Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,477
Sang Bulan dan Harapan
Religi

Bulan sabit tergantung rendah di langit malam. Di sebuah apartemen kecil di sudut Tokyo, Arif mengamatinya dengan perasaan yang campur aduk. Malam itu sejuk, tetapi di dalam jiwanya, kehangatan bulan Ramadan dari kampung halamannya tampak meresap kembali, menghadirkan memori yang tak pernah memudar.

Arif merupakan pemuda asal desa di sebuah kampung kecil di Jawa Tengah. Tiga tahun yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah untuk bekerja di Jepang sebagai teknisi mesin di pabrik otomotif. Harapan sederhana Arif adalah mendukung keluarganya yang hidup dalam keterbatasan, memperbaiki rumah mereka yang sudah tua, dan membiayai pendidikan adik-adiknya. Namun, merantau ke negara orang lain tidak pernah mudah, khususnya ketika bulan Ramadan semakin mendekat.

Di desa asalnya, Ramadan adalah waktu yang sangat istimewa. Suara beduk dari masjid tua menggema, aroma kolak pisang dan makanan gorengan memenuhi udara, dan keramaian anak-anak berlari-lari membawa obor menjadikan malam terasa hangat. Arif selalu mengenang bagaimana ia dan teman-temannya berkeliling kampung untuk membangunkan orang sahur dengan kentongan dan yel-yel yang mereka ciptakan sendiri.

Namun, di Jepang, suasana Ramadan terasa sepi. Tidak ada suara azan, tidak ada keluarga yang menyiapkan makanan berbuka, dan tentunya tidak ada suasana meriah seperti yang ia rasakan di kampung halamannya. Arif hanya bisa sahur dengan nasi yang sudah dingin dan telur rebus, ditemani teh hangat yang ia seduh sendiri. Saat berbuka puasa pun cukup sederhana, seringkali hanya dengan roti isi atau mie instan yang ia beli di minimarket terdekat dari tempat tinggalnya.

Malam itu, saat ia memandang bulan, Arif tiba-tiba teringat pada ibunya. Wajahnya yang lelah namun penuh kasih selalu muncul dalam ingatannya. Ibunya, yang berprofesi sebagai penjual sayuran di pasar, selalu menyempatkan diri untuk membuat kolak pisang kesukaan Arif setiap bulan Ramadan. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa rindu yang semakin menyiksa.

"Bagaimana keadaanmu di sana, Nak?" Suara ibunya terdengar serak melalui telepon beberapa hari yang lalu.

"Alhamdulillah baik, Bu. Di sini hanya suhu yang dingin. Namun semuanya baik-baik saja," jawab Arif berusaha menutupi kerinduan yang membara di dalam hatinya.

"Ibu dan saudara-saudaramu selalu mendoakanmu. Ramadan segera tiba, suasana di sini mulai hidup. Pasar menjadi lebih ramai, masjid juga lebih sering digunakan untuk beribadah. Kamu pasti merasa rindu, bukan?"

Ucapan itu membuat hati Arif sesak. Dia menyadari betapa sulitnya kehidupan yang dijalani ibunya setelah kepergian ayah mereka. Ia sangat ingin segera pulang, memeluk ibunya, dan merasakan kembali kehangatan rumahnya.

Di pabrik tempatnya bekerja, mayoritas rekan-rekan Arif bukanlah Muslim. Mereka tidak mengerti mengapa Arif memilih untuk berpuasa, terutama saat harus bekerja sepanjang hari tanpa makan dan minum. Namun, ada seorang wanita Jepang yang selalu memperhatikan, bernama Ayaka.

"Arif-san, mengapa kamu tidak makan siang?" ujar Ayaka suatu ketika.

Arif memberikan senyuman kecil. "Sekarang adalah bulan Ramadan. Saya berpuasa dari fajar hingga senja."

Ayaka mengangguk pelan. "Pasti terasa berat. Terlebih lagi, kamu jauh dari keluarga. Namun, saya mengagumi komitmenmu."

Ucapan tersebut memberikan sedikit rasa nyaman bagi Arif. Meskipun jauh dari rumah, setidaknya ada seseorang yang memahami usahanya. Ayaka bahkan pernah memberinya sekotak kurma yang dibelinya dari toko halal, sebuah kejutan kecil yang membuat Arif merasa tidak sendirian.

Namun, menjelang Ramadan tahun ini, segala sesuatunya terasa semakin sulit. Tugas di pabrik semakin banyak, dan atasan sering kali meminta untuk lembur. Arif sering kali berbuka puasa dengan cepat di ruang istirahat, hanya untuk segera kembali melanjutkan pekerjaannya.

Di tengah kesibukan tersebut, Arif berusaha untuk menabung. Ia ingin mengirim lebih banyak uang kepada keluarganya di kampung agar ibunya dapat mempersiapkan Ramadan dengan baik. Namun, satu hal yang terus mengganggu pikirannya adalah perasaan tidak cukup. Setiap bulannya, hampir seluruh gajinya habis untuk biaya hidup dan pembayaran utang keluarga yang harus diselesaikan.

Malam itu, selepas menyelesaikan pekerjaan lembur, Arif duduk di sisi jendela apartemennya. Dia memandangi bulan yang sama, bulan yang mungkin masih bersinar di atas langit kampung asalnya. “Kapan aku bisa kembali, ya Allah?” dia berbisik dengan lembut.

Di malam yang menghampiri Ramadan, Ayaka tiba di apartemen Arif. Dia membawa sebuah paket kecil.

“Ini untukmu, Arif-san. Aku mengerti bahwa ini adalah waktu yang sangat berarti bagimu,” ungkapnya dengan senyum.

Arif membuka paket tersebut. Di dalamnya terdapat lampion kecil berbentuk bulan sabit, beserta selembar surat.

“Kamu adalah sosok yang kuat dan penuh harapan. Jangan pernah menyerah, Arif-san. Aku yakin suatu hari nanti kamu akan pulang dengan penuh kebanggaan.”

Arif tidak dapat menahan air matanya. Lampion tersebut kini menjadi tanda harapan barunya, pengingat bahwa ia tidak sendirian meskipun jauh dari rumah.

Malam itu, Arif menyalakan lampion bulan sabit yang diberikan oleh Ayaka. Dia menggantungnya di jendela, membiarkannya bersinar lembut di kegelapan malam. Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk terus berjuang. Demi keluargaku, demi harapan ini.”

Di bawah cahaya bulan yang sama, di kampung asalnya, ibunya juga berdoa. Meskipun terpisah jarak, harapan mengikat mereka. Bulan menjadi saksi, bahwa ikatan keluarga mampu melintasi waktu dan ruang, memberikan kekuatan bagi mereka yang berjuang.

Malam itu terasa lebih sunyi namun sarat makna. Arif duduk lama di tepi jendela, menatap lampion kecil yang perlahan menari ditiup angin lembut. Kenangan tentang Ramadan di kampung halaman terus berputar di pikirannya: suara ayahnya yang dulu memimpin doa sebelum berbuka, canda tawa adik-adiknya saat menyiapkan obor untuk pawai malam, dan senyum ibunya yang seolah mampu menenangkan segala kegundahan. Semuanya hadir kembali, menghangatkan hati Arif di tengah dinginnya malam Tokyo.

Arif menatap jam dinding yang menunjukkan waktu dini hari. Dengan hati yang masih diliputi rindu, ia membuka Al-Qur'an kecil pemberian ibunya dan mulai membaca surat-surat pendek yang biasa mereka baca bersama di rumah. Bacaan itu mengalir, membawa ketenangan yang sudah lama ia rindukan.

“Ramadan kali ini memang terasa berat, ya Allah,” bisik Arif dalam hatinya. “Tapi aku percaya, Engkau selalu bersamaku.”

Esok harinya, meski rasa lelah masih menyelimuti tubuhnya, Arif memulai hari dengan semangat baru. Ia menyusun rencana sederhana: menelepon ibunya lebih sering, menulis surat untuk adik-adiknya, dan membuat jadwal kecil agar ia tetap bisa menjalani Ramadan dengan khusyuk di tengah kesibukan. Ia sadar, meski tidak bisa pulang tahun ini, ia bisa tetap membawa sedikit suasana kampung halamannya ke dalam hatinya.

Bulan sabit yang ia lihat malam itu menjadi pengingat bahwa harapan selalu ada, sejauh apapun ia berada dari rumah. Ramadan adalah tentang kebersamaan, doa, dan harapan, dan ia tahu bahwa semuanya masih bisa ia rasakan, meski dalam bentuk yang berbeda.

Langit Tokyo perlahan cerah saat matahari mulai menyapa. Di hatinya, Arif menyimpan keyakinan bahwa suatu hari nanti, ia akan kembali ke kampung halaman, membawa cerita perjuangan dan kebanggaan untuk keluarganya. Hingga saat itu tiba, ia akan terus menggantungkan harapannya pada Sang Bulan, yang tak pernah lelah menyinari perjalanannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)