Masukan nama pengguna
Why don’t you stay? Mungkin akan menjadi pertanyaanku pada lelaki berhidung bangir dengan cetakan rahang tegas di wajahnya. Akan selalu kuingat alis tebal yang menukik tajam setiap kali mendengar hal yang tidak disetujuinya. Kadang, alis itu bisa menjadi sangat datar saat dia merasa bosan dengan satu topik yang sedang kami bahas.
Tidak ada detail yang terlewat jika berbicara tentang lelaki itu. Ini seolah selama ini aku mendedikasikan hidupku hanya untuknya. Bagaimana cara dia bangkit dari duduk lamanya setelah berjam-jam berjibaku dengan komputer dan lembaran dokumen, bagaimana dia berjalan tergesa-gesa saat menuju kamar mandi, bagaimana pola makannya menjadi tidak teratur karena pekerjaan yang menumpuk dan dia hanya bisa mengkonsumsi bubur di pagi hari.
“Sebenarnya kamu bisa hidup tanpa aku,” katanya sambil menyeka air mata yang mengalir di pipi kiriku.
Ada kalanya aku takut. Takut sendirian saat keran air menitik kecil di malam hari, takut saat harus berada di keramaian, takut saat dia meninggalkanku barang sebentar–apalagi untuk selamanya. Kadang, kutumpahkan rasa takut itu dalam sebuah tangisan di dalam peluknya. Kubiarkan rasa itu menguar di antara dadanya yang bidang itu.
“Kenapa?” tanyaku. Saat itu, aku tidak mengerti dia bisa seyakin itu dengan apa yang dia katakan.
“Karena sebelum ada aku kamu juga hidup,” jawabnya sambil mengulas sebuah senyum.
Kudapati senyum itu dalam keadaan bingung. Senyum yang biasanya selalu terlihat manis menjadi hambar malam itu. Dan esok harinya, aku sangat berharap bisa melihat senyum itu meski hambar. Nyatanya, bibir tipis dengan rona merah muda itu tidak lagi bisa lagi menerbitkan sebuah senyum.
Setiap malam yang berlalu dan siang yang berganti, aku mulai mencari senyum itu lagi. Rindu. Kuperhatikan setiap gerakan, air muka, dan ulasan senyum yang ada di sekitarku. Tidak ada yang bisa seperti Dunia. Hari-hari selanjutnya, aku mendapati diri ini mencari Dunia di mana saja, pada siapa saja. Pada sebuah dada yang hangat mendekapku, uluran tangan yang menggenggam erat jemariku, atau pada sebuah senyum yang tertuju padaku. Kemudian, aku kembali bertanya, kenapa Dunia tidak bersamaku dalam waktu yang lama?
“Ashel.”
Sebuah suara berat yang familiar memecah hening di meja makan malam ini. Aku tidak suka bagaimana dia memanggil namaku menggunakan panggilan itu. Hanya Dunia yang kuperbolehkan menggunakan panggilan itu.
Ah, sudah. Toh, Dunia juga tidak lagi bersamaku. Tidak ada lagi yang akan memanggilku dengan nama itu. Di sini, sekarang hanya ada aku dan laki-laki bertubuh jangkung dengan wajah mungil khas Asia Timur. Di hadapanku, bukan lagi seorang laki-laki berwajah khas Jawa dengan tubuh tegap dan kulit kecokelatan. Dia…, bukan Dunia.
Kulihat lelaki itu tidak berbicara lagi setelah memanggil. Jadi, kuangkat sebelah alisku saat mata kami bersitatap, menandakan bahwa aku menunggunya untuk kembali berbicara.
“Kamu perlu untuk berhenti,” katanya dengan nada suara yang tenang.
Aku mengernyitkan dahi, “Apa?” tanyaku tak paham.
“Berhenti untuk mencari Dunia di tubuh aku.” Lelaki itu berucap sembari membenarkan letak kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Dia kemudian tersenyum tipis.
“Maksudmu?”
“Sepanjang makan malam kamu melihat wajahku terlalu lama. Memperhatikan semuanya dan terlihat berpikir. Kamu membuatku seolah objek pembanding,” katanya.
Oh, aku ketahuan lagi.
***