Cerpen
Disukai
0
Dilihat
485
Di antara kopi pahit dan Langit kosong
Slice of Life

👋🤗💜📖

✉️

Aku duduk di sebuah kedai tua di sudut jalan yang bahkan orang-orang kota ini sudah lama lupa namanya. Kedai itu kecil, dindingnya retak di beberapa bagian, catnya mengelupas, dan kursinya terbuat dari kayu yang sudah aus dimakan waktu. Ada kipas angin tua menggantung di langit-langit, berputar pelan dengan bunyi dengung yang monoton, seakan ikut menguap bersama kejenuhan para pengunjung.

Di mejaku ada secangkir kopi. Hitam, pahit, dan sudah dingin sejak lama. Uapnya hilang, aroma kuatnya sudah berbaur dengan bau tembakau dari pengunjung lain. Aku menatap cangkir itu cukup lama, seolah di dasar cairan hitam itu ada jawaban yang selama ini aku cari. Tapi, tidak ada.

Aku tak berniat menyentuhnya.

Mungkin karena rasanya pahit.

Atau mungkin, karena aku tak lagi tahu kenapa harus meminumnya.

Hari ini seperti kemarin. Dan kemarin seperti minggu lalu. Semuanya berulang, monoton, seperti kaset tua yang terus diputar tanpa henti. Aku bangun, makan, bicara sedikit, tertawa seadanya, tidur… lalu mengulangnya lagi.

Ada orang yang bilang rutinitas adalah penjara yang kita bangun sendiri. Tapi bagiku, rutinitas adalah satu-satunya hal yang tersisa. Sesuatu yang setidaknya bisa kupegang, meskipun tak pernah membuatku benar-benar hidup.

Pernah aku bertanya pada diriku sendiri, “Apa tujuan semua ini?”

Tapi dunia hanya menjawab dengan suara kipas angin yang berdengung bosan, dan suara kendaraan samar dari jalan di luar.

Pernah juga aku mencoba berpikir positif. Katanya hidup itu hadiah, katanya hidup itu indah. Tapi bagaimana bisa kusebut ini hadiah, kalau aku bahkan tak pernah tahu untuk apa aku dihadiahi sesuatu?

Mereka bilang aku harus punya mimpi. Aku pernah mencoba. Aku pernah punya. Tapi tak ada yang menjelaskan kenapa mimpi harus dikejar kalau pada akhirnya semua orang akan dikubur di tanah yang sama. Apa gunanya ambisi, apa gunanya pencapaian, jika akhirnya kita semua berakhir dalam gelap yang sama?

Aku menghela napas panjang.

Kopi di mejaku tetap pahit.

Dan langit di luar tetap kosong.

“Kenapa kamu masih di sini?”

Sebuah suara memecah lamunanku. Aku menoleh. Seorang laki-laki duduk di meja sebelah, entah sejak kapan. Wajahnya asing, tapi matanya… matanya terasa familiar. Kosong, sama seperti mataku yang setiap hari kutemui di cermin.

Aku menatapnya sesaat. Lalu menjawab pelan, “Karena aku belum selesai menikmati absurditas ini.”

Ia tersenyum tipis. “Absurd, ya?”

Aku mengangguk. “Kita semua menari di tengah kekacauan, dan aku… hanya ingin menari sedikit lebih lama. Tidak ada musik, tidak ada irama. Tapi kita menari saja, pura-pura tahu langkahnya.”

Ia tertawa kecil, tapi tawanya hambar. “Setidaknya kamu jujur.”

Kami terdiam cukup lama. Diam yang tidak asing. Diam yang tidak membuatku merasa sendiri, tapi juga tidak membuatku merasa ditemani. Di luar jendela, langit tetap kosong. Tidak ada bintang, tidak ada cahaya. Hanya gelap yang menggantung.

Aku menatap cangkir kopi, lalu berkata tanpa menoleh, “Kamu percaya hidup punya arti?”

Orang itu menatap balik. “Aku pernah percaya. Tapi lalu aku bertanya, ‘arti untuk siapa?’ Kalau arti itu hanya untuk diriku, mungkin. Tapi kalau harus untuk dunia… aku rasa aku terlalu kecil untuk itu.”

“Dan kalau untuk dirimu sendiri?” tanyaku.

Ia mengangkat bahu. “Kadang aku tak peduli. Hidup terus berjalan meski aku tidak menemukan artinya. Seperti kopi itu, pahit, tapi tetap ada di meja. Kita bisa memilih meminumnya atau membiarkannya dingin. Tidak ada yang peduli, kecuali kita sendiri.”

Aku terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi menohok.

Kedai makin sepi. Lampu temaram bergoyang pelan karena angin malam yang masuk dari celah pintu. Aku mengingat masa lalu.

Aku ingat ketika masih kecil, aku pernah bermimpi jadi penulis. Aku menulis di buku tulis bekas sekolahku, mencatat cerita-cerita aneh tentang dunia imajiner. Aku ingin orang membaca tulisanku, tertawa, menangis, merasa sesuatu. Aku ingin meninggalkan jejak, sesuatu yang membuatku tetap hidup meski tubuhku nanti hilang.

Tapi mimpi itu tenggelam seiring waktu. Orang-orang menyebutnya “tidak realistis.” Aku belajar, bekerja, menghabiskan waktu di kantor yang temaram seperti penjara modern. Aku duduk di depan layar setiap hari, mengetik angka-angka yang tidak pernah punya makna. Pulang, makan, tidur. Ulang lagi.

Sejak itu aku mulai jarang menulis. Lalu berhenti sepenuhnya. Sampai aku lupa bagaimana rasanya punya mimpi.

Aku memejamkan mata sebentar. Rasa sesak menjalari dada. Bukan karena aku kehilangan mimpi itu, tapi karena aku tak lagi tahu siapa aku tanpa mimpi.

“Kenapa kamu sering ke sini?” tanya orang asing itu.

“Karena di sini sepi,” jawabku. “Dan karena di sini… aku bisa duduk tanpa harus berpura-pura. Tidak ada yang menuntutku jadi seseorang. Aku hanya perlu duduk, memandang kopi pahit ini, dan membiarkannya menemaniku.”

Ia mengangguk. “Aku juga begitu. Dunia luar terlalu bising. Semua orang berteriak soal kebahagiaan, soal pencapaian, soal mimpi. Padahal banyak dari mereka juga tidak tahu kenapa mereka mengejarnya. Hanya ikut-ikutan, takut tertinggal.”

Aku menoleh padanya. “Jadi kamu juga merasa kosong?”

Ia tersenyum miris. “Bukankah kita semua begitu?”

Percakapan itu menggantung. Kami sama-sama kembali menatap kopi di meja masing-masing. Seperti dua orang asing yang menemukan cermin di depan mereka.

Aku tidak tahu siapa dia. Tidak tahu namanya, pekerjaannya, rumahnya. Tapi entah kenapa, aku tidak butuh tahu. Rasanya seperti berbicara dengan bagian diriku sendiri yang selama ini kutekan.

Waktu berlalu. Malam makin larut. Kedai mulai merapikan meja, tanda sebentar lagi tutup. Aku belum menyentuh kopiku. Ia juga belum.

Aku berpikir lagi soal hidup. Soal mati. Aku pernah ingin mati, tapi lebih dari itu aku ingin hidup. Hanya saja, aku ingin hidup yang punya arti. Tapi arti itu belum kutemukan.

Mungkin arti tidak perlu dicari. Mungkin arti hanya muncul ketika kita berani mengakui bahwa hidup memang absurd, tapi kita memilih untuk tetap duduk, tetap bernapas, tetap menatap langit kosong meski tak ada jawaban.

Sebelum pergi, orang asing itu berkata, “Mungkin kita tidak akan pernah tahu arti hidup. Tapi setidaknya, kita pernah berbagi pahitnya bersama.”

Aku menatapnya. Ia tersenyum samar, lalu bangkit dan pergi tanpa pamit lebih jauh.

Aku menatap punggungnya sampai hilang. Lalu kembali menatap kopiku. Aku akhirnya menyentuhnya. Kuteguk sedikit. Rasanya pahit. Tapi entah kenapa, pahit itu tidak lagi terasa sendirian.

Di luar, langit tetap kosong.

Tapi untuk sesaat, dunia tidak terasa begitu sunyi.

Catatan kecil dari Nika:

Cerpen ini adalah perjalanan singkat dalam diam, di antara rutinitas, absurditas, dan pahitnya hidup. Kadang kita tidak butuh jawaban besar, hanya butuh seseorang yang mengerti bahwa pahit ini nyata dan kita duduk berdampingan dengannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)