Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,293
Echoes in the Rain
Drama

Kafe "Senja Hujan" memang tempat favoritku. Bukan cuma karena kopinya yang enak, tapi juga suasananya yang bikin tenang. Apalagi kalau hujan begini. Rintik air yang menari di kaca jendela selalu berhasil menghadirkan nostalgia.

"Sendirian lagi, Mbak Anya?" sapa Mas Bayu, barista sekaligus pelayan di kafe ini. Dia sudah hafal betul denganku.

"Iya, Mas. Lagi menikmati syahdunya hujan," jawabku sambil tersenyum.

Mas Bayu terkekeh. "Syahdu apanya, Mbak? Hujan gini mah bikin males ngapa-ngapain. Bawaannya pengen tidur aja."

"Ah, Mas Bayu mah gitu. Nggak romantis," balasku.

"Romantis itu kalau hujannya bareng pacar, Mbak. Lha ini sendirian?" godanya.

Aku hanya bisa tertawa. "Makanya, Mas, cariin dong pacar buat saya."

"Siap, Mbak! Nanti saya pasang pengumuman di depan kafe," jawabnya sambil berlalu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mas Bayu memang selalu bisa mencairkan suasana. Setelah dia pergi, aku kembali menatap hujan. Tiba-tiba, kenangan masa kecil menyeruak dalam benakku.

Dulu, aku punya sahabat karib bernama Rina. Kami berdua seperti anak kembar yang selalu bersama. Ke mana-mana selalu berdua. Apalagi kalau hujan. Kami pasti langsung keluar rumah, lari-larian di bawah air, bikin bendungan di selokan, atau sekadar duduk di teras sambil menikmati suara gemericik hujan.

"Anya! Rina!" teriak Bi Minah, ibuku, dari dalam rumah. "Jangan main hujan-hujanan! Nanti sakit!"

"Iya, Bi!" jawabku dan Rina serempak.

Tapi, dasar anak kecil. Kami tidak pernah benar-benar mendengarkan omongan orang tua. Kami tetap saja asyik bermain sampai menggigil kedinginan.

Suatu hari, Rina datang dengan wajah murung.

"Anya, aku mau cerita," katanya.

"Cerita apa? Kok muka kamu kayak mau nangis gitu?" tanyaku khawatir.

"Aku... aku mau pindah kota," jawabnya dengan suara bergetar.

Aku terkejut. "Pindah kota? Ke mana?"

"Ke Surabaya. Ayahku dipindah tugaskan ke sana."

Air mataku mulai menetes. "Kamu serius? Kamu beneran mau ninggalin aku?"

Rina mengangguk. "Aku juga nggak mau, Anya. Tapi, aku nggak bisa apa-apa."

Kami berpelukan erat. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Rina. Dia adalah separuh jiwaku.

"Kita janji ya, Rin. Kita harus tetap berhubungan. Jangan lupain aku," ucapku dengan suara tercekat.

"Iya, Anya. Aku janji. Aku nggak akan pernah lupain kamu," jawabnya sambil menghapus air matanya.

Sejak saat itu, aku dan Rina berjanji untuk saling berkirim surat. Awalnya, kami rutin bertukar kabar. Tapi, lama kelamaan, frekuensi surat-menyurat kami semakin berkurang. Sampai akhirnya, kami benar-benar kehilangan kontak.

"Mbak Anya, ini kopi susunya," suara Mas Bayu membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya Mas. Makasih," ucapku.

Aku menyesap kopi susu itu perlahan. Manis dan hangat. Tapi, tetap saja ada rasa pahit yang tertinggal di lidahku. Rasa pahit karena kehilangan sahabat terbaik.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Nomor yang tidak dikenal. Aku mengangkatnya dengan ragu.

"Halo?"

"Halo, selamat sore. Apa benar ini nomornya Anya Paramitha?"

"Iya, benar. Ini siapa ya?"

Terdengar suara perempuan di seberang sana. Suaranya familiar, tapi aku tidak bisa mengingatnya.

"(Terdiam sejenak) Anya... ini aku, Rina."

Jantungku berdegup kencang. Rina? Sahabat kecilku? Tidak mungkin.

"Rina? Ini beneran kamu? Ya ampun, aku nggak percaya!"

"Iya, ini aku. Maaf ya, baru hubungi kamu sekarang. Aku baru nemu nomor kamu di buku diary lama yang nggak sengaja aku temuin pas beres-beres rumah."

"Ya ampun, Rin. Aku seneng banget bisa denger suara kamu lagi. Kamu apa kabar?"

"Aku baik. Kamu sendiri?"

"Aku juga baik. Kamu sekarang di mana?" tanyaku penasaran.

"Aku sekarang kerja di Jakarta. Kamu masih di Bandung?"

"Iya, aku masih di sini. Nggak ke mana-mana," jawabku sambil tertawa kecil.

"Kita ketemuan yuk? Aku pengen banget ketemu kamu. Udah lama banget kita nggak ketemu."

"Aku juga pengen banget, Rin. Kapan?"

"Gimana kalau besok? Aku lagi ada urusan kerjaan di Bandung. Kebetulan banget kan?"

"Wah, kebetulan banget! Besok di mana?"

"Gimana kalau di kafe tempat kamu sering nongkrong itu? Yang namanya Senja Hujan?"

Aku tersenyum lebar. "Oke! Besok jam berapa?"

Kami berdua sepakat untuk bertemu besok siang. Setelah menutup telepon, aku merasa seperti mimpi. Setelah bertahun-tahun berpisah, akhirnya aku bisa bertemu kembali dengan Rina.

Malam itu, aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku terus memikirkan tentang pertemuanku dengan Rina besok. Aku penasaran, bagaimana rupanya sekarang? Apakah dia masih seperti dulu? Apakah dia masih mengingatku?

Keesokan harinya, aku datang ke kafe Senja Hujan lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Aku duduk di pojok favoritku sambil menunggu kedatangan Rina.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan masuk ke dalam kafe. Dia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Rambutnya panjang dan lurus. Wajahnya cantik dan anggun. Aku merasa familiar dengan wajah itu, tapi aku tidak yakin.

Perempuan itu melihat ke sekeliling kafe. Kemudian, matanya tertuju padaku. Dia tersenyum dan berjalan menghampiriku.

"Anya?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Rina?"

Kami berpelukan erat. Air mataku menetes tanpa bisa aku tahan.

"Ya ampun, Anya. Kamu nggak berubah sama sekali," kata Rina sambil tersenyum.

"Kamu juga, Rin. Kamu makin cantik aja," balasku.

Kami berdua tertawa. Suasana canggung langsung mencair. Kami mulai bercerita tentang kehidupan masing-masing. Rina bercerita tentang pekerjaannya di Jakarta, tentang keluarganya, dan tentang pacarnya. Aku juga bercerita tentang pekerjaanku sebagai penulis lepas, tentang hobiku, dan tentang kesendirianku.

"Aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi, Anya," kata Rina.

"Aku juga, Rin. Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi setelah sekian lama," balasku.

"Mungkin ini sudah takdir, Anya. Takdir yang mempertemukan kita kembali," kata Rina sambil tersenyum.

Aku mengangguk setuju. Mungkin, memang benar ini sudah takdir. Takdir yang mempertemukan aku kembali dengan sahabat terbaikku.

Hujan kembali turun sore itu. Tapi, kali ini aku tidak merasa sedih atau kesepian. Aku merasa bahagia dan bersyukur. Karena hujan telah mempertemukan aku kembali dengan Rina.

Kami berdua duduk di kafe Senja Hujan sampai malam tiba. Kami bercerita, tertawa, dan mengenang masa lalu. Kami berjanji untuk tidak lagi saling kehilangan kontak. Kami berjanji untuk selalu ada satu sama lain.

Hujan, kopi, dan pertemuan yang tak terduga. Itulah yang membuat sore itu menjadi begitu istimewa. Sore yang akan selalu aku kenang dalam hidupku.

Malam itu, saat Rina berpamitan, ada kehangatan yang menjalar di hatiku. Bukan hanya karena reuni yang mengharukan, tetapi juga karena harapan baru yang tumbuh. Pertemuan ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga awal dari babak baru dalam persahabatan kami.

 

"Anya, makasih ya buat hari ini. Aku nggak akan pernah lupa," ucap Rina sambil memelukku erat.

 

"Aku juga makasih, Rin. Kamu sudah kembali ke hidupku," balasku dengan mata berkaca-kaca.

 

Saat aku kembali ke rumah, aku merenung tentang betapa ajaibnya hidup ini. Kadang, kita kehilangan sesuatu yang berharga, tetapi alam semesta selalu punya cara untuk mengembalikannya, bahkan dalam bentuk yang lebih indah.

 

💜💃🤗🐥👀😘💋✍️👌🫂👋

Pesan: Jangan pernah meremehkan kekuatan persahabatan sejati. Waktu dan jarak mungkin memisahkan, tetapi ikatan hati akan selalu menemukan jalan untuk kembali. Hujan, kopi, dan pertemuan yang tak terduga mengajarkanku bahwa hidup penuh dengan kejutan manis jika kita membuka hati untuk menerimanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)