Cerpen
Disukai
0
Dilihat
90
When words become home
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan turun lagi malam ini. Embun duduk di depan meja belajarnya, laptop menyala, layar putih kosong menatap balik padanya. Jari-jarinya menggantung di atas keyboard, ragu.


"I don’t even know where to start."

(Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.)


Sejak beberapa bulan terakhir, Embun berubah. Semua orang menyadarinya. Dulu ia yang paling berisik di grup chat, paling banyak cerita, paling banyak drama kocak. Sekarang ia hampir tak pernah bicara. Bahkan ketika teman-temannya bercanda, ia hanya membaca tanpa membalas.


Ia lelah. Bukan hanya karena hidupnya berat, tapi karena setiap kali ia mencoba cerita, suaranya terasa tertelan.


"No one would understand, right?"

(Tidak ada yang akan mengerti, kan?)



---


Malam itu, untuk pertama kalinya, Embun mencoba menulis. Awalnya hanya satu kalimat di layar laptop:


"I am tired."

(Aku lelah.)


Kemudian satu kalimat lagi:


"I miss who I used to be."

(Aku rindu diriku yang dulu.)


Dan tiba-tiba, kata-kata itu mengalir. Tangannya mengetik cepat, menuliskan semua yang selama ini ia pendam. Tentang rasa kesepian, tentang rindu tawa, tentang kehilangan dirinya sendiri.


Embun membaca ulang tulisan itu. Matanya panas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa lega.


"Maybe… this is how I survive."

(Mungkin… ini caraku bertahan hidup.)



---


Keesokan harinya, Embun pergi ke toko buku. Ia membeli buku harian baru dan dua novel. Saat menyentuh kertasnya, hatinya bergetar pelan.


"Books don’t judge me."

(Buku tidak menghakimi aku.)


"Books don’t tell me I’m too much or too quiet."

(Buku tidak bilang aku terlalu heboh atau terlalu pendiam.)


Ia duduk di kafe kecil dekat toko itu, membuka buku catatannya, dan mulai menulis lagi. Orang-orang berlalu-lalang, tapi ia seperti berada di dunia lain.



---


Hari-hari berikutnya, Embun mulai rutin menulis. Pagi-pagi ia menulis, sebelum berangkat kuliah. Malam-malam ia menulis lagi, menumpahkan apa saja yang tidak bisa ia ucapkan.


Ia menulis tentang dirinya, tentang mimpinya, bahkan tentang kesedihannya. Kadang ia menulis fiksi, menciptakan tokoh-tokoh yang mewakili emosinya.


"Writing feels like breathing."

(Menulis terasa seperti bernafas.)


"Reading feels like coming home."

(Membaca terasa seperti pulang ke rumah.)



---


Namun, ada satu hal yang tetap sama: Embun masih sulit berbicara pada orang lain. Tulisan-tulisan itu tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.


Suatu malam, sahabat lamanya mengirim pesan:


> “Bun, I miss you. I miss the old you.”

(Bun, aku rindu kamu. Aku rindu kamu yang dulu.)




Embun menatap pesan itu lama. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tidak membalas. Ia hanya menulis di bukunya:


"I wish I could tell you how much I miss myself too."

(Aku berharap aku bisa bilang padamu betapa aku juga merindukan diriku sendiri.)



---


Minggu-minggu berlalu. Orang-orang mulai menerima Embun yang baru — yang pendiam, yang tidak banyak ikut bercanda. Tapi di balik itu semua, Embun terus menulis.


Suatu malam, ia menulis cerita yang paling panjang yang pernah ia tulis. Tentang seorang gadis yang kehilangan cahayanya, tapi menemukan lilin kecil dalam bentuk buku dan pena. Gadis itu bertahan hidup, tapi tetap merasa hampa.


Ketika selesai menulis, Embun menutup laptopnya.


"Maybe this is enough."

(Mungkin ini sudah cukup.)


Tapi dadanya tetap sesak.



---


Embun mulai mengunggah beberapa tulisannya secara anonim di internet. Tidak ada yang tahu itu dia. Komentar orang-orang membuatnya sedikit senang.


> “This story feels so real.”

“It hurts, but it’s beautiful.”




Embun tersenyum kecil.


"At least my pain means something."

(Setidaknya rasa sakitku ada artinya.)



---


Malam itu, hujan turun deras. Embun duduk di jendela, buku catatannya terbuka. Ia menulis:


"Maybe I will never be the loud, happy girl again. Maybe she died with all those laughs and tears I used to have. But I can still write. I can still make stories. And maybe, that’s the only way I can exist now."

(Mungkin aku tidak akan pernah jadi gadis yang ramai dan bahagia lagi. Mungkin dia sudah mati bersama semua tawa dan tangis yang dulu. Tapi aku masih bisa menulis. Aku masih bisa membuat cerita. Dan mungkin, itulah satu-satunya cara aku bisa ada sekarang.)


Ia menutup buku itu, memeluknya erat.



---


ENDING:

Embun tidak kembali menjadi gadis yang ceria. Ia tetap pendiam, tetap menyimpan banyak hal sendiri. Tapi kini ia punya satu rumah baru: kata-kata.


Tulisan-tulisannya menjadi tempat ia menangis tanpa air mata, tertawa tanpa suara, berteriak tanpa harus didengar siapa pun.


Namun, ada ironi yang tidak pernah hilang. Meskipun ia menulis, rasa sepinya tetap ada. Hatinya tetap mendung.


"Sometimes healing doesn’t mean being happy again. It just means learning to live with the pain."

(Kadang penyembuhan bukan berarti bahagia lagi. Itu hanya berarti belajar hidup bersama rasa sakit itu.)


Embun menatap langit malam, hujan sudah reda.

Ia tersenyum tipis.


"Goodbye, the old me. I will keep you alive in my stories."

(Selamat tinggal, diriku yang lama. Aku akan menjagamu tetap hidup di dalam ceritaku.)


Dan malam itu, Embun menulis satu kalimat terakhir di bukunya:


"This is not a happy ending. But at least, it is an ending."

(Ini bukan akhir yang bahagia. Tapi setidaknya, ini sebuah akhir.)


𝐂𝐚𝐭𝐚𝐭𝐚𝐧📚𝐩𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬✍️


Hai, aku Langitttmallam.

Mungkin saat kamu membaca ini, kamu juga sedang merasa lelah, merasa sendirian, atau merasa kehilangan dirimu yang dulu. Aku menulis cerita tentang Embun bukan hanya karena aku ingin bercerita, tapi karena aku tahu ada banyak orang di luar sana yang mungkin merasakan hal yang sama.


Aku juga pernah jadi seperti Embun terlalu berisik di luar, tapi diam-diam hancur di dalam. Aku tahu rasanya ingin bicara tapi tidak bisa, ingin teriak tapi suara macet di tenggorokan. Rasanya sakit sekali, seperti membawa beban sendirian. Dan ketika orang bertanya, "Kamu kenapa?" kita hanya bisa bilang, "Aku baik-baik saja," padahal sebenarnya tidak.


Lewat cerpen ini, aku ingin bilang ke kamu: kamu tidak sendirian.

Aku mungkin tidak bisa duduk di sampingmu sekarang, tidak bisa mendengar ceritamu secara langsung, tapi aku ingin kamu tahu bahwa rasa sakitmu nyata, valid, dan penting. Kamu berhak merasa sedih. Kamu berhak merasa lelah. Kamu berhak berhenti sebentar.


Menulis adalah cara Embun bertahan, dan mungkin bisa jadi cara kamu juga. Tidak harus menulis yang indah. Tidak harus menulis untuk dibaca orang lain. Cukup menulis untuk dirimu sendiri. Biarkan kata-kata menjadi tempat kamu menangis ketika air mata sudah habis.


Dan jika kamu tidak bisa menulis, membaca pun tidak apa-apa. Kadang, menemukan dirimu di dalam cerita orang lain bisa menjadi pengingat bahwa kamu tidak seaneh yang kamu kira.


Aku tahu cerita ini berakhir sedih. Karena hidup kadang memang begitu tidak selalu memberi kita akhir yang bahagia. Tapi sedih bukan berarti kamu gagal. Sedih hanya berarti kamu masih manusia.


Jadi, untuk kamu yang membaca ini:

Aku bangga padamu karena kamu bertahan sejauh ini. Kamu sudah melewati hari-hari yang berat, dan kamu masih di sini. Itu sudah luar biasa.


Terima kasih sudah membaca cerita ini, sudah ikut merasakan luka Embun, dan semoga ketika kamu menutup halaman terakhir, kamu merasa sedikit lebih dipeluk.


Karena mungkin kita tidak bisa kembali jadi diri kita yang dulu, tapi kita bisa menulis diri kita yang baru.

Dan mungkin, seperti Embun, kita akan menemukan rumah kita di antara kata-kata.


Dengan peluk hangat,

Langitttmallam

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)