Cerpen
Disukai
0
Dilihat
609
๐’๐ฎ๐š๐ซ๐š ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ญ๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง
Drama

๐’๐ฎ๐š๐ซ๐š ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ญ๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ก๐š๐ง

~๐๐ฒ ๐‹๐š๐ง๐ ๐ข๐ญ๐ญ๐ญ๐ฆ๐š๐ฅ๐ฅ๐š๐ฆ~


Alun-alun kota sore itu seperti panggung tanpa dekorasi. Langit kelabu menggantung rendah, seakan menahan hujan. Di bawahnya, ratusan orang berdiri berdesakan: buruh, pedagang kaki lima, mahasiswa, sopir ojol, tukang parkir, ibu rumah tangga, hingga anak-anak yang ikut karena tak ada yang menjaga di rumah. Mereka datang bukan untuk pesta, bukan untuk hiburan. Mereka datang untuk satu hal: bersuara.


Suara yang terlalu lama mereka tahan.


Poster-poster dari kardus tipis terangkat tinggi. Sebagian sudah mulai melipat karena hujan rintik turun, tapi tidak ada yang menurunkannya. Tertulis kata-kata pedas: โ€œDPR = Dewan Perampok Rakyatโ€, โ€œKami Bukan Bodoh, Kami Hanya Sabarโ€, โ€œPajak Naik, Perut Kosongโ€.


Di antara kerumunan, seorang bocah kecil menarik tangan ibunya. Karton yang ia bawa terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil.


โ€œBu, kenapa kita teriak-teriak gini? Emang ada yang dengerin?โ€ tanyanya polos.


Ibunya tersenyum getir. โ€œEntah, Nak. Tapi kalau kita diam, kita pasti nggak akan pernah didengar.โ€


Bocah itu menoleh ke arah gedung tinggi di kejauhan. Gedung DPR dengan kaca-kaca besar yang berkilau, seakan tak tersentuh. โ€œKenapa mereka di sana diam aja, Bu?โ€


โ€œKarena telinga mereka sudah penuh,โ€ jawab sang ibu pelan. โ€œBukan dengan suara kita, tapi dengan suara uang.โ€


Bocah itu hanya mengangguk, meski belum sepenuhnya mengerti. Tapi tatapan matanya sudah merekam luka yang diwariskan turun-temurun: rasa tidak dipedulikan.


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Di sisi lain alun-alun, seorang mahasiswa beralmamater lusuh duduk bersama sopir ojol. Helm di tangan, jaket hijau sudah basah oleh peluh dan rintik hujan.


โ€œBang,โ€ kata mahasiswa itu, โ€œsaya heran. Katanya kita negara merdeka. Tapi kok rakyat masih begini? Demo tiap tahun, suara nggak pernah didengar.โ€


Sopir ojol terkekeh, tapi tawanya hambar. โ€œMerdeka? Hahaha. Merdeka itu buat mereka, bukan buat kita. Kita ini cuma penonton, Dek. Kalau bensin naik, kita yang nangis. Kalau pajak naik, kita yang bayar. Kalau mereka korupsi, kita yang disuruh sabar.โ€


โ€œKalau begitu, buat apa kita ada di sini?โ€ tanya mahasiswa itu.


โ€œKarena kalau kita diam, negara makin gila. Kalau rakyat nggak ribut, mereka kira rakyat udah mati semua.โ€


Mereka berdua terdiam, memandangi lautan manusia yang terus berteriak.


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Suara peluit, dentuman tong kosong, dan yel-yel menggema. Di tengah keramaian, seorang remaja menunjuk ke arah bendera merah putih yang terbawa angin. Anehnya, bendera itu terbalik: putih di atas, merah di bawah.


โ€œEh, itu bendera kebalik!โ€ teriaknya. โ€œAstaga, ini kayak pas ulang tahun kemerdekaan tahun kemarin, kan? Katanya cuma โ€˜salah pasangโ€™. Sekarang malah bener-bener kejadian: negara kita emang dibolak-balik!โ€


Orang dewasa di sampingnya mengangguk lirih. โ€œBetul. Dulu netizen ribut bilang itu pertanda negara bakal porak-poranda. Ternyata bener. Rakyat makin miskin, pajak makin gila, pejabat makin kaya.โ€


โ€œNetizen itu kadang lebih jujur daripada pejabat, Pak. Kita cuma bisa bercanda di medsos, tapi di balik candaan itu sebenernya jeritan.โ€


โ€œCandaan rakyat adalah sindiran,โ€ jawab si bapak. โ€œSindiran rakyat adalah kebenaran yang dibungkam.โ€


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Tak jauh dari situ, seorang pedagang gorengan meletakkan baskom sisa dagangannya. Tangannya yang berlumur minyak masih bergetar memegang poster.


โ€œBang, habis jualan saya nggak nutup modal,โ€ katanya kepada tukang parkir di sebelahnya. โ€œTapi tetap saya ke sini. Karena kalau nggak, besok-besok bisa-bisa dagang aja kena pajak.โ€


Tukang parkir menyulut rokok murahan, asapnya bercampur dengan udara yang dingin. โ€œHahaha, jangan salah. Sekarang aja katanya mau ada pajak parkir. Bayangin, saya jagain motor orang, dikasih seribu dua ribu, eh malah negara ikut minta jatah.โ€


โ€œNegara apa rampok, sih? Semua mau dipalak.โ€


โ€œNegara bilang ini demi pembangunan. Tapi entah pembangunan buat siapa. Jalan tetap rusak, sekolah mahal, rumah sakit kayak pasar. Yang bagus cuma kantor pejabat dan rekening mereka.โ€


Mereka tertawa, tapi tawanya pahit.


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Di garis depan, seorang buruh menghampiri aparat yang berdiri dengan tameng.


โ€œPak,โ€ katanya dengan suara lantang, โ€œsaya tanya jujur. Bapak di sini bela siapa? Bela rakyat atau bela mereka di gedung itu?โ€


Aparat itu terdiam. Hujan menetes di helmnya, menuruni wajahnya. Lalu dengan suara rendah ia berbisik, โ€œSaya ini juga rakyat, Bang. Gaji saya juga pas-pasan. Anak saya juga susah bayar sekolah. Tapi kalau saya nggak jaga di sini, saya bisa dipecat.โ€


Buruh itu menatap lekat-lekat. โ€œJadi kita ini sama-sama susah, tapi disuruh saling berhadapan?โ€


Aparat itu menunduk. โ€œItulah negara kita. Mereka di atas sana bikin aturan, kita di bawah saling hantam.โ€


Mereka sama-sama terdiam, sadar bahwa musuh mereka sebenarnya duduk nyaman di kursi empuk.


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Matahari tenggelam. Lampu jalan menyala, menerangi wajah-wajah lelah. Tapi massa tidak bubar. Mereka bertahan, meski hujan turun lebih deras.


Seorang orator naik ke atas mobil pick-up tua. Suaranya serak, tapi tegas.


โ€œRakyat tidak minta istana! Rakyat tidak minta kursi empuk! Rakyat hanya minta hidup layak! Apa itu terlalu sulit?โ€


Massa serempak berteriak: โ€œTidak!!!โ€


โ€œKalau negara ini terus dibolak-balik, kalau pajak jadi senjata untuk menindas, kalau suara rakyat terus dibungkamโ€ฆ maka satu hal yang pasti: rakyat tidak akan diam!โ€


Sorakan menggema. โ€œHidup rakyat!!!โ€


Suara itu mengalun lebih keras dari klakson kendaraan, lebih nyata dari janji kampanye.


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Di trotoar, dua sahabat lama duduk basah kuyup. Seorang pengangguran dan seorang tukang becak.


โ€œKita ini rakyat kecil,โ€ kata pengangguran itu lirih. โ€œApa mungkin suara kita bisa mengubah apa pun?โ€


Tukang becak menghela napas. โ€œSendiri tidak mungkin. Tapi kalau semua rakyat bersatu, suara kita bisa jadi badai. Ingat, pemerintah itu kuat karena kita diam. Begitu kita bergerak, mereka pasti goyah.โ€


โ€œKalau begitu, hari ini bukan akhir, ya?โ€


โ€œBukan,โ€ jawabnya mantap. โ€œIni baru awal.โ€


๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ๐Ÿ—ฃ๏ธ


Malam semakin larut, tapi rakyat belum pulang. Mereka tahu, perjuangan tidak selesai dalam sehari. Mereka tahu suara rakyat tidak akan langsung sampai ke telinga yang tuli.


Namun ada satu hal yang mereka yakini: selama rakyat masih berani bersuara, harapan tidak pernah mati.


Suara yang tertahan akhirnya pecah. Dan dari suara itu, lahirlah harapan baru.


(๋ˆˆโ€ธ๋ˆˆ)~ ๐‚๐š๐ญ๐š๐ญ๐š๐ง ๐๐ž๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ ~(๋ˆˆโ€ธ๋ˆˆ)


Cerpen ini lahir dari kegelisahan yang tidak bisa lagi aku pendam sendiri. Hidup di negeri yang katanya merdeka, tetapi suara rakyat seringkali teredam, membuatku merasa perlu menuliskannya. Aku percaya bahwa tulisan adalah cara paling sederhana namun tajam untuk menyampaikan keresahan, meskipun terkadang hanya berupa sebuah cerpen singkat.


โ€œSuara yang Tertahanโ€ bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cermin kecil dari kenyataan yang kita hadapi setiap hari. Ada banyak orang yang ingin berbicara, ingin mengkritik, ingin sekadar menyampaikan kebenaran, tapi mulut mereka dibungkam oleh keadaan, oleh ketakutan, atau bahkan oleh sistem yang tidak berpihak. Melalui cerita ini, aku ingin menghadirkan potret sederhana: bahwa di balik diamnya seseorang, ada jeritan hati yang begitu keras namun tak terdengar.


Sebagai penulis, aku tidak menempatkan diriku lebih tinggi dari pembaca. Aku hanya ingin kita sama-sama merenung: apakah benar kita sudah bebas bersuara? Apakah suara kita benar-benar sampai, atau hanya berhenti di dinding-dinding kekuasaan yang terlalu tebal untuk ditembus?


Aku berharap cerpen ini bisa menjadi pengingat bahwa sekecil apa pun suara kita, ia tetap berarti. Dan suatu saat nanti, suara-suara yang tertahan itu akan bersatu, mengalir menjadi gelombang besar yang mustahil untuk dibungkam lagi.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)