Masukan nama pengguna
Malam ini, hujan turun pelan. Bukan hujan deras yang memaksa orang menepi, hanya rintik-rintik yang seperti menertawakan sepi. Embun duduk di pinggir ranjangnya, menatap kosong jendela yang sudah buram oleh cipratan air. Ia tidak benar-benar melihat apa pun. Matanya seperti mati lampu.
Dulu, Embun adalah gadis paling ramai. Orang-orang mengenalnya sebagai pusat keramaian. โSi bocil absurd,โ begitu teman-temannya sering memanggilnya. Setiap kali ada perkumpulan, dialah yang pertama bicara, yang pertama tertawa, yang paling ribut dan paling tak tahu malu. Ia bisa menari di tengah keramaian tanpa musik, bisa bercanda sampai semua orang tertawa sakit perut.
Kalau dulu ia menangis, ia menangis keras-keras sambil mengeluh panjang di chat group. Kalau ia bahagia, semua orang tahu karena ia akan mengirim spam stiker lucu dan suara tawa sampai tengah malam.
Tapi sekarang? Tidak ada yang tahu apa yang dirasakan Embun. Tidak ada lagi tawa itu. Tidak ada lagi cerita itu. Tidak ada lagi Embun yang dulu.
๐ง๐ง๐ง
Hari ini, Embun berjalan pulang sendirian dari kampus. Jalanan ramai, tapi di telinganya sepi. Earphone-nya terpasang, tapi tidak ada lagu yang ia putar. Hanya kabel yang menggantung, seperti penghalang tipis antara dirinya dan dunia luar.
Di grup chat, teman-temannya bercanda seperti biasa. Mereka mengirim meme, saling ejek, saling tag nama. Dulu, Embun akan membalas cepat. Sekarang, ia hanya membaca lalu mematikan layar ponselnya. Ada rasa ingin ikut tertawa, tapi mulutnya tidak bergerak.
โKenapa aku nggak bisa seperti dulu?โ bisiknya pada dirinya sendiri.
Dulu, Embun punya banyak tempat bersandar. Ada sahabat dekat, ada grup tongkrongan, ada keluarga yang selalu mendengar. Tapi entah sejak kapan, Embun merasa semua itu menjauh. Bukan karena mereka berubah, tapi karena dirinya yang perlahan menarik diri.
Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan. Tentang rasa capek, tentang takut gagal, tentang kecewa pada dunia, tentang betapa berat rasanya bangun setiap pagi. Tapi lidahnya selalu kelu setiap mencoba.
โNgapain sih aku cerita? Mereka juga udah punya masalah masing-masing,โ katanya setiap kali ingin menulis pesan panjang lalu menghapusnya lagi.
๐ง๐ง๐ง
Malam-malamnya semakin dingin. Dulu Embun selalu jadi yang paling berisik di voice call Discord, sekarang ia hanya muncul kalau ada yang mention namanya. Itu pun jawabannya singkat.
Kamar yang dulu penuh coretan kata-kata random di kertas tempel kini sepi. Dulu ada tulisan-tulisan absurd seperti โHidup cuma sekali, jadi ketawa aja!โ atau โJangan lupa bahagia, dasar bego!โ menempel di dinding. Semua sudah dicabut. Dinding itu kini polos, seperti hatinya.
Kadang ia ingin menangis, tapi matanya kering. Rasanya aneh. Ada sesak, tapi tidak keluar apa-apa. Ia hanya terbaring, menatap langit-langit sampai pagi.
๐ง๐ง๐ง
Suatu hari, salah satu temannya mengirim chat.
โBun, kamu kok sekarang beda sih? Dulu rame banget, sekarang kayakโฆ nggak ada kamu di grup.โ
Embun membaca pesan itu lama. Jemarinya mengetik, lalu menghapus, mengetik lagi, menghapus lagi. Akhirnya ia hanya membalas:
โHehe, sibuk aja. Gapapa kok.โ
Padahal, ia ingin berkataโAku capek. Aku kesepian. Aku nggak tau kenapa aku nggak bisa cerita. Aku kangen aku yang dulu. Tolong tarik aku keluar dari ini.โ Tapi tak satu pun kata itu keluar.
๐ง๐ง๐ง
Malam itu, ia menulis di buku catatan kecil yang dulu jarang ia pakai.
"Aku merasa hilang. Aku rindu diriku yang dulu. Aku rindu tertawa tanpa mikir, aku rindu bisa marah lalu lega, aku rindu nangis sampai lega. Sekarang aku cuma duduk diam. Bahkan air mata pun kayaknya udah malas keluar. Aku takut, kalau aku hilang beneran dan nggak ada yang sadar."
Tinta pena menetes, membuat huruf-huruf itu sedikit buram. Itu satu-satunya air mata yang akhirnya jatuh malam itu โ bukan dari matanya, tapi dari ujung pulpen.
๐ง๐ง๐ง
Hari-hari berlalu, dan Embun semakin tenggelam dalam dirinya sendiri. Orang-orang mulai terbiasa dengan versinya yang sekarang. Mereka tidak lagi menunggu Embun membuat suasana ramai. Grup tetap ramai, tapi rasanya berbeda.
Suatu sore, Embun duduk di atap rumah, menatap langit senja yang oranye. Ia ingat masa SMP ketika ia dan teman-temannya sering naik atap hanya untuk berteriak bersama. Ia pernah berteriak sampai tetangga marah, tapi itu momen paling hidup yang ia rasakan.
Sekarang, ia hanya duduk diam. Angin sore membelai rambutnya, tapi ia tidak merasa apa-apa.
โKenapa aku nggak bisa bahagia seperti dulu?โ bisiknya lagi.
๐ง๐ง๐ง
Sampai suatu hari, hujan turun deras sekali. Petir menyambar, membuat listrik mati. Kamar Embun gelap. Ia menyalakan lilin kecil. Suara hujan seperti musik latar film sedih.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Embun menangis. Bukan menangis keras-keras seperti dulu, hanya isakan kecil yang hampir tak terdengar. Tapi itu sudah cukup membuat dadanya terasa sedikit lega.
Ia memeluk lututnya sendiri, seperti memeluk sahabat yang sudah lama hilang.
โAku kangen, Bunโฆ aku kangen kamu yang duluโฆโ ia berkata pada dirinya di cermin.
Tapi ia tahu, mungkin Embun yang dulu sudah tidak akan pernah kembali.
๐ง๐ง๐ง
Pagi berikutnya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Ia melihat wajahnya di cermin. Matanya bengkak, tapi ada rasa lega aneh. Ia mengambil catatan kecilnya lagi dan menulis:
"Mungkin aku nggak akan bisa jadi Embun yang dulu. Tapi aku ingin tetap ada, walau cuma diam. Aku ingin hidup, walau cuma pelan-pelan. Aku nggak mau hilang."
๐ง๐ง๐ง
Cerita ini tidak berakhir dengan Embun kembali ceria dan ramai seperti dulu. Ia tetap pendiam, tetap jarang bercerita, tetap banyak memendam. Tapi kini ia tahu satu hal: dirinya yang sekarang tetap berharga.
Ia duduk di depan jendela lagi malam ini, menatap hujan yang mulai reda. Ada rasa sedih, tapi juga rasa menerima.
Kadang, kita memang tidak bisa
kembali jadi orang yang dulu. Kita hanya bisa belajar hidup dengan diri yang baru, walau itu artinya harus merelakan tawa yang dulu pernah ada.
Dan malam itu, Embun tersenyum tipis sambil berbisik,
โSelamat tinggal, Embun yang dulu. Terima kasih sudah pernah ada.โ
Hujan berhenti. Tapi hatinya masih mendung.
ENDING
Cerita Embun berakhir dengan kesedihan yang lembut bukan teriakan, bukan tangisan, hanya keheningan yang panjang. Tidak ada yang benar-benar tahu seberapa dalam sepinya, tapi setidaknya ia akhirnya mengakui perasaannya sendiri.
๐๐๐ญ๐๐ญ๐๐ง ๐๐ฉ๐๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ โ๏ธ
๐๐ค๐ค
"Hai, aku Langitttmallam.
Aku seorang yang sekarang telah jadi pendiam sering kali ingin berteriak, ingin bercerita, ingin jujur pada dunia tapi mulutku selalu terkunci. Kata-kata itu akhirnya hanya jadi beban di kepala.
Lewat tulisan ini, aku ingin bilang kalau aku rindu diriku yang dulu. Tapi mungkin aku tak akan pernah bisa kembali. Aku hanya bisa menulis, karena di sinilah satu-satunya tempat aku bisa lega.
Jika kamu membaca ini dan merasa sama, aku harap kamu tahu kita tidak sendirian. Meski kita sama-sama diam, setidaknya kita masih ada, meski hanya lewat kata-kata."