatinya perlahan. Ketakutanku kini berubah menjadi tanda tanya. Ada apa ini sebenarnya?
Suamiku tersenyum menyambut kedatanganku.
“Lihat, itu mama datang.”
Aku terkejut mendengarkannya. Mama?
Suamiku malah asik bercanda dengan bayi perempuan mungil yang lucu dan cantik itu. Terkadang mengajaknya bicara. Terkadang menciumnya. Bahkan jari telunjuk suamiku terus digenggam oleh tangan mungil itu sambil sesekali tertawa seolah mengerti candaan suamiku.
Ternyata alasan keberadaan suamiku dirumah sakit ini adalah karena bayi ini. Suamiku dan temannya tanpa sengaja menemukan bayi ini menangis dipinggir tong sampah kala dalam perjalanan pulang. Dan segera mengambilnya dan membawa kerumah sakit ini untuk memeriksa keadaannya. Dirumah sakit ini bayi mungil itu dimandikan hingga terlihat bersih dan cantik sekali.
Dan teman suamiku sedang menghubungi kenalannya yang ada dikepolisian untuk melaporkan bayi ini sekaligus mengungkapkan keinginan suamiku untuk mengadopsinya.
“Tuh, lihat mama.” Kata suamiku lagi. “Ayo Fatimah, kasi senyum buat mama.”
Aku terkejut. Apakah benar nama bayi itu Fatimah? Ataukah hanya karangan suamiku saja? Karena nama Fatimah itu sangat dikagumi oleh suamiku dan kami berniat memberikannya untuk nama anak perempuan kami kelak.
“Abang berniat mengadopsi Fatimah.” Kata suamiku. “Mungkin ini salah satu jawaban dari keinginan kita untuk memiliki anak. Adik setuju, bukan?”
Aku mencoba tersenyum menutupi keterkejutanku. Lalu mengangguk pelan. Baru kali ini aku melihat kebahagiaan terpancar dari sorot wajah suamiku kala menggendong seorang bayi. Karena selama ini suamiku tak pernah memperlihatkan ekspresi yang sama kala menggendong keponakanku ataupun keponakannya.
Suamiku terus saja bercanda dan menciumi pipi bayi mungil ini yang sesekali tertawa manja seolah-olah sedang bercanda dengan ayah kandungnya.
Mereka berdua terlihat akrab dan mesra. Sesuatu yang sesungguhnya tak pernah aku bayangkan.
Tiba-tiba ada nuansa kesedihan dan ketakutan yang muncul dihati ini kala melihat kebahagiaan suamiku saat ini. Kelemahan dan kekuranganku sebagai wanita yang tak sempurna kini menyerangku kembali. Padahal dulu akulah yang bersikukuh meminta suamiku untuk mengangkat seorang anak. Tapi mengapa sekarang aku merasa takut?
Karena tiba-tiba saja aku merasa cemburu melihat kebahagiaan suamiku bersama bayi ini….
---------------------------------------
Untuk seorang teman yang berharap dan terus berdoa akan hadirnya seorang buah hati. Semoga semuanya bisa tetap terasa indah walau memiliki satu kekurangan karena itu bukanlah alasan untuk tak merasakan kebahagiaan.