Masukan nama pengguna
Goresan Pena
Sejak kecil, Raka terbiasa diam. Ia bukan anak yang cerewet atau pandai mencari perhatian. Kalau teman-teman sebayanya berlarian di lapangan, ia lebih sering duduk di bangku pojok, memegang pensil atau bolpen, lalu mencoret-coret kertas seadanya.
Ibunya sering berkata, “Anak ini terlalu pendiam. Nanti susah punya teman.”
Ayahnya hanya menanggapi singkat, “Ya biarin saja. Selama nggak nakal.”
Raka tahu, orang tuanya tidak bermaksud jahat. Mereka sibuk. Ayah bekerja seharian, pulang larut malam. Ibu mengurus rumah, sesekali ikut membantu tetangga berjualan. Di rumah, tidak banyak percakapan. Semua berjalan seadanya.
Maka, Raka kecil belajar untuk tidak banyak bicara.
Ia menuliskan perasaannya di buku tulis bekas yang ia sembunyikan di bawah bantal. Kadang ia menggambar, kadang ia menulis cerita pendek ala-ala. Isinya kacau, tulisannya berantakan, tapi di situlah ia merasa ada teman.
Pena pertamanya ia dapat dari ayah. Bukan hadiah, bukan pula dibelikan khusus. Hanya sebuah pena hitam yang ayah bawa pulang dari kantor karena sudah tidak terpakai. Ujungnya sedikit bengkok, tinta di dalamnya tinggal separuh.
“Kalau mau nulis, pakai saja ini,” kata ayah sambil meletakkan pena itu di atas meja.
Tidak ada senyum, tidak ada tatapan hangat. Tapi bagi Raka kecil, itu terasa berharga.
Malam itu ia menulis dengan penuh semangat. Bukan tentang pelajaran sekolah, tapi tentang dirinya sendiri. Tentang rasa kesepian yang bahkan ia belum bisa pahami
Di salah satu halaman, ia menulis dengan huruf miring dan goyah:
"Aku pengin cerita, tapi nggak ada yang mau dengerin."
---
Saat SMP, kesepian itu makin terasa. Ia sering jadi bahan ejekan teman-temannya. Tubuhnya kecil, suaranya pelan, dan wajahnya selalu terlihat lesu. Ia dipanggil “zombie” oleh beberapa anak nakal.
Ia pulang ke rumah dengan wajah menahan tangis. Tapi setiap kali ibunya bertanya, “Kenapa, Nak?”, ia hanya menjawab, “Nggak apa-apa, Bu.”
Di kamarnya, ia mengambil pena itu. Menulis lagi.
Kali ini tulisannya lebih panjang, penuh emosi.
"Kenapa semua orang ketawa waktu aku jalan? Apa aku aneh? Aku cuma pengin sekolah biasa, kayak anak-anak lain. Rasanya capek kalau harus pura-pura nggak peduli."
Air matanya jatuh membasahi kertas. Tapi ia tidak berhenti menulis. Pena itu terus bergerak, seolah menjadi satu-satunya jalan untuk meluapkan sakitnya.
---
Waktu SMA, keadaan tidak banyak berubah. Raka semakin pendiam. Ia punya satu dua teman, tapi tidak pernah merasa benar-benar dekat. Nilainya biasa saja. Ia sering duduk sendirian di kantin, menulis di buku kecilnya.
Guru BK pernah memanggilnya. “Kamu kenapa, Raka? Dari dulu saya perhatikan kamu murung terus. Ada masalah di rumah?”
Raka hanya menggeleng. “Nggak ada, Bu.”
Padahal dalam hati ia ingin berteriak: “Aku kesepian! Aku nggak tahu harus cerita ke siapa!”
Tapi suaranya tidak pernah keluar. Ia kembali ke kamar, menulis lagi.
Suatu malam, ia menulis kalimat yang membuatnya sendiri terdiam lama:
"Kalau aku hilang besok, mungkin nggak ada yang sadar."
Ia menatap kalimat itu, merasa perih di dada. Tapi anehnya, setelah menuliskannya, ia merasa sedikit lebih ringan.
---
Waktu kuliah, beban baru datang. Ia masuk jurusan yang bukan pilihannya. Ayahnya bersikeras, “Ambil jurusan ekonomi. Biar nanti gampang cari kerja.”
Padahal hatinya ingin belajar sastra. Tapi ia tidak punya keberanian menolak.
Hari-harinya di kampus penuh kebingungan. Ia tidak paham mata kuliah yang diajarkan. Ia merasa semakin kecil dibanding teman-temannya.
Nilai ujian pertamanya jatuh. Pulang ke rumah kontrakan, ia menutup pintu, duduk di lantai, dan menangis. Malam itu, ia menatap pisau dapur yang tergeletak. Tangannya gemetar.
Tapi di meja kecilnya, ada pena itu. Benda tua yang kini sudah retak-retak.
Ia mengambilnya, bukan pisaunya. Dengan tangan bergetar, ia menulis:
"Aku capek. Tapi kalau aku pergi, mungkin nggak ada yang peduli. Kalau aku bertahan, mungkin ada satu kesempatan kecil buat bahagia. Aku pilih bertahan."
Kalimat itu sederhana, tapi menyelamatkannya malam itu.
---
Tahun-tahun berjalan.
Raka lulus kuliah dengan nilai pas-pasan. Ia tidak jadi pegawai kantoran seperti harapan ayahnya. Ia malah bekerja serabutan, sambil terus menulis.
Tulisan-tulisannya terkumpul banyak. Sebagian ia simpan sendiri, sebagian ia kirim ke media online. Banyak yang ditolak. Tapi suatu hari, satu tulisannya dimuat.
Judulnya sederhana: “Tentang Bertahan”.
Ia ingat, waktu itu ia menangis lama. Bukan karena tulisannya terkenal, tapi karena akhirnya, ada orang lain yang membaca isi hatinya. Ada orang lain yang mendengar suaranya.
---
Sekarang, di usianya yang hampir tiga puluh, Raka duduk di kamar kontrakan kecil. Laptopnya terbuka, beberapa draft tulisan menunggu diselesaikan. Di sampingnya, pena itu masih ada. Ujungnya tumpul, tintanya nyaris habis.
Orang lain mungkin akan menganggap itu sampah. Tapi bagi Raka, pena itu adalah saksi.
Saksi dari masa kecil yang sepi.
Saksi dari remaja yang penuh ejekan.
Saksi dari malam-malam gelap ketika ia hampir menyerah.
Saksi dari awal perjalanan menulis yang membawanya bertahan sampai hari ini.
Raka menatap pena itu lama. Senyum kecil muncul di wajahnya.
Pelan ia berkata, “Terima kasih. Kalau dulu aku nggak nulis, mungkin aku nggak ada di sini sekarang."
---
Tidak ada yang istimewa dari goresan pena. Hanya garis-garis tinta di atas kertas.
Tapi bagi Raka, itulah yang membuatnya tetap hidup.
Dan kadang, justru hal sederhana yang kita anggap sepele—sebuah pena tuaGoresan Pena
Sejak kecil, Raka terbiasa diam. Ia bukan anak yang cerewet atau pandai mencari perhatian. Kalau teman-teman sebayanya berlarian di lapangan, ia lebih sering duduk di bangku pojok, memegang pensil atau bolpen, lalu mencoret-coret kertas seadanya.
Ibunya sering berkata, “Anak ini terlalu pendiam. Nanti susah punya teman.”
Ayahnya hanya menanggapi singkat, “Ya biarin saja. Selama nggak nakal.”
Raka tahu, orang tuanya tidak bermaksud jahat. Mereka sibuk. Ayah bekerja seharian, pulang larut malam. Ibu mengurus rumah, sesekali ikut membantu tetangga berjualan. Di rumah, tidak banyak percakapan. Semua berjalan seadanya.
Maka, Raka kecil belajar untuk tidak banyak bicara.
Ia menuliskan perasaannya di buku tulis bekas yang ia sembunyikan di bawah bantal. Kadang ia menggambar, kadang ia menulis cerita pendek ala-ala. Isinya kacau, tulisannya berantakan, tapi di situlah ia merasa ada teman.
Pena pertamanya ia dapat dari ayah. Bukan hadiah, bukan pula dibelikan khusus. Hanya sebuah pena hitam yang ayah bawa pulang dari kantor karena sudah tidak terpakai. Ujungnya sedikit bengkok, tinta di dalamnya tinggal separuh.
“Kalau mau nulis, pakai saja ini,” kata ayah sambil meletakkan pena itu di atas meja.
Tidak ada senyum, tidak ada tatapan hangat. Tapi bagi Raka kecil, itu terasa berharga.
Malam itu ia menulis dengan penuh semangat. Bukan tentang pelajaran sekolah, tapi tentang dirinya sendiri. Tentang rasa kesepian yang bahkan ia belum bisa pahami.
Di salah satu halaman, ia menulis dengan huruf miring dan goyah:
"Aku pengin cerita, tapi nggak ada yang mau dengerin."
---
Saat SMP, kesepian itu makin terasa. Ia sering jadi bahan ejekan teman-temannya. Tubuhnya kecil, suaranya pelan, dan wajahnya selalu terlihat lesu. Ia dipanggil “zombie” oleh beberapa anak nakal.
Ia pulang ke rumah dengan wajah menahan tangis. Tapi setiap kali ibunya bertanya, “Kenapa, Nak?”, ia hanya menjawab, “Nggak apa-apa, Bu.”
Di kamarnya, ia mengambil pena itu. Menulis lagi.
Kali ini tulisannya lebih panjang, penuh emosi.
"Kenapa semua orang ketawa waktu aku jalan? Apa aku aneh? Aku cuma pengin sekolah biasa, kayak anak-anak lain. Rasanya capek kalau harus pura-pura nggak peduli."
Air matanya jatuh membasahi kertas. Tapi ia tidak berhenti menulis. Pena itu terus bergerak, seolah menjadi satu-satunya jalan untuk meluapkan sakitnya.
---
Waktu SMA, keadaan tidak banyak berubah. Raka semakin pendiam. Ia punya satu dua teman, tapi tidak pernah merasa benar-benar dekat. Nilainya biasa saja. Ia sering duduk sendirian di kantin, menulis di buku kecilnya.
Guru BK pernah memanggilnya. “Kamu kenapa, Raka? Dari dulu saya perhatikan kamu murung terus. Ada masalah di rumah?”
Raka hanya menggeleng. “Nggak ada, Bu.”
Padahal dalam hati ia ingin berteriak: “Aku kesepian! Aku nggak tahu harus cerita ke siapa!”
Tapi suaranya tidak pernah keluar. Ia kembali ke kamar, menulis lagi.
Suatu malam, ia menulis kalimat yang membuatnya sendiri terdiam lama:
"Kalau aku hilang besok, mungkin nggak ada yang sadar."
Ia menatap kalimat itu, merasa perih di dada. Tapi anehnya, setelah menuliskannya, ia merasa sedikit lebih ringan.
---
Waktu kuliah, beban baru datang. Ia masuk jurusan yang bukan pilihannya. Ayahnya bersikeras, “Ambil jurusan ekonomi. Biar nanti gampang cari kerja.”
Padahal hatinya ingin belajar sastra. Tapi ia tidak punya keberanian menolak.
Hari-harinya di kampus penuh kebingungan. Ia tidak paham mata kuliah yang diajarkan. Ia merasa semakin kecil dibanding teman-temannya.
Nilai ujian pertamanya jatuh. Pulang ke rumah kontrakan, ia menutup pintu, duduk di lantai, dan menangis. Malam itu, ia menatap pisau dapur yang tergeletak. Tangannya gemetar.
Tapi di meja kecilnya, ada pena itu. Benda tua yang kini sudah retak-retak.
Ia mengambilnya, bukan pisaunya. Dengan tangan bergetar, ia menulis:
"Aku capek. Tapi kalau aku pergi, mungkin nggak ada yang peduli. Kalau aku bertahan, mungkin ada satu kesempatan kecil buat bahagia. Aku pilih bertahan."
Kalimat itu sederhana, tapi menyelamatkannya malam itu.
---
Tahun-tahun berjalan.
Raka lulus kuliah dengan nilai pas-pasan. Ia tidak jadi pegawai kantoran seperti harapan ayahnya. Ia malah bekerja serabutan, sambil terus menulis.
Tulisan-tulisannya terkumpul banyak. Sebagian ia simpan sendiri, sebagian ia kirim ke media online. Banyak yang ditolak. Tapi suatu hari, satu tulisannya dimuat.
Judulnya sederhana: “Tentang Bertahan”.
Ia ingat, waktu itu ia menangis lama. Bukan karena tulisannya terkenal, tapi karena akhirnya, ada orang lain yang membaca isi hatinya. Ada orang lain yang mendengar suaranya.
---
Sekarang, di usianya yang hampir tiga puluh, Raka duduk di kamar kontrakan kecil. Laptopnya terbuka, beberapa draft tulisan menunggu diselesaikan. Di sampingnya, pena itu masih ada. Ujungnya tumpul, tintanya nyaris habis.
Orang lain mungkin akan menganggap itu sampah. Tapi bagi Raka, pena itu adalah saksi.
Saksi dari masa kecil yang sepi.
Saksi dari remaja yang penuh ejekan.
Saksi dari malam-malam gelap ketika ia hampir menyerah.
Saksi dari awal perjalanan menulis yang membawanya bertahan sampai hari ini.
Raka menatap pena itu lama. Senyum kecil muncul di wajahnya.
Pelan ia berkata, “Terima kasih. Kalau dulu aku nggak nulis, mungkin aku nggak ada di sini sekarang."
---
Tidak ada yang istimewa dari goresan pena. Hanya garis-garis tinta di atas kertas.
Tapi bagi Raka, itulah yang membuatnya tetap hidup.
Dan kadang, justru hal sederhana yang kita anggap sepele sebuah pena tua, buku catatan lusuh, atau satu kalimat yang ditulis dengan jujur bisa menjadi alasan untuk terus melangkah., buku catatan lusuh, atau satu kalimat yang ditulis dengan jujur bisa menjadi alasan untuk terus melangkah.